Share

Mulai Bertindak

Saat tiba di dalam kamar mandi, Hesti terus saja menjerit kesakitan sambil mengguyur pahanya dan juga area intinya yang tersiram jus buah yang dia buat.

Kulit wanita itu nampak melepuh, bahkan area intinya juga mengalami hal yang sama. Hesti semakin berteriak dengan begitu kencang, karena walaupun dia sudah mengguyurnya dengan air dingin, tetap saja terasa perih dan malah semakin memerah.

Hana yang mendengar teriakan Hesti dengan langkah perlahan menghampiri wanita itu, lalu dia berdiri di ambang pintu kamar mandi dan berkata.

"Hesti, sebenarnya ada apa? Kenapa kamu berteriak kepanasan? Bukankah yang tak sengaja aku tumpahkan adalah jus buah tapi kenapa kamu malah berteriak kepanasan?"

Hesti terdiam sesaat, dia merasa geram sekali mendengar pertanyaan dari Hana. Sungguh dia merasa kesal karena apa yang dia rencanakan sudah gagal.

Bukannya Hana yang terluka, tetapi kini malah dirinya yang terluka. Benar-benar sial nasib dia pagi ini. Padahal, dia sudah berpikir jika Hana yang akan terluka dan akan menjerit kesakitan seperti ini.

"Hesti, kenapa malah diam? Apakah parah lukanya? Apa perlu kita langsung ke rumah sakit saja? Biar kamu berobat, aku pun berobat."

"Anu, Nyonya. Tadi saya tidak sengaja menumpahkan teh panas yang baru saja saya buat, sekarang kaki saya melepuh. Ini sakit banget, Nyonya."

"Kalau begitu, ayo kita berobat. Mas Bara sudah memberikan uangnya, kan?" tanya Hana.

Padahal, tanpa Hana bertanya pun dia sudah sangat tahu kalau Bara pasti memberikan banyak uang kepada wanita itu. Karena jika diperhatikan, penampilan wanita itu saja sangatlah luar biasa.

Baju yang dipakai oleh wanita itu terlihat begitu cantik sekali, perhiasan yang menempel di telinga, di leher dan juga di tangannya sangatlah indah.

Selama 6 bulan dia koma, pasti Bara sudah menghabiskan banyak uang untuk wanita itu. Wanita yang dia sangka dijadikan oleh Bara sebagai simpanan.

"Sudah, kalau begitu tolong panggilkan pak sopir. Aku tidak bisa bangun, sakit sekali ini."

"Ah! Iya," jawab Hana.

Hana langsung melangkahkan kakinya untuk keluar dari dalam rumahnya, tentunya dia berjalan dengan begitu hati-hati. Lalu, wanita itu dengan cepat memanggil pak sopir dan meminta pria itu untuk menggendong Hesti.

"Cepat ke rumah sakit ya, Pak. Kasihan Hesti," ujar Hana.

"Iya, Nyonya."

Pak sopir melajukan mobilnya dengan cepat, setelah sampai di rumah sakit Hana jangan cepat meminta pak sopir untuk menggendong Hesti menuju ruang IGD.

"Tolong ditungguin di depan ruang IGD ya, Pak. Kasihan Hesti gak ada temannya," ujar Hana.

"Siap, Nyonya."

Pak sopir terlihat menggendong Hesti, punya itu bahkan terlihat hendak melangkahkan kakinya menuju ruang IGD. Namun, langkahnya terhenti karena Hana kembali berkata.

"Hesti, mana uang yang diberikan oleh mas Bara? Aku ingin kebahagiaan administrasi untuk mengurusi biaya kamu," ujar Hana.

"Ini, Nyonya," ujar Hesti dengan cepat mengambil kartu yang diberikan oleh Bara kepada dirinya.

Hana sempat tertegun melihat kartu itu, Karena itu adalah kartu unlimited miliknya. Bara mengatakan kalau ponselnya hilang saat kecelakaan, padahal saat itu dia juga membawa kartu unlimited itu di dalam tas miliknya.

Hana jadi bertanya-tanya di dalam hatinya, apakah ponselnya Bara buang? Apakah hanya aset berharga miliknya yang Bara selamatkan? Apakah hanya dirinya yang ingin dia hilangkan nyawanya?

Namun, dengan cepat Hana menenangkan hatinya. Dia berusaha untuk bersikap senang mungkin, dia tidak boleh emosi walaupun sudah diperlakukan seperti ini oleh Bara.

"Sekarang cepatlah bawa Hesti ke IGD, aku akan meminta suster untuk mengantarkan aku ke ruang administrasi."

"Ya,'' jawab Pak sopir.

Pak sopir dengan cepat melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam ruang IGD, Hana tersenyum senang. Lalu, wanita itu dengan penuh kehati-hatian keluar dari rumah sakit tersebut.

Tujuan utamanya adalah ingin membeli ponsel, karena tadi pas dia mau masuk ke rumah sakit, dia melihat ada counter HP yang tidak jauh dari sana.

Tentunya dia berjalan dengan sangat hati-hati, dia tentunya berpura-pura buta agar tidak ada yang curiga. Di sana memang tidak ada Bara, tapi takutnya nanti ada orang-orang Bara yang mengadu.

Sebisa mungkin wanita itu juga menghindari arah CCTV, agar dirinya tidak ketahuan melakukan apa jika nantinya ada pengecekan CCTV oleh Bara.

"Seharusnya tidak ada laporan pengeluaran dari kartuku ini, karena pasti ponsel aku sudah mas Bara buang," ujar Hana.

Hana tersenyum senang, karena kini dia sudah mempunyai alat untuk berkomunikasi. Dengan seperti itu, dia akan lebih mudah dalam menjalankan misinya.

"Alhamdulillah udah punya ponsel lagi, sekarang lebih baik aku menelpon pengacara keluarga Aditama."

Hana langsung menelpon pengacara keluarga Aditama, dia berkonsultasi dengan pengacara tersebut tentang masalah asetnya yang sudah diambil alih oleh Bara.

"Tunggulah aku setengah jam lagi, aku akan datang membawa berkas yang diperlukan."

Setelah puas mendengar jawaban dari pengacara keluarga Aditama, Hana melangkahkan kakinya dengan begitu perlahan menuju ruang administrasi.

Dia membayar tagihan atas nama Hesti, lalu dia pergi ke ruang IGD. Padahal, dia sudah tahu kalau Hesti harus mendapatkan perawatan dari suster, tetapi sengaja dia tidak langsung pergi ke ruang perawatan.

Akan tetapi, dia pergi terlebih dahulu ke ruang IGD untuk bertemu dengan pak sopir. Karena dia yakin kalau pak sopir sedang menunggu dirinya di depan ruang IGD.

"Nyonya sudah datang?" tanya Pak sopir yang melihat kedatangan Hana.

"Sudah, bagaimana dengan Hesti?"

"Katanya harus mendapatkan perawatan, soalnya area intinya terluka dan juga melepuh."

"Oh gitu, kalau begitu sekarang tolong antarkan aku ke ruang perawatan Hesti. Setelah itu tolong carikan aku makanan. Aku lapar," ujar Hana.

Hana bersyukur sekali karena dengan niat Hesti ingin mencelakakan dirinya, justru wanita itu yang malah mendapatkan perawatan di rumah sakit. Dengan seperti itu, dia bisa melancarkan niatnya untuk segera merebut kembali aset berharga yang sudah direbut oleh Bara.

"Siap, Nyonya," jawab Pak sopir.

Hana diantarkan ke dalam ruang perawatan oleh pak sopir, tetapi setelah tiba di depan ruang perawatan, wanita itu memutuskan untuk tidak masuk dan malah duduk di bangku tunggu.

Pak sopir paham kenapa majikannya itu tidak mau masuk ke dalam ruangan tersebut, karena Hana berkata jika wanita itu lapar, pasti wanita itu akan menunggu makanan yang akan dia belikan.

Setelah memastikan Hana duduk dengan nyaman di bangku tunggu, pak sopir dengan cepat pergi dari rumah sakit itu untuk membelikan makanan. Tidak lama kemudian, dia kembali dan membawakan makanan untuk wanita itu.

"Ini, Nyonya."

"Terima kasih, Pak. Sekarang tolong telpon mas Bara. Tolong suruh dia cepat ke sini," ujar Hana.

"Loh, kenapa tuan harus ditelepon? Kan, bukan Nyonya yang sakit?"

"Aku perlu tanda tangan dia, soalnya ada tindakan yang harus dilakukan."

Hana memegangi berkas di tangannya, tentu saja berkas itu adalah berkas yang dibuatkan oleh pengacara dari keluarga Aditama. Bukan berkas yang diberikan oleh dokter.

"Oh gitu, baiklah," ujar Pak sopir.

Pak sopir dengan cepat menelpon Bara, dia berkata jika Bara harus segera datang. Karena Hana harus segera mendapatkan tindakan, Bara tentunya berkata jika pria itu akan datang dalam waktu setengah jam.

"Bapak boleh tunggu di depan saja," ujar Hana.

"Ya, Nyonya."

Selepas kepergian pak sopir, Hana sempat memperhatikan Hesti dari jendela. Wanita itu terlihat meringis kesakitan, Hana menduga pasti Hesti akan mengalami kesakitan yang luar biasa pada area intinya. Karena air panas itu jatuh tepat di bagian vital wanita itu.

"Selamat menikmati, Hesti. Tunggu sebentar lagi apa yang akan aku lakukan terhadap kamu dan juga mas Bara," ujar Hana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status