"Besok sidang keputusan Raya, apa kamu sudah menyiapkan semuanya, Mas?" tanya Indira pada Adi, lelaki itu hampir setiap malam datang ke tempat tinggal Indira."Iya, sudah saya siapkan semuanya, saya sudah sewa pengacara. Ya, meskipun saya gak mampu sewa yang kondang, tetapi setidaknya dia bisa mengurus semuanya kalau ternyata keadilan tidak berpihak pada anak kita," balas Adi, mantan suami Indira itu tak tahu kalau diam-diam mantan istrinya pergi ke rumah Haris."Baiklah, aku yakin pasti Raya akan bebas," kata Indira sembari menyesap teh hangat, sementara Maira sudah tertidur lelap di dalam."Semoga saja," balas Adi lagi."Ya sudah, kamu pulang lah Mas, ini sudah malam, lagi pula Maira sudah tidur," pinta Indira sembari melangkah pergi, wanita itu hendak masuk ke rumah, ia tak mempedulikan Adi yang masih duduk di kursi teras."Indira," panggil Adi, seketika langkah wanita itu terhenti dan menoleh ke arah mantan suaminya."Kenapa lagi?" tanyanya."Apa kamu mau kalau kita rujuk?" tanya
"Mas Haris," gumam Hasna lirih, melihat reaksi wajah sang ibu, seketika Dian mengernyitkan dahi.Begitupun Haris, lelaki yang usianya lebih tua dari Hasna itu menatap wajah mantan kekasihnya dalam, seolah-olah ada rasa bersalah yang seketika timbul di sana."Hey Bapak tua, kenapa malah bengong? Ayo tanggungjawab," pinta dr. Rian yang sangat kesal.Sementara Haris masih terpaku menyadari wanita masa lalu yang sengaja ia tinggalkan kini berada di hadapannya."Hey anak muda gak tahu sopan santun, memang harus seperti itu cara bicara dengan orang yang lebih tua."Mega yang jengah, keluar dari mobil dan tak terima mendengar suaminya dimarahi oleh anak muda."Sudah lah, Rian. Lebih baik kita pulang saja, nanti kita saja yang bawa ke bengkel," ajak Hasna sembari menarik lengan putranya.Wanita itu melirik ke arah istri sah Haris sebentar kemudian menatap lelaki masa lalunya itu dengan penuh kebencian."Tapi Bun, dia tetap harus tanggung jawab. Coba bunda lihat, kepala istriku bahkan benjol k
Raya sujud syukur sembari menangis, wanita itu lantas berpelukan dengan kedua orangtuanya. Hari ini, hakim telah menyatakan bahwa dirinya bebas. Indira bahagia, wanita itu tak henti-hentinya memeluk anak kesayangannya. Begitupun Adi, lelaki itu mengusap kepala Raya dan terus menciumnya.Kehidupan Raya sebenarnya sempurna, kedua orangtuanya begitu menyayangi dia. Bahkan sejak kecil hidupnya selalu beruntung dari Dian.Di saat sepupunya tak tahu di mana sang ibu, ia justru bisa memeluk ibunya setiap saat. Sejak kecil ia begitu dimanja, begitupula oleh Ayahnya, ketika Dian tak pernah tahu siapa ayahnya dan jua di mana rimbanya, ia justru bisa bermain dan bergelantungan di pundak sang ayah.Raya juga memiliki banyak teman dibandingkan Dian, wanita itu memiliki kepribadian yang mudah dekat dengan orang meski terkadang sedikit judes.Didikan sang ibu yang konsumtif dan hedon, membuat Raya tumbuh dengan rasa ketidakpuasan dengan apa yang dimiliki. Indira selalu membuat Raya merasa kurang, se
Hasna semakin frustasi karena sepanjang penglihatannya tak ada tanda-tanda keberadaan Citra.Sementara Mbok Siti gegas berlari ke arahnya setelah melihat majikannya kebingungan, wanita itu membawa balon dan minuman yang telah dibelinya."Kenapa Bu, Citra mana?" tanya Mbok Siti dengan wajah tak kalah panik karena tak ada anak Dian di sana."Mbok, Citra gak ada, tadi dia di sini, di depan saya, terus saya meleng sedikit tahu-tahu Citra hilang," balas Hasna seraya menangis. Wanita itu kian panik."Ya Allah Citra ... ya sudah Bu, kita berpencar saja, siapa tahu Citra masih ada di sini," ajak Mbok Siti kemudian ia berlari ke arah kanan sementara Hasna berlari ke arah kiri.Setiap bertemu dengan orang yang lewat atau kerumunan, Hasna selalu bertanya apakah di antara mereka melihat anak kecil dengan ciri-ciri pakaian yang dikenakan Citra, bahkan ia juga memperlihatkan foto cucunya dari ponsel. Namun, tak ada yang melihat.Hasna yang semakin frustrasi lantas menjatuhkan diri ke tanah, tubuhny
Radit sedang di perjalanan hendak pulang saat Ajeng menelponnya, wanita itu menceritakan kalau Citra dibawa oleh orang asing. Hal itu diketahui Ajeng saat ia hendak mengikuti senam sore di taman dekat rumah temannya.Radit yang sedang mengemudi, lantas melajukan kecepatan mobilnya. Di sepanjang perjalanan ia merutuki kelalaian Dian dan dr. Rian pada darah dagingnya.Sesampainya di rumah, Radit melihat sang ibu tengah menggendong Citra yang tak hentinya menangis, lantas Radit langsung menelpon mantan istrinya untuk mengungkapkan kekesalan."Ibu bikinin susu dulu ya," kata Ajeng sembari melangkah ke dapur, wanita itu memberikan Citra pada Radit kemudian pergi."Iya, Ibu sudah belikan Citra susu?" tanya Radit dengan sedikit mengerutkan dahinya, dalam hati lelaki itu bertanya-tanya, mengapa ada susu sedangkan insiden penculikan Citra baru saja dan terjadi begitu cepat."Iya," balas Ajeng tanpa melihat ke arah anaknya.Melihat dot, pampers dan perlengkapan bayi membuat hati Radit semakin d
"Cucu, kamu masih bisa sebut Citra cucu?" tanya Ajeng sambil tersenyum sinis."Hey Hasna, saya bahkan lebih berhak pada Citra dibandingkan kamu, perempuan asing yang baru datang di kehidupan kami," ketus Ajeng dengan senyuman menyeringai.Mendengar perkataan menohok dari mantan besannya, lantas membuat Hasna menelan ludah.Wanita itu sadar kalau memang ia bagaikan orang asing untuk Dian meski anak itu terlahir dari rahimnya. Bahkan, hingga detik inipun masih ada kecanggungan antara dirinya dan anak kandungnya itu.Dokter Rian menyadari ekspresi wajah Hasna yang seketika berubah sendu lantaran perkataan pedas Ajeng, lelaki itu lantas mengelus pundak ibunya untuk memenangkan."Bu Ajeng, bahkan orang yang menurutmu asing itu jauh lebih baik dari pada mantan mertua yang ikut andil dalam pengkhianatan," balas dr. Rian sembari menatap nyalang mata Ajeng.Mendengar keributan di depannya, Citra terbangun dan menangis semakin kencang, suaranya terdengar melengking. Dian lantas berlari ke arah
"Oh ya sudah, Mbok Siti tolong jaga Citra dulu ya," pinta Dian sembari menyerahkan anaknya ke gendongan Mbok Siti.Dian perlahan menuruni anak tangga, nampak di lantai bawah Raya tengah duduk sembari mengajak anaknya bercengkrama.Meski malas meladeni sepupunya, tetapi ia harus turun, karena Raya adalah tamu dan dirinya berprinsip bahwa tamu harus dihormati.Dian menarik napas dalam kemudian mengembuskan pelan, ia berusaha menetralkan perasaannya agar tak marah saat berhadapan dengan Raya, tetapi kebencian dalam hatinya sulit untuk ditutupi."Ada perlu apa kamu di sini?" tanya Dian setelah menginjak anak tangga terakhir.Raya yang tengah mengobrol dengan Maira lantas melirik ke arah sumber suara, seketika matanya berkaca-kaca melihat sepupunya.Bayangan saat-saat Dian terusir dari rumahnya, bayangan air mata Dian saat ia menghancurkan rumah tangga sepupunya itu berkelebat dalam kepala Raya, membuat hatinya semakin diliputi rasa bersalah, tetapi ia juga senang karena kini Dian sudah ba
"Mau apa kamu ke sini, belum puas kamu merusak hidup saya?"Nengsih menatap nyalang wajah Raya yang tengah duduk berhadapan dengannya, matanya memerah, kemurkaan terlihat jelas di sana."Neng, saya ke sini mau meminta maaf sama kamu, saya sudah banyak sekali salah sama kamu," jelas Raya dengan penuh penyesalan, sementara Maira tertidur pulas dalam gendongannya."Memaafkan ataupun tidak sekarang sudah tidak ada artinya, karena saya sudah kehilangan semuanya," balas Nengsih dengan suara bergetar."Saya tahu, tidak mudah bagi kamu memaafkan saya, saya sadar itu," lirih Raya dengan mata berkaca-kaca."Saya pastikan kamu akan mendapatkan balasan yang jauh lebih menyakitkan dari semua yang rasa rasakan," kutuk Nengsih."Apapun akan saya terima karena sudah menjadi konsekuensinya," jawab Raya pasrah."Baguslah, kalau begitu akui kalau semua memang perbuatan kamu, harusnya kamu yang mendekam di sini, bukan saya!" kecam Nengsih sambil terisak, dadanya terasa nyeri mengingat bertahun-tahun diri