Kala membaca chat yang Binar kirimkan kepadanya. Tatapannya tidak terbaca, tapi setelahnya ada seringaian kecil muncul di bibirnya. Tidak tahu apakah ada sesuatu yang tengah memengaruhi Binar dengan keputusan yang diambil, tapi apa pun itu, Kala merasa puas. Tidak kurang enam bulan lagi, dia pasti akan menikah dengan perempuan itu. “Jadi kamu sudah memikirkan keputusan yang kamu ambil?” Keesokan harinya, Binar dipanggil Kala masuk ke dalam ruangannya untuk membicarakan masalah tersebut. “Keputusan apa yang Bapak maksud?” tanya Binar pura-pura bodoh. Dia bahkan tidak dipersilakan untuk duduk oleh bosnya tersebut. “Kamu tahu maksud saya.” Kala memberikan atensinya pada Binar tanpa beralih sama sekali. “Chat kamu yang semalam, itu bukan karena kamu mimpi ‘kan?” Binar tidak bereaksi. Ekspresinya juga begitu dingin dan tampak tidak bersahabat. Kemudian satu jawaban lolos membuat Kala hampir mengumpati perempuan itu. “Ini di kantor, Pak. Pembahasan masalah pribadi seharusnya dilakukan
Kala tampak tidak terpengaruh dengan pertanyaan Anton dan dengan santainya dia menyuapkan ayam ke dalam mulutnya. Iseng. Mulut Anton memang sering seperti itu. Kala memang belum terlalu mengenalnya, tapi dia juga bisa melihat ketika Anton bersama dengan teman-temannya, ada saja ulahnya yang membuat geram. “Binar!” Nama itu terlontar. Membuat satu meja itu tampak terkejut. Tidak tahu apakah itu sebuah jawaban yang Kala berikan, atau hanya ingin mengungkapkan sesuatu kepada perempuan itu. Sedangkan Binar bahkan terlihat membeku. Kini mereka semua menunggu dengan harap-harap cemas atas kelanjutan jawaban Kala. Tapi selanjutnya mereka semua justru mendesah kecewa. “Kamu sudah berapa lama kerja dengan Anton?” tanya Kala dengan santai. “Kamu nggak merasa dia merepotkan?” Binar menatap Kala yang kemudian menoleh pada Anton. Ada seringaian tipis yang terlihat. “Namanya orang marketing, Pak. Harus bisa improvisasi.” Anton mendengus kesal. “Saya tanya apa, jawabannya malah buat orang keki.
Kala masih berada di depan rumah Binar meskipun perempuan itu sudah masuk ke dalam rumah. Menarik napasnya panjang, Kala membuka jendela mobil, mengeluarkan rokok dari dashboard mobilnya, lalu menyalakannya. Menghisap nikotin tersebut dengan santai sambil menumpukan kepalanya pada kepalan tangannya. Lelaki itu masih belum berniat untuk pergi dari sana. Menikah. Kala pernah berpikir akan menikah lagi setelah dirinya menyandang status duda selama tiga tahun terakhir ini. Tapi di antara banyak perempuan yang dikenalnya, tidak satupun yang menarik perhatiannya. Tapi Binar, perempuan itu tentu menjadi pilihan yang tepat untuk saat ini dan waktu-waktu selanjutnya. “Kamu nggak ada niatan untuk menikah lagi?” Malam itu, malam di mana dia mengalami ‘kecelakaan’ yang membuatnya pada akhirnya mengenal Binar, dia mendapatkan pertanyaan itu dari ibunya. Ibunya yang selalu mendorong dirinya untuk segera kembali berkeluarga setelah kegagalan yang dialami. “Aku akan menikah kalau aku sudah bertem
Binar tidak segera menjawab. Ada sedikit rasa takut di dalam hatinya saat dia menerima penawaran Kala. Dia takut jatuh cinta. Benar, dia sudah meyakinkan dirinya jika dia tak akan lagi menjadi perempuan yang ‘tergantung’ pada orang lain. Tapi tetap saja kekhawatiran itu ada. Setelah dia meyakinkan dirinya untuk menutup hatinya rapat. Dan dia yakin tidak ada yang bisa membukanya. Maka dia mengangguk mantap. “Tujuan saya menikah hanya satu. Saya ingin memiliki anak. Tak peduli meskipun itu tanpa cinta.” “Bagaimana kalau saya memanfaatkan kamu dalam hubungan ini?” Kala kembali bersuara.“Bukankah kita sama-sama melakukannya dengan keuntungan kita masih-masing? Jadi saya pikir, kita tidak perlu lagi membicarakan ini lagi.” Binar kemudian beranjak. “Kalau tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, saya akan kembali.” Kala mengangguk mempersilakan Binar untuk pergi dari ruangannya. Mengikuti kepergian Binar sampai perempuan itu duduk di kubikelnya dengan tatapan tajamnya seperti biasa. Ka
“Saya Binar, istri Kala.” Senyum Binar terbit dan tampak tidak ada kecemburuan. Bukankah memang dia tidak berhak cemburu? Memang dia siapa? Binar memang istrinya, tapi hanya sebagai status di atas kertas. Perempuan itu tidak ingin terlalu mendalami perannya. Membentengi hatinya tinggi-tinggi mulai sekarang akan lebih baik dilakukan. “Saya masuk dulu.” Ketika lift terbuka, Binar keluar lebih dulu meninggalkan Kala dan Widi begitu saja. Ada sesuatu yang aneh yang pasti tampak di mata Widi. Perempuan itu bahkan harus menahan kepergian Kala ketika lelaki itu ingin pergi dari sana. “Tanggapan istrimu, kenapa begitu biasa dengan keberadaanku. Seperti, ada yang aneh dengan hubungan kalian.” Widi adalah seorang perempuan yang tentu saja feelingnya begitu tajam dengan hal-hal seperti itu. Maka dia tak ingin berpura-pura tidak tahu dengan keganjilan yang dirasakan. Kala melepaskan tangan Widi di tangannya. Lelaki itu menggeleng pelan. “Dia memang seperti itu. Selama dia merasa sesuatu yan
“Binar, kenapa harus buru-buru? Bersabarlah.” Kala membujuk Binar agar Binar setidaknya mau menunggu sampai Tuhan benar-benar mempercayakan mereka memiliki anak. Jika memang benar-benar tak kunjung mendapatkannya ketika sudah lama menikah, mungkin opsi tersebut bisa dilakukan. Tapi mood Binar sedang tidak baik kali ini, maka dia tidak menyanggah lagi ucapan Kala karena yang dia pikir jawaban Kala adalah sebuah bentuk penolakan. Pergi begitu saja dari hadapan Kala, Binar bahkan tak menebus vitamin yang sudah diresepkan oleh dokter. Perasaannya tengah kacau luar biasa dan semakin terasa pedih ketika melihat pasangan yang tengah tersenyum dengan seorang bayi ada digendongannya. Tatapan Binar penuh harap seolah dia ingin segera mendapatkannya juga. “Kamu pasti ingin mendapatkan yang seperti itu juga ‘kan?” Sebuah suara terdengar dari sisi kirinya. Binar menoleh dan mendapati si mantan suami tengah berdiri di sana. Namun Binar memilih tidak menjawab. Karena ketika dia sudah membuka mul
“Penyesalan itu udah nggak ada gunanya lagi sekarang. Kehidupanku sudah berantakan.” Widi melanjutkan ucapannya. Kala tidak menjawab. Ada di dalam sisi hatinya yang ingin menertawakan Widi. Tapi di sisi lain, dia merasakan ada sesuatu yang begitu mendesak yang dia tak tahu itu apa. Logikanya mengatakan jika dia tak seharusnya begitu bodoh dengan masih memikirkan kemungkinan yang tidak mungkin. “Aku pikir, kamu sudah punya anak dan ….”“Aku keguguran saat itu.” Widi memotong ucapan Kala, membuat atmosfer di antara mereka tampak membeku. “Kal, aku minta maaf.” Widi tampak benar-benar menyesal. “Seandainya aku tidak melakukan hal buruk itu, aku yakin sekarang kehidupan kita akan bahagia. Aku … bahkan masih mencintaimu.” Ada gejolak yang tidak bisa Kala hindari. Perasaan cinta yang masih kental, harapan-harapan yang pernah pupus, kembali menjadi melebur menjadi satu dan menciptakan sesuatu yang sangat luar biasa. Ada euphoria yang muncul di dalam hatinya. Itu seperti sebuah kebahagiaan
Rentetan pertanyaan itu membuat Kala terdiam. Selama mereka menikah, Binar memang tidak bertanya tentang alasan Kala yang bersikeras mau menikahinya. Dia hanya berpikir itu bukan urusannya. Tapi setelah dia berpikir lebih dalam lagi, ada sebuah ketakutan yang akhirnya muncul di dalam pikirannya. Jadi, dia memutuskan untuk berbicara dan meluruskan semuanya. Dengan begitu, dia tahu arah hidupnya kedepannya. “Kenapa tiba-tiba kamu bertanya dan penasaran dengan ini? Bukannya kamu sebelumnya tidak peduli alasanku?” Kala menjawab. Merasa aneh dengan “Karena aku harus tahu arah masa depanku. Sekarang aku tanya, apa Mas akan melanjutkan pernikahan kita sampai seterusnya?” Binar memancing. Namun Kala pun tidak segera menjawab. Tentulah Kala juga mungkin tidak pernah berpikir tentang kelanjutan hubungan mereka. Baik Binar maupun Kala, mereka hanya mengikuti ego mereka untuk menikah. Binar dengan dendamnya kepada Rasya yang ingin membuktikan dia bisa memiliki anak, dan Kala dengan alasannya