Radit sedang di perjalanan hendak pulang saat Ajeng menelponnya, wanita itu menceritakan kalau Citra dibawa oleh orang asing. Hal itu diketahui Ajeng saat ia hendak mengikuti senam sore di taman dekat rumah temannya.Radit yang sedang mengemudi, lantas melajukan kecepatan mobilnya. Di sepanjang perjalanan ia merutuki kelalaian Dian dan dr. Rian pada darah dagingnya.Sesampainya di rumah, Radit melihat sang ibu tengah menggendong Citra yang tak hentinya menangis, lantas Radit langsung menelpon mantan istrinya untuk mengungkapkan kekesalan."Ibu bikinin susu dulu ya," kata Ajeng sembari melangkah ke dapur, wanita itu memberikan Citra pada Radit kemudian pergi."Iya, Ibu sudah belikan Citra susu?" tanya Radit dengan sedikit mengerutkan dahinya, dalam hati lelaki itu bertanya-tanya, mengapa ada susu sedangkan insiden penculikan Citra baru saja dan terjadi begitu cepat."Iya," balas Ajeng tanpa melihat ke arah anaknya.Melihat dot, pampers dan perlengkapan bayi membuat hati Radit semakin d
"Cucu, kamu masih bisa sebut Citra cucu?" tanya Ajeng sambil tersenyum sinis."Hey Hasna, saya bahkan lebih berhak pada Citra dibandingkan kamu, perempuan asing yang baru datang di kehidupan kami," ketus Ajeng dengan senyuman menyeringai.Mendengar perkataan menohok dari mantan besannya, lantas membuat Hasna menelan ludah.Wanita itu sadar kalau memang ia bagaikan orang asing untuk Dian meski anak itu terlahir dari rahimnya. Bahkan, hingga detik inipun masih ada kecanggungan antara dirinya dan anak kandungnya itu.Dokter Rian menyadari ekspresi wajah Hasna yang seketika berubah sendu lantaran perkataan pedas Ajeng, lelaki itu lantas mengelus pundak ibunya untuk memenangkan."Bu Ajeng, bahkan orang yang menurutmu asing itu jauh lebih baik dari pada mantan mertua yang ikut andil dalam pengkhianatan," balas dr. Rian sembari menatap nyalang mata Ajeng.Mendengar keributan di depannya, Citra terbangun dan menangis semakin kencang, suaranya terdengar melengking. Dian lantas berlari ke arah
"Oh ya sudah, Mbok Siti tolong jaga Citra dulu ya," pinta Dian sembari menyerahkan anaknya ke gendongan Mbok Siti.Dian perlahan menuruni anak tangga, nampak di lantai bawah Raya tengah duduk sembari mengajak anaknya bercengkrama.Meski malas meladeni sepupunya, tetapi ia harus turun, karena Raya adalah tamu dan dirinya berprinsip bahwa tamu harus dihormati.Dian menarik napas dalam kemudian mengembuskan pelan, ia berusaha menetralkan perasaannya agar tak marah saat berhadapan dengan Raya, tetapi kebencian dalam hatinya sulit untuk ditutupi."Ada perlu apa kamu di sini?" tanya Dian setelah menginjak anak tangga terakhir.Raya yang tengah mengobrol dengan Maira lantas melirik ke arah sumber suara, seketika matanya berkaca-kaca melihat sepupunya.Bayangan saat-saat Dian terusir dari rumahnya, bayangan air mata Dian saat ia menghancurkan rumah tangga sepupunya itu berkelebat dalam kepala Raya, membuat hatinya semakin diliputi rasa bersalah, tetapi ia juga senang karena kini Dian sudah ba
"Mau apa kamu ke sini, belum puas kamu merusak hidup saya?"Nengsih menatap nyalang wajah Raya yang tengah duduk berhadapan dengannya, matanya memerah, kemurkaan terlihat jelas di sana."Neng, saya ke sini mau meminta maaf sama kamu, saya sudah banyak sekali salah sama kamu," jelas Raya dengan penuh penyesalan, sementara Maira tertidur pulas dalam gendongannya."Memaafkan ataupun tidak sekarang sudah tidak ada artinya, karena saya sudah kehilangan semuanya," balas Nengsih dengan suara bergetar."Saya tahu, tidak mudah bagi kamu memaafkan saya, saya sadar itu," lirih Raya dengan mata berkaca-kaca."Saya pastikan kamu akan mendapatkan balasan yang jauh lebih menyakitkan dari semua yang rasa rasakan," kutuk Nengsih."Apapun akan saya terima karena sudah menjadi konsekuensinya," jawab Raya pasrah."Baguslah, kalau begitu akui kalau semua memang perbuatan kamu, harusnya kamu yang mendekam di sini, bukan saya!" kecam Nengsih sambil terisak, dadanya terasa nyeri mengingat bertahun-tahun diri
Maira menangis saat keluar dari rutan. Raya berusaha menenangkan, tetapi gadis kecil itu masih terus saja merengek, membuat Raya tak nyaman dan malu."Astaga, ternyata punya anak itu memang berat ya," gumam Raya, ia menarik napas dalam kemudian membuangnya pelan. Sebagai seorang ibu muda ia bingung harus melakukan apa agar anaknya tak rewel, terlebih di tempat umum.Raya gegas memesan taksi agar putrinya bisa kembali tenang, beruntung gadis kecil itu diam setelah memasuki mobil."Ternyata tadi kamu kepanasan ya," kata Raya sembari mencium pucuk kepala anaknya.Di sepanjang perjalanan ia melihat ibu-ibu yang baru saja menjemput anak-anak mereka dari sekolah, seketika ia melirik Maira.Ada kegundahan dalam dadanya, perlahan tapi pasti Maira akan tumbuh besar. Raya takut jika dirinya tak bisa memenuhi semua kebutuhan putrinya. Terlebih dengan menjadi orang tua tunggal.Sejak kecil ia tak dididik bagaimana caranya berjuang oleh Indira, sehingga saat kekhawatiran itu timbul, ia bingung har
"Setelah diskusi dengan Pak Beni, katanya video CCTV itu juga sudah ada di ponsel Adam. Selangkah lagi kita akan tahu siapa yang membunuh ayah. Hanya saja ponsel Adam mati total, sekarang lagi coba di servis," kata Rian dengan menatap manik hitam istrinya."Syukurlah, Mas. Semoga secepatnya ada keadilan untuk Ayah dan Nengsih," balas Dian."Iya, siapapun yang membunuh ayah harus dihukum dengan hukuman yang setimpal," kecam Rian dengan tangan mengepal, dalam dadanya ia sudah tak sabar mengetahui siapa orang jahat yang tega menghabisi nyawa lelaki yang sangat disayanginya."Pakai baju dulu lah Mas, Citra juga sudah tidur kok," pinta Dian karena melihat suaminya masih mengenakan handuk, lalu ia melirik ke arah putrinya yang terlelap, gadis itu kelelahan setelah banyak menangis."Gak usah lah, aku kangen," balas Rian dengan kedipan nakal. Melihat wajah suaminya, seketika Dian tersipu malu."Sebentar lagi Magrib, Mas. Nanti malam saja ya," kekeh Dian sambil tersenyum kecil."Iya, siap tuan
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Antoni saat melihat adiknya termenung di dalam kamar. Mendengar suara sang kakak, seketika bayangan tentang Adrian menghilang dari lamunan Mawar."Eh kakak," balas Mawar sembari menutup foto-foto keluarga di sebuah album usang.Sebelum memikirkan tentang Adrian, wanita itu terlebih dahulu memikirkan tentang orang tua serta kakek dan neneknya."Kamu pasti kangen kakek dan nenek ya?" tanya Antoni, ia mengelus rambut adiknya lembut."Iya kak, andai waktu bisa diputar kembali. Aku mau hidup lebih lama dengan mereka," jawab Mawar, ia menyeka bulir bening yang menetes di pipinya."Sudah jangan menangis lagi sayang. Kini sudah waktunya kita tersenyum dan keluarga Sholeh menangis," tekan Antoni dengan tangan mengepal."Maaf karena kecerobohan aku tentang Adrian, membuat rencana kita tertunda sementara," sesal Mawar sembari menatap mata kakaknya."Gak apa-apa. Justru dengan adanya kasus Adrian, akan menambah kekuatan untuk bisa menghancurkan mereka. Bahkan tanpa
"Oh ya, saya juga mendapatkan kabar kalau Nengsih sudah dibebaskan," kata Pak Beni lagi.Mata Dian dan suaminya seketika membulat mendengar kabar itu. Pasalnya, selama ini ia berusaha membebaskan Mawar dengan bantuan beberapa pengacara.Bahkan Rian sudah mencabut tuntutannya, namun tetap saja, Nengsih tak bisa dibebaskan dalam waktu dekat, justru semakin dipersulit. Namun, kini Nengsih bebas dengan mudahnya."Siapa yang membebaskan?" tanya Raya sembari memicingkan mata.Wanita itu ingat perkataan Nengsih tempo hari, gadis itu mengatakan ada seorang malaikat yang akan membebaskannya."Pasti dia orang yang berpengaruh. Entah kenapa aku berpikir kakaknya Mawar yang polisi itu terlibat dalam hal ini. Biasanya, sebuah kasus akan menjadi mudah atau bahkan rumit jika sudah dimainkan orang dalam," balas Rian dengan tatapan sinis.Setelah banyaknya berita di sosial media mengenai minimnya keadilan, kini lelaki itu hampir tak percaya dengan hukum yang berlaku, karena bagi Rian tumpul ke atas ta