Gadis tujuh belas tahun itu langsung berkemas guna menuruti titah ibunya. Aisyah tipe anak yang patuh, tidak pernah membantah atau bilang ah saat Sarah atau Ahmad meminta bantuannya.Aisyah terbilang anak yang rajin beribadah, ia juga sedang belajar menghafal Al-Qur'an. Dari keempat anaknya, hanya Aisyah yang ingin menguasai banyak bidang dalam kehidupannya. Mulai dari membantu pekerjaan rumah, bahkan Aisyah tak segan membantu Ahmad menggembala domba-domba mereka. Kehidupan mereka makin hari makin membaik, jauh daripada saat anak-anaknya masih kecil. Makan telur satu biji pun harus dibagi empat. Tapi kini, jangankan telur … bahkan mereka mampu makan di restoran mahal apalagi setelah Aisyah menjadi salah satu affiliate di salah satu e-commerce berwarna orange."Is, cepatlah keburu malam!" teriak Sarah dari ruang depan. "Biar, Abah antarkan saja, Mak. Diluar sudah gelap!" ucap Ahmad, ia tak tenang jika harus melepas anak gadisnya pergi sendirian. "Ya … udah, Faris yang antar saja. La
"Sudah dekat, Man?" tanya Arip sambil membenarkan posisi duduknya serta melihat ke arah luar yang mulai menunjukkan bentangan sawah di sisi kanan dan rumah-rumah sederhana di sisi kiri. "Iya, bentar lagi. Kejedot, ya?" tanya Rahman tanpa melihat kearah Arif karena ia sedang fokus pada jalan berbatu dan sempit. Arif hanya terkekeh. Ia mematikan AC mobil lalu membuka jendela lalu menghirup aroma pagi di kampung Rahman. Banyak anak-anak berjalan untuk pergi kesekolah, aktivitas para warga sudah terlihat ramai di sepanjang jalan. Rahman melihat bangunan toko yang miliknya terlihat Agus dan Sandy tengah memindahkan barang, pikirnya pasti Mala masih di dalam rumah, karena jam baru menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Ia menarik rem tangan kemudian mematikan mobilnya. "Alhamdulillah sampai!" ucapnya. Agus dan Sandy melirik ke arah mobil hitam yang barusan parkir di depan toko. "Bang Rahman!" seru keduanya lalu menyalami suami bosnya itu. Tak lupa mereka pun menyalami Arif yang ba
"Is, belanja ke pasar, ya! Beliin sayuran dan daging sapi. Teteh mau masak banyak ada tamu!" titahnya sebelum ia masuk ke ruang tamu untuk menyapa Arif "Tamu siapa?" tanya Aisyah sambil menata nasi ke piring." Kamu belum tahu?" "Abang gak ngomong!" sahut gadis itu cuek."Ya … udah, hayu samperin dulu tamunya, terus kamu ke pasar. Nanti, Teteh catat apa saja yang harus di beli." "Siap, Bos!" sahutnya sambil memperagakan sikap hormat pada kakaknya keduanya tergelak dan melangkah beriringan untuk menemui Arif. "Akh, maaf menunggu lama. Gimana perjalanannya?" tanya Mala saat sudah berada di ruang tamu sambil menyodorkan tangannya. "Alhamdulillah aman dan lancar. Maaf saya merepotkan," sahut Arif sambil pandangannya menuju pada gadis yang berdiri disamping Mala. Gadis dengan alis tebal dan bulu mata lentik, sedikit pipinya agak gembul tidak terlalu tirus. Mata Arif tak berkedip melihatnya. "Ini adik saya!" ucap Mala membuyarkan fokus pandangan Arif, Aisyah maju dan mencium takjim ta
Arif yang terbangun karena bau masakan yang menguar hingga ke kamarnya, sejak tadi sudah duduk ditepi ranjang dan mendengar obrolan sang tuan rumah. Kebetulan posisi kamar Arif nempell dengan dapur, jadi obrolannya Mala dan Aisyah terdengar jelas ketelinganya. Ia lalu berdiri menatap gambar dirinya di cermin lemari dan bergumam. " Masa iya, wajah ganteng begini tak membuat bocah itu terpesona. Aku mirip Reza Rahardian loh!" Kemudian Arif tersenyum sendiri mengingat obrolan Aisyah tadi. ——RatuNna kania——Setelah masakan selesai dan terhidang di meja, Mala memberitahu Aisyah bahwa dia akan ke rumah Bu Samirah menyusul Rahman dan memberi makan mertuanya itu. Aisyah meng-iyakan dan gadis itu melanjutkan membereskan dapur, piring yang sudah dicuci ia masukkan ke dalam kitchen set yang tersedia disana.Arif keluar hendak ke kamar mandi dan Aisyah hendak ke kamar mereka bertemu tepat di tengah ruangan antara ruang tengah dan kamar mandi. Arif seketika menghentikan langkahnya begitupun
Mala hanya tersenyum mendengar apa yang Susan katakan. Sebenarnya, dia pun mendengar desas-desus tentang sikap judesnya Eni terhadap ibunya sendiri. Namun, Mala tidak ingin terlibat lebih dalam lagi dalam urusan mertuanya. Karena bukan hanya satu dua kali saja, Eni dengan bengis menyuruh agar Mala tidak ikut campur dengan kata-kata yang bikin sakit hati dan jiwa."Ada apa, Mbak?" tanya Rahman untuk kedua kalinya dengan menatap tajam ke arah kakak iparnya itu. Rasanya ia tak sabar lagi ingin tahu."Mala! Memangnya, kamu nggak mendengar apa yang tetangga omongkan?" Susan malah bertanya kepada Mala yang sejak tadi tengah menyuapi mertuanya."Aku sibuk di toko, Mbak. Nggak sempat mendengar hal-hal yang aneh," ucap Mala dengan singkat, cukuplah dia tahu tanpa harus koar-koar. Toh, cepat atau lambat suaminya akan tahu juga. Saat ini dia tidak mau ikut terseret ke dalam perdebatan itu. cukuplah dia melakukan tugasnya sebagai seorang menantu dan istri. Ia tak mau lagi mendengar omongan menyaki
"Kamu berani sama aku, sekarang?" kata Eni sambil melotot dan kedua tangannya berada dipingganya."Lah siapa yang berani? Emang benar-kan dan pada nyatanya seperti itu. Iya-kan, Mbak Susan? Apa yang dikatakan sama tetangga seperti itu? Kalau katanya, kak Eni mengurus ibu, ya begitu? Aku nggak tahu pasti. Namun begitulah gosip yang sedang santer di kampung ini." Mala akhirnya melangkah keluar kamar karena Eni pasti akan mengajaknya berdebat. Sehingga Mala tidak jadi membawa selimut atau barang apapun dari kamar Bu Samirah. pikirnya biarlah Rahman yang akan mengambilnya nanti."Dasar ipar minim sopan santun! nggak tahu diri!" umpat Eni ketika mendengar ucapan Mala dan sang adik ipar tanpa pamit melenggang begitu saja meninggalkannya. Selama ini yang dia tahu, adik iparnya itu tidak pernah membantah tapi entah kenapa hari ini dia begitu galak dan berani."Kamu apa-apaan sih, Mbak … ngadu-ngadu masalah yang tidak jelas kepada Rahman. Lagian apa yang aku lakukan sama ibuku, Mbak? Mala i
"Bukan hanya dari tadi aja deh kayaknya. Tapi dari kemarin, aku perhatikan si Arif itu mencuri-curi pandang terus sedangkan Aisyah biasa saja," sahut Rahman."Apa jangan-jangan Arif naksir, ya! sama Aisyah?" ucap Mala lagi sambil menempelkan telunjuknya di keningnya."Bisa jadi!" ucap Rahman singkat."Kalau begitu … kita jodohkan saja, Mas. Gimana? Bukankah Arif itu orang yang baik, selalu membantu kita dan dia pun masih single. Eh, atau … apakah Arif itu sudah punya pacar, Mas?" tanya Mala mencoba mencari jawaban terlebih dahulu."Setahuku sih belum. Tapi nggak tahu deh kalau di belakangku. Biasanya kalau malam minggu kami itu sering pergi berdua atau kadang aku yang main ke rumah Arif. Arif itu nggak pernah ke mana-mana selain ke rumahku dan di rumahnya," ucap Rahman lagi sambil mengingat-ingat selama setahun dia berada di Lampung dan nyaris tidak pernah absen malam minggunya tanpa Arif."Nanti aku ngomong sama Aisyah, kalau memang Arif mau sama Aisyah … kan kapan lagi Aisyah bisa d
"Hah … apa Man?" tanya Arif sedikit terkejut dan menegakkan duduknya. Wajahnya sudah bersemu merah karena malu ketahuan. ———RatuNna Kania———"Biasa aja sih, Rif. Gak usah kaget begitu!" ucap Rahman dengan senyum simpul saat melihat temannya memberikan ekspresi seperti itu, bak maling yang ke-gep, kebingungan untuk menyangkal. "Aku … aku—" Arif makin gagap, Rahman tak bisa menyembunyikan tawanya akhirnya tawa yang ditahannya sejak tadi demi menjaga perasaan Arif pecah juga. Arif mengusap wajahnya dengan kasar. Betapa malunya dia ketahuan oleh Rahman perihal rasa yang sedang bersemayam dalam hatinya."Maaf! Hmz!" Rahman berdehem untuk menghentikan tawanya. "Kalau kamu suka sama adik iparku, aku akan bantu. Lagian Mala semalam bilang, kalau Aisyah berjodoh denganmu dia akan sangat tenang dan senang!" tutur Rahman dengan pelan berusaha membangun nyali untuk Arif."What? Serius Mala bilang begitu?" Mata Arif seolah akan keluar dari tempatnya mendengar penuturannya temannya itu. Seandain