"Bun, sebelum berangkat kita temui Ayah dulu ya, aku sudah kirim pesan WA, tapi ga dibaca di telpon juga ga tersambung, aku khawatir, bisakah kita pergi ke rumahnya?" tanya Fatimah.Rencananya lima hari lagi kedua kakak beradik itu akan terbang ke negri tempatnya mencari ilmu. Namun, mereka merasakan firasat buruk tentang sang ayah yang tak kunjung memberi kabar.Sejujurnya Uwais pun merasakan hal yang sama dengan adiknya, akan tetapi ia tak terlalu terbawa oleh perasaan tersebut, dan lebih memilih menyibukkan diri mempersiapkan keberangkatannya juga mengurus bisnis sang Bunda bersama pamannya, Fatan."Kamu yakin, Dek, mau berkunjung ke rumah Ayah?" tanya Uwais sambil mengerutkan dahi."Iya, Kak, aku pengen banget lihat rumah yang kalian tinggali waktu masih bersama," jawab Fatimah mengiba, ia tak pernah ingat bagaimana hari-hari yang pernah dilalui di rumah itu karena usianya masih tiga tahun."Gimana, Bund?" tanya Uwais."Ya sudah kita berangkat aja besok ke rumah Ayah kalian, biar
"Astaghfirullah, mengerikan sekali," ungkap Zhafran tak kalah panik."Bunda, jangan-jangan itu ...." ucapan Fatimah terhenti"Ayaah!" tariak Fatan, ia yakin jika mayat yang sudah membusuk itu merupakan ayah yang selama ini dibencinya."Ayaaaah! Astaghfirullah, Astaghfirullah, Bunda itu mayat Ayah, dia meninggal seorang diri tanpa diketahui siapapun, astaghfirullah," teriak Fatimah sambil terisak-isak.Mereka semua menangis, bau amis yang tercium begitu menyengat seolah tak terhirup lagi."Bunda gimana ini? itu pasti Ayah, kalau bukan Ayah siapa lagi coba." Fatimah terisak di pelukan sang Bunda."Gimana ini, Mas?" tanya Fatma kebingungan."Mas akan lapor polisi, kalian di sini beritahu para tetangga," usul Zhafran.Setelah sepakat, Zhafran pergi ke kantor polisi terdekat sementara Fatimah dan putra-putrinya segera berlari keluar berteriak minta tolong, tak menunggu waktu lama para tetangga muncul berdatangan hingga halaman rumah itu penuh oleh orang-orang yang berkumpul."Ada apa ini,
Sejak dua Minggu Ahza di kebumikan, rumah dua lantai yang dahulu merupakan simbol cinta, kasih sayang, dan harapan itu dikosongkan, baik Wirda ataupun Fatma tak ada yang mau menempati.Fatma berencana akan merenovasi rumah itu kemudian mengontrakannya pada orang lain. Namun, rencana itu belum terealisasi hingga saat ini, karena dirinya disibukkan dengan urusan yang lain.Sementara Wirda memilih pergi dan tinggal di rumah kecil di sebuah desa bersama sang Mama yang mana kondisinya semakin memburuk.Di sana Wirda membuka usaha warung kecil-kecilan sebagai penunjang hidupnya, selepas lelaki yang bernama Deri beringkar janji, Wirda lebih memilih pergi sejauh mungkin melupakan semuanya.Wanita yang berumur hampir kepala lima itu terdiam di teras rumahnya sambil menunggu warung yang tak juga dikunjungi pembeli, teringat ucapan Deri dua hari yang lalu."Maafkan aku, Wirda, ga bisa tepati janjiku waktu itu," ucap seorang Deri, lelaki yang berumur tak jauh dengan Ahza . Namun, ia masih terliha
"Ma! Bangun!" Wirda menggoyangkan tubuh kaku Mama, jantungnya sudah berdegup tak menentu.Wirda segera mengecek denyut nadi mama yang sudah tiada lagi, tak menyerah ia juga menempelkan telinganya ke dada Mama untuk mengecek degup jantungnya."Astaghfirullah, Mama!" teriak Wirda saat menyadari jika jantung sang Mama tercinta tak lagi berdetak, kini sempurna sudah penderitaan hidupnya.Wirda nelangsa, air matanya menganak sungai sambil terus mengguncangkan tubuh mama yang sudah kaku, untuk kedua kalinya Wirda merasa menyesal karena telah mengabaikan orang tercintanya saat meregang nyawa.Wirda bergegas ke rumah pak RT untuk memberi kabar jika mamanya telah tiada, sekaligus meminta bantuan terhadap warga sekitar untuk mengkremasikan jenazah Mama.Beruntung warga sekitar mau membantu proses pemakaman mama dengan sukarela, mereka juga banyak bersimpati, ada yang memberi Wirda uang dan juga makanan, semua tetangga bergotong royong membantu yang sedang berduka.Wirda diam termenung dengan ai
Seorang perempuan yang berusia 35 tahun terlihat duduk di sebuah bangku kayu dekat taman, wajah perempuan itu terlihat lebih tua dari umurnya, masih mengenakan seragam kerja hitam putihnya perempuan itu menyeruput es teh manis 5000-an yang ia beli di pedagang kaki lima.Cuaca yang terik membuat pelipisnya terus-menerus mengeluarkan keringat, dahinya mengkerut ketika ia mendongklak ke atas langit yang masih terik walaupun jam sudah menunjukkan pukul 04.00 sore."Wirda."Perempuan itu menoleh ketika ada seorang laki-laki yang memanggilnya dari belakang.Mereka saling bersitatap sejenak, lama terpisahkan oleh jarak dan waktu membuat dia lupa siapa lelaki yang menegurnya itu."Aku Faisal teman SMA kamu."Bibir Wirda mendadak tersenyum lebar, akhirnya ia mengingat siapa pria itu, pria yang ketika SMA menjadi cinta pertamanya, sedikit ada rasa malu yang ia rasakan mengingat hubungan mereka kala itu berakhir dengan tidak baik-baik."Oh iya aku baru ingat, kamu apa kabar?" Tanya Wirda, sement
"Ma, kamu di sini ternyata." Pintu kamar Bella dibuka oleh Faisal."Lagi ngapain?" Faisal merangkul putri satu-satunya itu."Ini Mama lagi nawarin puding, tapi aku kenyang mau istirahat aja, Pa." Bella tersenyum manis menatap wajah sang ayah, dalam sekejap mata dia berhasil mengubah wajah sinisnya itu, Winda pun terkejut melihat tingkah anak tirinya."Oh gitu, ya sudah biarin Bela istirahat dulu, Ma." "Ya udah." Sambil termenung Wirda keluar dari kamar gadis itu, dia tidak habis pikir gadis yang baru duduk di bangku SMA memiliki dua wajah yang mengerikan, aktingnya sudah menandingi artis-artis papan atas.Lalu Wirda teringat perlakuannya dulu ketika berumah tangga dengan Ahza, dia pun kerap bersikap seperti Bella baik kepada Fatma dan anak-anaknya ketika di hadapan Ahza saja tetapi lain lagi di belakang bahkan dia pernah mencubit lengan Fatimah hingga menangis hanya karena kesal diganggu olehnya, tetapi saat Ahza datang dan menanyakan kenapa Fatimah menangis maka Wirda pun langsung
"Sumpah, Mas, aku nggak nyuri kalung Bella," ujar Wirda sambil merintih kepanasan.Faisal yang bijak menahan segala rasa kecurigaannya terhadap Wirda, karena dia tahu saat ini istrinya itu sedang membutuhkan pertolongan secepatnya."Ayo kita ke klinik.""Pa! Perempuan ini udah nyuri kalungku! Kalau Papa memaklumi gitu aja nanti dia mau nyuri apa lagi dari kita?! Bisa-bisa semua yang kita punya dia curi!" Teriak Bella.Gadis itu tidak puas karena Wirda tidak diberi hukuman malah dibawa ke klinik untuk diobati padahal dia berharap sang ayah mengusir Wirda dan menceraikannya, sungguh pemikiran yang sangat labil"Pa!" Anak itu terus berteriak karena Faisal tidak menghiraukannya."Papa! Dengerin aku dong!""Oh jadi sekarang Papa lebih ngebelain perempuan ini daripada anak sendiri! Papa ingat ya di dunia ini nggak ada mantan anak!""Cukup Bella! Kendalikan emosimu ini bukan saatnya berdebat!" Tegas Faisal, kepalanya pusing mendengar Bela terus nyerocos.Di satu sisi dia kasihan pada Wirda t
Faisal menepati janjinya, setelah beberapa jam Selly rapat dengan klien perusahaan di gedung tersebut, dia menjemput perempuan itu walau harus menunggu beberapa menit.Begitu keluar, Selly tersenyum tipis, ternyata usaha yang dia lakukan tidak sia-sia, teringat beberapa hari ke belakang, dia rela menembus hujan dan jalan yang jelek serta licik demi mendatangi sebuah rumah lelaki tua di sebuah desa yang dekat dengan sebuah pantai berdasarkan rekomendasi dari temannya.***"Aku ingin lelaki ini menjadi milikku, Bah, tapi dia sudah punya istri, aku juga ingin pria bernama Faisal ini melupakan istrinya dan hanya mencintaiku." Selly menyerahkan Poto dan beberapa persyaratan lain yang diminta, tentu saja persyaratan itu dengan bantuan Bella, dengan imbalan perhiasan emas biasa yang bagi Selly harganya terbilang tidak mahal."Pria ini ya, kamu tahu hari kelahirannya? Nama ibunya?" Dukun itu menatap wajah Selly dengan serius."Tahu, Bah, semua tertulis di sini.""Baik, tapi ada beberapa syara