“Viviii … sini Nak, sini sama Ibu, jangan begini Sayang. Vivi marah lagi yaa? Ayo sini… sini….” Ibu Dei mengambil alih Vivi yang masih berontak hendak menyerang Sheira. Dari wajah dan sorot anak itu betapa Vivi ingin mengatakan banyak hal tetapi gadis kecil itu hanya bisa berteriak menangis tantrum.
“Sheira, kamu baik-baik saja? Astaga kepala kamu berdarah!” seru Panji panik, segera diambilnya kotak tisu yang ada di meja dan menarik cepat beberapa lembar tisu lalu menekan luka Sheira.
“A-aku baik-baik saja, aku tidak apa-apa.” Sheira mengambil alih sendiri tisu itu untuk ditekan di kepalanya.
“Bu, ada apa dengan Vivi? Kenapa dia tiba-tiba jadi begini?” Panji mendekati ibu Dewi yang masih menahan Vivi dalam pelukannya. Sheira yang tahu diri karena penyebab kemarahan Vivi pelan-pelan meninggalkan ruangan tanpa suara. Dia berdiri di balik pintu untuk menunggu penjelasan ibu Dewi.
“Ibu
Ibu Asih dan ibu Imelda terlihat sangat senang datang berkunjung ke rumah Terryn. Mereka datang membawakan buah-buahan serta stok cemilan untuk Terryn. keduanya masih berbincang dengan seru ketika turun dari mobil. Bergantian mereka mengucapkan salam, ibu Asih dan ibu Imelda saling bertukar pandangan ketika pintu rumah terbuka dengan lebar tapi tak satu pun ada yang menyahuti salam mereka.“Yiiin … Ini Ibu datang, kamu di mana, Nak?” ibu Asih mengetuk pintu kamarnya dan membukanya sedikit , tidak ada sosok Terryn maupun Deva di dalam sana. Ibu Imelda menuju dapur memanggil bi Ira dan Terryn tapi tak ada sahutan juga. Ibu Imelda mencoba menelpon Deva tapi tidak diangkat, lalu mencoba menelpon Terryn. Bahunya cukup tersentak ketika mendengar dering ponsel Terryn di atas meja makan.“Anak-anak kemana semua sih? Pintu dibiarkan terbuka lebar gitu aja.” gumam Ibu Imelda dengan keheranan. Ibu Asih yang melihat pintu samping terbuka segera menyusul ke sana, perasaannya mulai tidak enak keti
“Home sweet home ….” bisik Terryn ketika sudah sampai di rumahnya bersama Deva di kota. Rumah yang dikiranya tidak akan ada jalan pulang kembali ke sana. “Tunggu jangan turun dulu.” Bergegas Deva turun dari mobil dan membuka pintu untuk Terryn. Laki-laki itu pun meraih tubuh Terryn agar digendongnya masuk ke dalam rumah.“A-aku bisa jalan sendiri, Kak!” seru Terryn terkejut melihat apa yang dilakukan Deva. Terryn menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jika aksi Deva ini tidak dilihat oleh siapapun.“Diam, tidak usah bergerak dan banyak bicara.” perintah Deva lagi sambil mempererat gendongannya. Deva membawanya masuk ke kamar tidurnya bukan di kamar Terryn seperti biasa. “Mulai saat ini kamu tidur di sini agar aku bisa mengawasimu dengan mudah dari ruang kerjaku. Gak ada lagi alasan untuk memindahkan pot dan sebagainya.” Deva meletakkan tubuh Terryn di atas tempat tidurnya. “Baik lah, Kak.” kali ini Terryn tidak membantah lagi, dia menerima semua apa yang Deva atur untuknya.
Hari yang ditentukan akhirnya tiba, Terryn harus masuk ke ruang operasi untuk melahirkan bayinya. Seorang bayi perempuan yang cantik, tapi bayi mungil itu harus mendapatkan perawatan intensif karena usianya yang lahir prematur. Deva mencium kening Terryn yang masih tak sadarkan diri di ruang perawatannya setelah dipindahkan dari ruang operasi. Berbagai alat penopang kehidupannya membalut tubuhnya yang ringkih. Nyaris tak ada lagi cahaya kehidupan di sana, Deva menahan sesak melihat wanita yang telah menjadi ibu dari putrinya itu terbaring lemah tanpa daya. “Cepatlah kembali Yin, putri kita cantik sekali, jangan iri yaa … Kata dokter dan suster putri kita sangat mirip denganku.” Deva menarik senyumnya dengan terpaksa untuk mengimbangi matanya yang basah. Dikecupnya ujung jemari Terryn lalu Deva berbalik meninggalkan ruangan Terryn untuk melihat putrinya yang juga sedang dirawat intensif di inkubator. Dari balik jendela kaca Deva menatap putrinya yang mungil dan hampir sama rapuhnya d
Wanita itu tak pernah menduga jika suatu saat nanti putranya adalah seorang laki-laki luar biasa yang melakukan pengorbanan untuk perempuan yang dicintai oleh anaknya. Tidak ada pilihan terbaik selain menyerahkan keputusan kepada Deva sendiri untuk menjadi donor paru bagi Terryn. Ibu Imelda hanya sanggup memeluk putranya itu dan merapalkan doa-doa serta harapan terbaik untuk anak dan menantunya. Senyum Terryn mengembang ketika melihat Deva masuk ke kamarnya, tangannya terulur untuk memegang tangan Deva. Wajahnya pucat dengan bibir yang keunguan, terdengar berat di setiap tarikan nafasnya meski sudah dibantu dengan tabung oksigen. “Bagaimana kondisi anak kita, Kak? Apa dia baik-baik saja?” tanya Terryn dengan suaranya yang parau nyaris seperti tercekik. “Dia baik-baik saja, dia cantik sepertimu, Yin.” Deva mengecup ujung jari Terryn dan menempelkannya di pipinya. Tatapannya dalam memandang ke wajah Terryn. “Kenapa melihat Yin seperti itu? Yin jelek banget yaa?” seulas senyum itu be
Deva bergegas menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup tidak karuan. Selain memikirkan operasi Terryn tentunya dia juga gugup dengan operasinya sendiri yang dimajukan lebih cepat dari jadwalnya. Willy tetap berusaha menenangkan Deva yang jelas terlihat cemas. Di ujung selasar matanya menangkap sosok perempuan yang sangat dikenalinya, Aluna. Kakak perempuan Deva itu merentangkan tangannya, jauh-jauh dia terbang dari San Fransisco untuk mendampingi adik dan adik iparnya yang tengah dalam masa sulit. Aluna memeluk erat Deva sambil terisak, dia tidak menyangka jika adik ipar kesayangannya itu akan terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan. Aluna berbisik-bisik mengatakan sesuatu pada Deva yang membuatnya tersentak dan melepas pelukan Aluna sambil memandang heran. “Serius, Kak? Kok bisa?” tanya Deva dengan raut tidak percaya. “Dua pekan sebelumnya dokter yang selama ini menangani Terryn memberiku kabar tentang donor itu, aku terkejut karena kau sendiri yang akan melakukanny
“Sudah berapa lama Deva tertidur, Bu?” Deva kembali memungut botol minuman yang terlepas dari tangannya. Dengan kegusaran dia menghela nafas berharap mimpinya tadi bukan pertanda buruk. “Sekitar hampir sejam, kau pastinya kelelahan, Nak. Tentang Terryn jangan khawatir, Aluna dan rekan dokter lainnya sedang mengusahakan yang terbaik untuk istrimu.” Ibu Imelda mengusap bahu anaknya dengan lembut. Deva mengangguk perlahan, dengan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya dia berusaha untuk tetap tenang. Tak lama kemudian Aluna muncul dan Deva berdiri untuk menyambutnya serta bersiap mendengarkan apa kata kakak perempuannya itu. “Kak ….” Deva hanya mampu menyapanya pendek tak mampu untuk menanyakan lebih lanjut kondisi Terryn. “Terryn baik-baik saja, meskipun tadi dia butuh tambahan darah tapi semua bisa teratasi, Willy sudah mendonorkan darahnya untuk Terryn. Stok rumah sakit untuk golongan darah Terryn sedang kosong dan Willy bersedia untuk menyumbangkan darahnya. Deva, kamu beruntung
Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini. “Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya. “Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya. “Kamu … Tahu hal ini ‘kan, Yin?” Ashiqa menelisik lebih jauh karena Terryn terlihat terkejut. “Iya, aku tahu dan hal ini masih membuatku terkejut berkali-kali mengingat niat kak Deva itu.” mata Terryn berkaca-kaca, dia tidak ingin Ashiqa me
Jantung Terryn berdegup kencang ketika mobil sudah terhenti tepat di halaman rumah, Deva membukakan pintu mobil untuknya dan membimbingnya keluar dari mobil. Ibu Asih dan ibu Imelda sudah menyambut kedatangannya dengan penuh sukacita. Dalam gendongan ibu Asih tampak bayi Sheira yang menatap ke arahnya. Mata Terryn berkaca-kaca ketika tangan Sheira bergerak-gerak seakan ingin menggapainya. “Hey … Baby Sheira, Mama kangen banget Sayang….” Terryn mengambil tangan mungil itu dan mengecupnya, apalah daya Terryn belum bisa menggendong Sheira karena bekas operasi di dadanya itu.“Selamat datang kembali, Nak.” sambut ibu Asih sambil membelai kepala Terryn lembut. Bergantian dengan Ibu Asih kini Ibu Imelda yang hati-hati memeluknya dan mencium dahi Terryn lembut. Deva masih sibuk membawakan barang-barang Terryn dan memasukkannya ke kamar mereka. Matanya hanya mampu membaca betapa bahagianya kedua ibunya menyambut kepulangan Terryn dan betapa berbahagianya pula Terryn melihat putrinya. “Yin,