Share

Aku ada untukmu

“Home sweet home ….” bisik Terryn ketika sudah sampai di rumahnya bersama Deva di kota. Rumah yang dikiranya tidak akan ada jalan pulang kembali ke sana.

“Tunggu jangan turun dulu.” Bergegas Deva turun dari mobil dan membuka pintu untuk Terryn. Laki-laki itu pun meraih tubuh Terryn agar digendongnya masuk ke dalam rumah.

“A-aku bisa jalan sendiri, Kak!” seru Terryn terkejut melihat apa yang dilakukan Deva. Terryn menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jika aksi Deva ini tidak dilihat oleh siapapun.

“Diam, tidak usah bergerak dan banyak bicara.” perintah Deva lagi sambil mempererat gendongannya. Deva membawanya masuk ke kamar tidurnya bukan di kamar Terryn seperti biasa.

“Mulai saat ini kamu tidur di sini agar aku bisa mengawasimu dengan mudah dari ruang kerjaku. Gak ada lagi alasan untuk memindahkan pot dan sebagainya.” Deva meletakkan tubuh Terryn di atas tempat tidurnya.

“Baik lah, Kak.” kali ini Terryn tidak membantah lagi, dia menerima semua apa yang Deva atur untuknya. Meskpun rasanya dia diperlakukan layaknya tahan rumah yang gerak geriknya selalu diawasi.

Melihat wajah murung istrinya Deva meraih kepala Terryn dan mengecup dengan dalam puncak kepalanya, dibelainya rambut serta pipi istrinya sambil meminta maaf.

“Maaf jika sikapku keras kepadamu, ini demi kebaikanmu dan kelangsungan degup jantungku. Kau tidak tahu bagaimana kacaunya organ ini di dalam sini jika mengingat kejadian tempo hari. Kau dan calon bayi kita adalah setengah dari nyawaku.” Deva meraih tangan istrinya dan mengecupnya dengan lembut.

“Aku akan menurunkan barang-barang, ingat pesan dokter untuk tidak banyak bergerak lebih dulu. Istirahatlah.” Deva membelai kepala istrinya lalu meninggalkan kamar.

Terryn menarik nafas panjang dan melihat ke sekeliling kamar Deva, masih seperti yang dulu ketika beberapa bulan yang lalu dia meninggalkan rumah ini. Tak ada yang berubah, mungkin hanya penghuninya saja yang berubah, Deva Danuarta kini menjadi sosok yang paling peduli pada dirinya, CEO Kutub Utara itu sudah bukan sosok yang dingin lagi, angkuh dan tak terjamah. Deva Danuarta kini menjadi pribadi yang hangat, sangat peduli dan lebih mandiri dan bisa mengurus rumah dengan baik. Tentu saja itu terbukti ketika dia menjadi Jang Nara ketika itu.

Terryn mengambil ponsel di dalam tas kecilnya lalu mencari kontak Ashiqa, sudah lama dia tidak memberi kabar pada sahabatnya itu.

“Hai Yiiin … Astaga kamu yaa! Kamu udah gak mau jadi sahabat aku lagi yaa?!” seru Ashiqa di ujung sana dengan nada setengah merajuk. Dia sudah duga Ashiqa akan mengatakan ini.

“Masih mau lhaa Chik, aku gak mau kehilangan sahabatku yang tajir melintir, aku masih butuh suntikan dana dari istri konglomerat untuk pengembangan kebun bungaku.” jawab Terryn sambil terkekeh.

“Iiisshh … Jadi bagaimana kabar kamu sekarang? Udah berapa bulan lho ini kamu gak pernah kasih kabar, ponsel kamu juga jarang aktif, nyebelin!” Ashiqa masih saja memarahi Terryn, suara celotehan Raka terdengar oleh Terryn, perempuan itu pun mengelus perutnya dengan lembut.

“Aku punya dua kabar, baik dan buruk, mau dengar yang mana terlebih dulu?” Terryn tersenyum pahit saat mengatak itu pada Ashiqa. Sahabatnya terdiam dan terdengar helaan nafas dari ujung telponnya.

“Kok gitu siiih … Yin? Baiklah aku mau tahu yang buruk dulu.”

“Hmmm … Kabar buruknya keadaan paru-paruku memburuk, sudah mulai ada kerutan di dalam sana yang membuat aku semakin sesak nafas di tiap harinya. Mungkin kelak aku harus transplantasi paru-paru, Chik.”

“Astagaaa … Yiin, apa memang sudah seburuk itu, Sayangku?” nada suara Ashiqa terdengar pelan di ujung kalimatnya.

“Well … Kabar baiknya adalah … Tadaaaa … aku sedang hamil lima bulan, eeh dikit lagi masuk enam bulan. Sejauh ini aku masih baik-baik saja dan saat ini aku sudah berada di rumah Deva lagi di kota.”

“Waaaah .... Terryyyn! Selamat yaa … Selamat Sayang … Akhirnya … Akhirnya Raka bakal punya teman main juga.Jadi kamu udah gak di rumah desa lagi? Kamu Kembali ke rumah itu untuk selamanya lagi kan?” berondong Ashiqa dengan pertanyaan.

“Kehamilanku harus dalam pengawasan dokter katanya, jadi aku memang harus pulang ke sini karena dekat dari rumah sakit tempatku dirawat dulu. Tadinya aku pikir aku gak bisa hamil sampai aku nekat untuk tidak meminum lagi obat-obatanku dan memulai program hamilku tanpa sepengetahuan Kak Deva. Masih rejeki aku, Chik, aku masih bisa hamil.”

“Sekali lagi selamat yaa Yiiin … Jaga diri kamu baik-baik, aku yakin suami kamu pasti akan menjagamu dengan sangat baik. Dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya lagi untuk tetap bersama kamu.”

“Iya bener Chik, sampai-sampai CEO itu bekerja dari rumah,udah jarang banget ngantor. Jadi tinggal Kak Desta aja sama Kak Willy yang jaga gawang di kantor.”

Ashiqa masih ingin mengobrol dengan Terryn tapi Raka terdengar menangis di belakangnya.

“Yin, nanti aku main ke rumah yaa, ini Raka udah ngantuk jadinya rewel. Jaga kesehatanmu baik-baik yaa,” Ashiqa pun menutup telponnya setelah Terryn mengiyakan.

Suasana kembali sepi, Terryn mengusap bahunya. Sejenak dahinya berkerut dan dia terdiam untuk merasakan sesuatu di balik dinding perutnya. Teryyn meletakkan telapak tangannya di atas perutnya, dia merasakan gerakan yang sangat lembut dan pelan, nyaris tak terasa. Namun, Terryn yakin jika dia baru saja merasakan gerak bayinya itu.

Mata Terryn berkaca-kaca, diusapnya sekali lagi nyawa kecil yang ada dalam rahimnya.

“Sayangnya Mama, Mama cuma bisa berharap kelak kita bisa bertemu dalam keadaan sehat tak kurang satu apapun. Jika nanti Mama tidak bisa bertahan dan Tuhan memanggil Mama pulang, kamu temenin papa yaa? Kelak kamu yang akan jagain papa dan rawat papa dengan baik, Mama akan melihatmu dari jauh. Mama akan menjagamu dengan penuh cinta.” Air mata Terryn menitik jatuh dibarengi senyumnya yang ditarik lebar. Sebenranya Terryn takut mengatakan itu tapi kemungkinannya bisa saja terjadi dan dia harus bersiap dengan semua kemungkinan terburuk.

Dari balik pintu Deva mendengar kata-kata Terryn barusan, tangannya mengepal, dadanya terasanya nyeri mendengar Terryn sudah bersiap dengan kematiannya. Deva menjauh dari pintu dan memilih masuk ke kamara Terryn untuk menenangkan perasaannya.

“Kau tidak akan pergi secepat itu Terryn, tidak bisa … Kamu tidak boleh meninggalkan aku secepat itu.” Deva terduduk di pinggir ranjang sambil sambil menangis terisak. Deva adalah pria yang tangguh, dalam hal apapun dia bisa mengatasinya dengan tenang dan tegar tapi tidak dengan situasi istrinya.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan Terryn membuat Deva tidak berdaya. Tubuh Terryn yang kian kurus, tarikan nafasnya yang berat, serta wajahnya yang kerap pucat serta ujung kuku yang gelap membuatnya sangat takut. Dia takut jika Terryn kelak akan menyerah bergitu saja dan berhenti berjuang, Deva belum siap untuk kehilangan perempuan yang telah mengubah dunianya itu.

Deva menarik nafasnya lebih dalam, dan berusaha untuk lebih tenang. Dia tidak akan menampakkan kesedihannya itu di depan Terryn.

“Ayo Deva … Kamu bisa tersenyum di depannya, kamu yang akan menjadi sumber kekuatan Terryn, istrimu sangat membutuhkanmu saat ini dan kau harus bisa menjadi sandarannya sekarang.” Deva memandangi dirinya di pantulan cermin lalu berusaha menarik senyumnya sebaik mungkin dan menyembunyikan perasaannya jauh di dalam lubuk hatinya. Deva keluar dari kamar Terryn dengan wajah jauh lebih tenang dan ceria, di tangannya ada nampan berisi bubur ayam kesukaan Terryn yang dipesan online dari dekat kantor mereka. Pesanan itu tiba sesaat setelah mereka baru saja tiba juga di rumah.

“Yin, aku pesan ini lhoo … Kamu pasti suka karena udah lama gak makan ini!” seru Deva dengan riang, lalu duduk di dekat Terryn. Seketika ingatan Deva mundur ke belakang saat penyakit maagnya kambuh dan Terryn melayaninya makan di tempat tidur.

“Aku suapin yaa?” Deva menggerakkan sendoknya untuk mengaduk tiba-tiba Terryn memekik,

“Stoop! Yin ini tim bubur ayam tidak diaduk, biarkan seperti itu dan ambil dari sisinya lalu topingnya!”

Deva tersentak kaget lalu tertawa kecil mendengar kata-kata istrinya barusan, hal itu berlawanan dengan dirinya yang tidak akan memulai makan bubur ayam tanpa diaduk hingga semuanya tercampur rata.

“Baiklah … Tim bubur ayam yang tidak diaduk, buka mulutmu lebar-lebar karena semangkuk untuh ini harus berpindah ke dalam perutmu dan anakku yang ada di dalam sana akan menyantapnya juga sebagai tim bubur yang diaduk. Sempuna ….” Deva tersenyum lebar melihat Terryn yang melongo mendengar perkataannya barusan, tapi tetap menurut disuapi oleh Deva.

“Besok kita harus kontrol lagi ke rumah sakit yaa Yin, kita akan ketemu dengan dokter yang direkomedasikan sama kak Aluna dan kak Roby. Jika kondisimu memungkinkan kita akan berangkat ke luar negeri untuk pengobatanmu.”

Terryn nyaris saja tersedak mendengar kata-kata Deva barusan, dengan sigap Deva mengambilkan Terryn air minum dan mengusap punggungnya.

“Keluar negeri, Kak?” tanya Terryn lagi, dia teringat langkahnya yang nyaris saja keluar negeri tapi terhenti karena penyakitnya dan sekarang justru karena penyakitnya itu yang akan membawanya keluar negeri.

“Iya, Yin, aku sudah memikirkan itu dan Kak Aluna beserta suaminya akan membantu kita mencarikan dokter spesialis terbaik yang akan menangani kamu.” Deva kembali mengangkat sendoknya dan menaikkan alisnya sebagai tanda Terryn harus melanjutkan makannya kembali. Terryn tidak menyahut lagi dan menikmati kembali suapan suaminya, dia yakin jika Deva pasti akan melakukan yang terbaik untuknya.

Waktu pun bergulir membawa kehamilan Terryn di usia tujuh bulan, Deva tahu Terryn selalu berjuang keras untuk keadaannya dan sebaliknya Terryn tahu persis Deva tak pernah tidur nyenyak di sisinya untuk selalu menjaga Terryn sepanjang malam. Hal itu terjadi karena di suatu malam Terryn terjaga, dadanya sangat sesak hingga merasa tercekik. Deva merasakan gerakan Terryn yang gelisan sehingga dia terbangun dan dengan sigap memberikan segera bantuan oksigen portable pada Terryn.

kini keduanya duduk di bangku taman rumah sakit, air mata Terryn meleleh pelan sementara Deva merangkul bahu Terryn dengan erat seakan hendak menyalurkan kekuatannya pada istrinya itu. Saran dari dokter yang menangani Terryn terdengar mengejutkan bagi keduanya.

“Jadi aku harus menjalani operasi secar secepatnya yaa? Anak kita harus dilahirkan lebih cepat agar keadaannya selamat.” ucap Terryn lirih.

“Semua akan baik-baik saja, Yin. Bayi kita juga bayi yang sehat dan kuat, dia pasti akan baik-baik saja, kedua tanganku masih bisa untuk menjaga kalian berdua.”

“Bagaimana jika aku yang tidak berhasil, Kak?”

“Kau akan baik-baik saja, melahirkan bayi kita dan aku yang mengurusnya, kau harus tetap ada bersamaku karena anak kita pasti akan butuh dekapan mamanya yang hangat. Bau yang pertama kali dikenalnya pasti dirimu, iya kan’?” Deva mencoba menghibur Terryn.

“Apa aku ini induk kucing dan anak kita itu kitten yang mengendus bau?” tanya Terryn sambil memaksakan senyumnya.

“Bisa jadi dan aku adalah bapak kucing yang paling tampan sedunia, karena bayi kita adalah perempuan secantik mamanya. Kau akan baik-baik saja, jangan khawatir, ada aku.” Deva meraih Terryn ke dalam dekapannya dan memejamkan matanya dengan dalam-dalam seperih nyeri yang dirasakannya jauh di balik jantungnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status