“Lalu siapa yang akan mengurusi semua keperluan kamu, kamu butuh seorang manajer ‘kan? Papa gak sreg kamu pilih jalan ini Sheira.” Deva menggeleng-geleng kepala tanda kecewa. Panji hanya masih melihat ke arah lain, sungguh gadis ini paling bisa membawa kejutan dalam rumah mereka.“Papa tenang aja, Sheira sudah punya manajer sendiri, Vero, selama di Aussie dia yang mengurus semuanya. Besok Vero datang dan akan Sheira perkenalkan kepada kalian.”“Duh … Sheira … Sheira … selalu saja kamu begini, mengambil keputusan sendiri, kalau ada apa-apa paling yang repot Panji lagi.” Deva berdecak mendengar penuturan putrinya itu.“Lho kenapa memang? Cucuku juga berhak menentukan jalannya sendiri. Memangnya hanya Panji saja yang berhak menentukan sendiri setiap keputusan di perusahaan? Kita kasih Sheira kesempatan kali ini, dia butuh dukungan kita, keluarganya,” timpal oma Imelda yang merasa jika Panji terlalu dipuja oleh putranya itu.Panji menahan nafas setiap oma Imelda berbicara, selalu saja ada
Panji baru saja menyelesaikan wawancara eksklusifnya dengan The Special. Oma Imelda, Deva dan Terryn menyalami kru majalah dengan wajah sumringah. Mereka sempat mendapat sedikit sesi wawancara untuk melengkapi berita mereka mengenai Panji. Tak bisa dipungkiri jika saat ini terbersit rasa bangga di dalam hati oma Imelda atas pencapaian Panji.“Ma, aku kembali ke apartemen lagi yaa malam ini, aku ‘kan udah nginap semalam.” Panji meraih tangan Terryn dan menggenggamnya erat, mereka masih duduk di teras samping usai wawancara dengan majalah itu.“Anak Nakal! Mama itu masih kangen banget sama kamu, nginap semalam lagi yaa? Besok kamu berangkat ke kantor dari sini.” Terryn masih menahan putra angkatnya, masih segar dalam ingatan Terryn berat rasanya kala itu harus melepas Panji untuk tinggal di apartemennya ketika dia baru memulai karir di perusahaan suaminya. Dengan dalih jika Panji ingin mandiri walaupun alasan sebenarnya adalah tingkah laku Sheira yang membuat Panji tidak pernah nyaman.
Mata Terryn berkaca-kaca, tak ada kesia-siaan sedikitpun bagi waktu Terryn untuk merawat dan membesarkan Panji. Pemuda ini ibarat berlian yang sudah ditempa sedemikian rupa dan sedang berkilau memukau.“Tuuh kaan … Mama mellow lagi. Maaf jika ada kata-kata Panji yang salah yaa, Ma. Panji tidak bermaksud membuat Mama sedih.” Panji mengelus lembut punggung tangan Terryn setelah mengusap air mata perempuan paruh baya itu.Terryn menarik napasnya panjang, nyeri dirasakannya kembali sehingga dia harus menekan dadanya. Sakit yang dideritanya sudah semakin sering kambuh.“Mama baik-baik saja? Dada Mama sakit?” Seketika tatapan Panji berubah jadi sangat khawatir.“Gak … Mama gak apa-apa, nyeri ini sudah biasa. Bisa jadi ini pertanda kalau waktu Mama sudah tidak banyak lagi,” jawab terryn dengan seulas senyum ketegaran.“Mama ngomong apa sih, ayo Panji antar Mama ke kamar yaa.” Panji mengulurkan tangannya agar dapat membimbing Terryn untuk beristirahat.Terryn tidak menolak dan mengikuti gera
Makan malam di kediaman Deva Danuarta berlangsung hangat. Deva tidak menyangka jika sekretaris Panji yang cekatan, pintar dan penuh sopan santun adalah adik junior Panji di kampus dan sekarang menjadi calon istri Panji. Perekrutan Sita pun melalui jalur formal dan memang saat itu hanya Sita yang layak setelah melewati berbagai tes dan wawancara.“Jadi apa kalian sudah menentukan kapan kalian akan menikah?” tanya Deva pada putranya. Panji melempar senyum pada Sita dan SIta tampak bersemu malu-malu.“Tadinya kami ingin secepatnya, Pa, tapi Sita minta sampai kedua adiknya melewati ujian akhir dulu. Jadi mungkin beberapa bulan kedepan lagi.” Panji baru saja menyelesaikan makan malamnya. Kali ini Panji cukup lega karena oma Imelda tidak hadir bersama mereka. Dirinya sedikit khawatir karena Sita belum tahu jika oma Imelda sangat membencinya dan takut jika akan berimbas kepada Sita juga.“Masakan ikan kuah kuning Mama memang gak ada duanya!” seru Panji sambil mengelus perutnya. Terryn menye
Sudah tiga bulan berjalan sejak lamaran Panji di kantornya itu berlalu Baik Panji maupun Sita sama-sama disibukkan dengan pekerjaan mereka.Mereka ingin menyelesaikan beberapa pekerjaan penting terlebih dulu sebelum pernikahan mereka digelar. Setelah wawancaranya di majalah The Special, proyek yang diterima Melda’s Constructions semakin banyak dan membuat perusahaan Melda’s Constructions semakin terkenal luas.Perkembangan karier Sheira pun melesat hebat, hanya dalam waktu singkat namanya sudah melambung sebagai Rising Star. Berbagai kontrak diterima Sheira yang membuatnya semakin sering terlihat di layar kaca dan papan reklame besar di pinggir jalan. Oma Imelda semakin bangga atas pencapaian cucu kesayangannya itu dan semakin melimpahkan kasih sayangnya kepada Sheira.Suatu hari Terryn mengajak anak-anaknya untuk makan siang bersama. Terryn meminta agar Sheira sebisanya hadir untuk kebersamaan mereka. Kondisi Terryn pun sebenarnya semakin lemah tapi Terryn dan Deva memutuskan untuk ti
Panji berusaha berkonsentrasi dengan presentasi yang dilakukan asistennya itu, Bony memaparkan rencana pembangunan proyek terbaru mereka dengan semua keterkaitan skala besar mega proyek yang tengah mereka pegang.Peserta rapat sepakat jika pembangunan dilakukan secepat mungkin karena berbagai ijin telah mereka kantongi dan tidak ada masalah dalam pembebasan lahan. Sungguh tangan Midas kata para kepala divisi yang mengagumi tangan dingin Panji. Bony merapikan kertas kerjanya, dia sudah berulang kali melirik Panji yang lebih banyak terdiam dan menghela napas. Dia sudah hafal dengan bahasa tubuh Panji yang demikian.“Gak mau cerita Bos? Berat niih keliatannya?” Bony menyodorkan sekaleng minuman ringan yang dingin, menurutnya Panji butuh sesuatu yang segar untuk membuka pikirannya yang tengah ruwet.“Anak manja itu menghina Sita dengan telak, aku gak nyangka dia bertingkah semakin buruk. Oohh Tuhaan … Salah aku apa ….?" Panji mengusap kedua wajahnya, pemuda itu benar-benar terlihat lelah
Sheira melihat nomor kamar hotel di depannya dan mencocokkannya dengan isi pesan pengirim. Hatinya sedikit was-was karena baru kali ini dia ingin membicarakan pekerjaan tanpa didampingi Vero dan di sebuah kamar hotel pula. Sheira memutuskan bertemu karena nama pengirim pesan itu nama perempuan, Miranda.Dengan ragu Sheira mengetuk pintu dan tanpa menunggu lama seorang wanita terlihat dari balik pintu sambil tersenyum ramah, dia mengenakan setelan baju kerja yang formal. Sheira tampak sedikit bernapas lega. Pikiran negatif serta perasaan was-was yang menyelimutinya lenyap seketika.“Silakan masuk, maaf yaa saya meminta datang ke hotel karena setelah ini saya harus ke kota lain dan waktu saya hanya kosong di jam sekarang. Ayo masuk, jangan bengong di situ dong,” sambut Miranda dengan senyum ramah.Sheira melangkah pelan dan mengamati ruang hotel VIP yang luas dan berfasilitas lengkap itu. Dia duduk setelah Miranda mempersilakannya dan menyajikan minuman. “Maaf, tapi saya tidak minum
“Gimana tadi les pianonya, Vi? Apa ada lagu baru hari ini?” tanya Sita pada Vivi adik asuhnya yang baru saja keluar dari salah satu deretan ruko. Vivi menjadi salah satu murid yang belajar memainkan alat musik di ruko yang berwarna biru muda itu. Sudah menjadi rutinitas Sita jika dia pulang lebih awal dari kantor maka dia yang mengantar dan menjemput Vivi salah satu adik asuhnya.“Tadi Vivi belajar lagu baru, Kak. Seru deeh! Kata ibu guru, Vivi bisa cepat belajar, gimana gak cepet Vivi ‘kan sering dengar lagu itu di box musik yang kak Tata belikan.” Vivi tersenyum lebar, Tata adalah nama panggilan kesayangan untuk Sita di panti asuhan. Semua anak-anak panti memanggilnya kakak Tata bahkan Panji sering ikut-ikutan memanggil Sita dengan nama panggilan itu.“Yaa udah, sekarang kita pulang yuuk , udah larut malam. Maaf yaa kakak tadi ada urusan sedikit jadi telat deeh jemput Vivi.” Sita memasangkan helm berwarna pink pada Vivi.“Gak apa-apa kok, Kak, bang Fian malah lebih parah lagi kadang