"Mau apa kamu ke sini, belum puas kamu merusak hidup saya?"Nengsih menatap nyalang wajah Raya yang tengah duduk berhadapan dengannya, matanya memerah, kemurkaan terlihat jelas di sana."Neng, saya ke sini mau meminta maaf sama kamu, saya sudah banyak sekali salah sama kamu," jelas Raya dengan penuh penyesalan, sementara Maira tertidur pulas dalam gendongannya."Memaafkan ataupun tidak sekarang sudah tidak ada artinya, karena saya sudah kehilangan semuanya," balas Nengsih dengan suara bergetar."Saya tahu, tidak mudah bagi kamu memaafkan saya, saya sadar itu," lirih Raya dengan mata berkaca-kaca."Saya pastikan kamu akan mendapatkan balasan yang jauh lebih menyakitkan dari semua yang rasa rasakan," kutuk Nengsih."Apapun akan saya terima karena sudah menjadi konsekuensinya," jawab Raya pasrah."Baguslah, kalau begitu akui kalau semua memang perbuatan kamu, harusnya kamu yang mendekam di sini, bukan saya!" kecam Nengsih sambil terisak, dadanya terasa nyeri mengingat bertahun-tahun diri
Maira menangis saat keluar dari rutan. Raya berusaha menenangkan, tetapi gadis kecil itu masih terus saja merengek, membuat Raya tak nyaman dan malu."Astaga, ternyata punya anak itu memang berat ya," gumam Raya, ia menarik napas dalam kemudian membuangnya pelan. Sebagai seorang ibu muda ia bingung harus melakukan apa agar anaknya tak rewel, terlebih di tempat umum.Raya gegas memesan taksi agar putrinya bisa kembali tenang, beruntung gadis kecil itu diam setelah memasuki mobil."Ternyata tadi kamu kepanasan ya," kata Raya sembari mencium pucuk kepala anaknya.Di sepanjang perjalanan ia melihat ibu-ibu yang baru saja menjemput anak-anak mereka dari sekolah, seketika ia melirik Maira.Ada kegundahan dalam dadanya, perlahan tapi pasti Maira akan tumbuh besar. Raya takut jika dirinya tak bisa memenuhi semua kebutuhan putrinya. Terlebih dengan menjadi orang tua tunggal.Sejak kecil ia tak dididik bagaimana caranya berjuang oleh Indira, sehingga saat kekhawatiran itu timbul, ia bingung har
"Setelah diskusi dengan Pak Beni, katanya video CCTV itu juga sudah ada di ponsel Adam. Selangkah lagi kita akan tahu siapa yang membunuh ayah. Hanya saja ponsel Adam mati total, sekarang lagi coba di servis," kata Rian dengan menatap manik hitam istrinya."Syukurlah, Mas. Semoga secepatnya ada keadilan untuk Ayah dan Nengsih," balas Dian."Iya, siapapun yang membunuh ayah harus dihukum dengan hukuman yang setimpal," kecam Rian dengan tangan mengepal, dalam dadanya ia sudah tak sabar mengetahui siapa orang jahat yang tega menghabisi nyawa lelaki yang sangat disayanginya."Pakai baju dulu lah Mas, Citra juga sudah tidur kok," pinta Dian karena melihat suaminya masih mengenakan handuk, lalu ia melirik ke arah putrinya yang terlelap, gadis itu kelelahan setelah banyak menangis."Gak usah lah, aku kangen," balas Rian dengan kedipan nakal. Melihat wajah suaminya, seketika Dian tersipu malu."Sebentar lagi Magrib, Mas. Nanti malam saja ya," kekeh Dian sambil tersenyum kecil."Iya, siap tuan
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Antoni saat melihat adiknya termenung di dalam kamar. Mendengar suara sang kakak, seketika bayangan tentang Adrian menghilang dari lamunan Mawar."Eh kakak," balas Mawar sembari menutup foto-foto keluarga di sebuah album usang.Sebelum memikirkan tentang Adrian, wanita itu terlebih dahulu memikirkan tentang orang tua serta kakek dan neneknya."Kamu pasti kangen kakek dan nenek ya?" tanya Antoni, ia mengelus rambut adiknya lembut."Iya kak, andai waktu bisa diputar kembali. Aku mau hidup lebih lama dengan mereka," jawab Mawar, ia menyeka bulir bening yang menetes di pipinya."Sudah jangan menangis lagi sayang. Kini sudah waktunya kita tersenyum dan keluarga Sholeh menangis," tekan Antoni dengan tangan mengepal."Maaf karena kecerobohan aku tentang Adrian, membuat rencana kita tertunda sementara," sesal Mawar sembari menatap mata kakaknya."Gak apa-apa. Justru dengan adanya kasus Adrian, akan menambah kekuatan untuk bisa menghancurkan mereka. Bahkan tanpa
"Oh ya, saya juga mendapatkan kabar kalau Nengsih sudah dibebaskan," kata Pak Beni lagi.Mata Dian dan suaminya seketika membulat mendengar kabar itu. Pasalnya, selama ini ia berusaha membebaskan Mawar dengan bantuan beberapa pengacara.Bahkan Rian sudah mencabut tuntutannya, namun tetap saja, Nengsih tak bisa dibebaskan dalam waktu dekat, justru semakin dipersulit. Namun, kini Nengsih bebas dengan mudahnya."Siapa yang membebaskan?" tanya Raya sembari memicingkan mata.Wanita itu ingat perkataan Nengsih tempo hari, gadis itu mengatakan ada seorang malaikat yang akan membebaskannya."Pasti dia orang yang berpengaruh. Entah kenapa aku berpikir kakaknya Mawar yang polisi itu terlibat dalam hal ini. Biasanya, sebuah kasus akan menjadi mudah atau bahkan rumit jika sudah dimainkan orang dalam," balas Rian dengan tatapan sinis.Setelah banyaknya berita di sosial media mengenai minimnya keadilan, kini lelaki itu hampir tak percaya dengan hukum yang berlaku, karena bagi Rian tumpul ke atas ta
Raya mengunjungi rumah Nurul dan Damar untuk menggali informasi terkait masa lalu kakek dan neneknya.Sebelumnya wanita itu sudah bertanya pada sang ibu dengan caranya, hanya saja Indira tak memberikan banyak informasi, terlebih ia belum siap kalau Indira tahu tentang rencananya bersama Dian.Raya takut sang bunda akan mengacaukan semua rencana yang telah mereka susun. Ia tahu betul bagaimana karakter wanita yang melahirkannya itu.Begitupun Dian, sebelumnya ia bertanya pada ibunya. Namun, Hasna tidak mengetahui banyak perihal masalah yang pernah dialami kedua orang tuanya.Sejak usia remaja ia sudah hidup di kota, sehingga tak tahu kalau ayahnya pernah memiliki konflik dengan orang sekitar.Terlebih, menurut Hasna pak Sholeh adalah orang yang baik dan bijaksana, rasanya mustahil kalau ayahnya itu terlibat masalah hingga menimbulkan dendam bagi orang lain.Begitupun keluarga Bu Lastri, sependek pengetahuannya wanita itu dan suaminya adalah orang yang baik.Tidak mendapatkan informasi
Jantung Dian berdetak lebih cepat. Ketakutannya semakin meningkat. Wajah teduhnya kini menggambarkan kegelisahan yang dahsyat.Wanita itu emeluk Citra erat, berharap Sang Pencipta selalu melindunginya dan seluruh keluarganya dari orang-orang yang hendak mencelakakan.Dian masih mematung di tempatnya berdiri, perasaannya mulai tak karuan. Ia merasa seperti ada sepasang mata yang tengah memperhatikan dan seolah-olah hendak menerkam nya.Dada Dian kembang kempis saat mendengar suara langkah kaki yang perlahan mendekatinya. Mata wanita itu melebar.Sungguh, berada di rumah Mawar benar-benar memacu adrenalin nya. Setelah menyimpulkan sesuatu, kekhawatiran semakin mendominasi perasaannya. Tubuh Dian bergetar hebat lantaran takut saat langkah seseorang itu terdengar kian nyaring.Di tengah kepasrahannya, tiba-tiba saja suara langkah kaki itu berhenti dan tak terdengar lagi. Menyadari sudah aman, Dian menghembuskan napas lega kemudian mengeratkan pelukannya pada Citra. Namun, seketika saja pu
"Stella, maaf aku harus pulang." Rian sudah kembali duduk santai di sofa saat wanita itu kembali."Kok buru-buru sih?" tanya Stella tak suka."Boy sudah mendingan, kan?" Rian balik bertanya sebagai alasannya ingin pergi."Iya, tapi aku masih mau di sini sama kamu," kata Stella, ia berusaha mencegah suami orang lain itu pergi dari rumahnya."Nanti aku balik lagi, kok," balas Rian sembari meraih kunci mobil dan ponsel yang ia letakan di atas meja."Janji ya," pinta Stella manja.Rian tersenyum tipis kemudian mencium kening Stella untuk meyakinkan bahwa dirinya akan kembali.Rian tahu betul, Stella adalah tipe wanita yang terlalu bucin jika sudah benar-benar mencintai lelaki. Hal itu Rian sadari saat dirinya masih berhubungan dengan Stella di masa lalu.Mendapatkan kecupan dari Rian, Stella tersenyum kegirangan. Wanita itu semakin yakin bisa mendapatkan Rian kembali seperti waktu yang telah silam. Wanita itu semakin berambisi merebut Rian dari istrinya.Stella menarik napas dalam saat Ri