"Is, belanja ke pasar, ya! Beliin sayuran dan daging sapi. Teteh mau masak banyak ada tamu!" titahnya sebelum ia masuk ke ruang tamu untuk menyapa Arif "Tamu siapa?" tanya Aisyah sambil menata nasi ke piring." Kamu belum tahu?" "Abang gak ngomong!" sahut gadis itu cuek."Ya … udah, hayu samperin dulu tamunya, terus kamu ke pasar. Nanti, Teteh catat apa saja yang harus di beli." "Siap, Bos!" sahutnya sambil memperagakan sikap hormat pada kakaknya keduanya tergelak dan melangkah beriringan untuk menemui Arif. "Akh, maaf menunggu lama. Gimana perjalanannya?" tanya Mala saat sudah berada di ruang tamu sambil menyodorkan tangannya. "Alhamdulillah aman dan lancar. Maaf saya merepotkan," sahut Arif sambil pandangannya menuju pada gadis yang berdiri disamping Mala. Gadis dengan alis tebal dan bulu mata lentik, sedikit pipinya agak gembul tidak terlalu tirus. Mata Arif tak berkedip melihatnya. "Ini adik saya!" ucap Mala membuyarkan fokus pandangan Arif, Aisyah maju dan mencium takjim ta
Arif yang terbangun karena bau masakan yang menguar hingga ke kamarnya, sejak tadi sudah duduk ditepi ranjang dan mendengar obrolan sang tuan rumah. Kebetulan posisi kamar Arif nempell dengan dapur, jadi obrolannya Mala dan Aisyah terdengar jelas ketelinganya. Ia lalu berdiri menatap gambar dirinya di cermin lemari dan bergumam. " Masa iya, wajah ganteng begini tak membuat bocah itu terpesona. Aku mirip Reza Rahardian loh!" Kemudian Arif tersenyum sendiri mengingat obrolan Aisyah tadi. ——RatuNna kania——Setelah masakan selesai dan terhidang di meja, Mala memberitahu Aisyah bahwa dia akan ke rumah Bu Samirah menyusul Rahman dan memberi makan mertuanya itu. Aisyah meng-iyakan dan gadis itu melanjutkan membereskan dapur, piring yang sudah dicuci ia masukkan ke dalam kitchen set yang tersedia disana.Arif keluar hendak ke kamar mandi dan Aisyah hendak ke kamar mereka bertemu tepat di tengah ruangan antara ruang tengah dan kamar mandi. Arif seketika menghentikan langkahnya begitupun
Mala hanya tersenyum mendengar apa yang Susan katakan. Sebenarnya, dia pun mendengar desas-desus tentang sikap judesnya Eni terhadap ibunya sendiri. Namun, Mala tidak ingin terlibat lebih dalam lagi dalam urusan mertuanya. Karena bukan hanya satu dua kali saja, Eni dengan bengis menyuruh agar Mala tidak ikut campur dengan kata-kata yang bikin sakit hati dan jiwa."Ada apa, Mbak?" tanya Rahman untuk kedua kalinya dengan menatap tajam ke arah kakak iparnya itu. Rasanya ia tak sabar lagi ingin tahu."Mala! Memangnya, kamu nggak mendengar apa yang tetangga omongkan?" Susan malah bertanya kepada Mala yang sejak tadi tengah menyuapi mertuanya."Aku sibuk di toko, Mbak. Nggak sempat mendengar hal-hal yang aneh," ucap Mala dengan singkat, cukuplah dia tahu tanpa harus koar-koar. Toh, cepat atau lambat suaminya akan tahu juga. Saat ini dia tidak mau ikut terseret ke dalam perdebatan itu. cukuplah dia melakukan tugasnya sebagai seorang menantu dan istri. Ia tak mau lagi mendengar omongan menyaki
"Kamu berani sama aku, sekarang?" kata Eni sambil melotot dan kedua tangannya berada dipingganya."Lah siapa yang berani? Emang benar-kan dan pada nyatanya seperti itu. Iya-kan, Mbak Susan? Apa yang dikatakan sama tetangga seperti itu? Kalau katanya, kak Eni mengurus ibu, ya begitu? Aku nggak tahu pasti. Namun begitulah gosip yang sedang santer di kampung ini." Mala akhirnya melangkah keluar kamar karena Eni pasti akan mengajaknya berdebat. Sehingga Mala tidak jadi membawa selimut atau barang apapun dari kamar Bu Samirah. pikirnya biarlah Rahman yang akan mengambilnya nanti."Dasar ipar minim sopan santun! nggak tahu diri!" umpat Eni ketika mendengar ucapan Mala dan sang adik ipar tanpa pamit melenggang begitu saja meninggalkannya. Selama ini yang dia tahu, adik iparnya itu tidak pernah membantah tapi entah kenapa hari ini dia begitu galak dan berani."Kamu apa-apaan sih, Mbak … ngadu-ngadu masalah yang tidak jelas kepada Rahman. Lagian apa yang aku lakukan sama ibuku, Mbak? Mala i
"Bukan hanya dari tadi aja deh kayaknya. Tapi dari kemarin, aku perhatikan si Arif itu mencuri-curi pandang terus sedangkan Aisyah biasa saja," sahut Rahman."Apa jangan-jangan Arif naksir, ya! sama Aisyah?" ucap Mala lagi sambil menempelkan telunjuknya di keningnya."Bisa jadi!" ucap Rahman singkat."Kalau begitu … kita jodohkan saja, Mas. Gimana? Bukankah Arif itu orang yang baik, selalu membantu kita dan dia pun masih single. Eh, atau … apakah Arif itu sudah punya pacar, Mas?" tanya Mala mencoba mencari jawaban terlebih dahulu."Setahuku sih belum. Tapi nggak tahu deh kalau di belakangku. Biasanya kalau malam minggu kami itu sering pergi berdua atau kadang aku yang main ke rumah Arif. Arif itu nggak pernah ke mana-mana selain ke rumahku dan di rumahnya," ucap Rahman lagi sambil mengingat-ingat selama setahun dia berada di Lampung dan nyaris tidak pernah absen malam minggunya tanpa Arif."Nanti aku ngomong sama Aisyah, kalau memang Arif mau sama Aisyah … kan kapan lagi Aisyah bisa d
"Hah … apa Man?" tanya Arif sedikit terkejut dan menegakkan duduknya. Wajahnya sudah bersemu merah karena malu ketahuan. ———RatuNna Kania———"Biasa aja sih, Rif. Gak usah kaget begitu!" ucap Rahman dengan senyum simpul saat melihat temannya memberikan ekspresi seperti itu, bak maling yang ke-gep, kebingungan untuk menyangkal. "Aku … aku—" Arif makin gagap, Rahman tak bisa menyembunyikan tawanya akhirnya tawa yang ditahannya sejak tadi demi menjaga perasaan Arif pecah juga. Arif mengusap wajahnya dengan kasar. Betapa malunya dia ketahuan oleh Rahman perihal rasa yang sedang bersemayam dalam hatinya."Maaf! Hmz!" Rahman berdehem untuk menghentikan tawanya. "Kalau kamu suka sama adik iparku, aku akan bantu. Lagian Mala semalam bilang, kalau Aisyah berjodoh denganmu dia akan sangat tenang dan senang!" tutur Rahman dengan pelan berusaha membangun nyali untuk Arif."What? Serius Mala bilang begitu?" Mata Arif seolah akan keluar dari tempatnya mendengar penuturannya temannya itu. Seandain
Manusiawi jika Mala masih merasakan itu, perlakuan Bu Samirah begitu kejam. Bahkan dengan tanpa perasaan berniat mendekatkan Helen dengan Rahman yang jelas-jelas dia sudah punya istri. Tak cukup disitu saja, dalam keadaan hamil pun Mala tak luput dari mulut tajamnya hingga stillbirth itu terjadi. Dia tidak menyalahkan mertuanya dalam hal musibah itu, karena kehidupan dan takdir manusia itu mutlak hak Allah. Tapi akibat banyak perlakuan kasar dan kata-kata yang sadis itulah membuat dia stres dan banyak pikiran. Bohong kalau dia bilang tak memikirkannya karena pada nyatanya sesabar apapun manusia kalau di omongin kasar tentu saja dalam hati dan pikirannya akan tersimpan dengan rapi bahkan saat si pengucap sudah lupa tapi tidak dengan yang di katainya. "Waah, Alhamdulillah. Ibu suka ternyata. Besok lusa, Mala bikinin lagi, ya. Besok kita bikin puding jagung, gimana?" tanya Mala dengan wajah sumringah. Bu Samirah mengangguk dan matanya berkaca-kaca. "Te—te—ri—ma—kasih. Huhuhuhu!" Dia men
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda