Deva bergegas menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup tidak karuan. Selain memikirkan operasi Terryn tentunya dia juga gugup dengan operasinya sendiri yang dimajukan lebih cepat dari jadwalnya. Willy tetap berusaha menenangkan Deva yang jelas terlihat cemas.
Di ujung selasar matanya menangkap sosok perempuan yang sangat dikenalinya, Aluna. Kakak perempuan Deva itu merentangkan tangannya, jauh-jauh dia terbang dari San Fransisco untuk mendampingi adik dan adik iparnya yang tengah dalam masa sulit. Aluna memeluk erat Deva sambil terisak, dia tidak menyangka jika adik ipar kesayangannya itu akan terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan.
Aluna berbisik-bisik mengatakan sesuatu pada Deva yang membuatnya tersentak dan melepas pelukan Aluna sambil memandang heran.
“Serius, Kak? Kok bisa?” tanya Deva dengan raut tidak percaya.
“Dua pekan sebelumnya dokter yang selama ini menangani Terryn memberiku kabar tentang donor itu, aku terkejut karena kau sendiri yang akan melakukannya. Deva, dengar … sekarang Terryn sudah di dalam sana tanpa harus menunggumu lagi.”
Mata Deva nanar menatap pintu kamar Terryn yang sudah kosong, Terryn sudah dipindahkan dan membuat kedua lutut Deva lemas.
“Tak ada waktu lagi untuk menunggu Va, jadi aku, ibu dan ibu Asih memutuskan untuk menerima tawaran dokter.” Aluna ikut setengah berjongkok sambil memegang bahu Deva. Deva terduduk di lantai rumah sakit dan tangisnya mulai pecah.
Di depan ruang perawatan bayi Deva berdiri sambil menyampirkan jas hitamnya di bahunya, matanya masih sembab. Detik berlalu sangat lambat baginya, sesekali tatapannya memperhatikan tangan bayi Sheira yang bergerak-gerak, atau kakinya yang tidak tenang.
“Sheira gelisah juga yaa seperti Papa? Papa seharusnya di sana bersama mama, tapi rupanya bibimu, mami Aluna datang dengan sebuah keajaiban. Semoga operasi mama berhasil yaa Sayang, supaya mama bisa cepat berkumpul dengan kita lagi.” Deva menempelkan telapak tangannya pada jendela kaca ruang bayi tempat di mana Sheira masih dirawat. Dokter yang memantau kondisi Sheira mengatakan jika bayinya bisa dibawa pulang ke rumah dalam waktu dekat.
“Semuanya akan baik-baik saja, Va. Aku bersyukur mendapat informasi itu tepat waktu dari temanku yang bertugas di rumah sakit lainnya. Kau harus tetap sehat dan kuat untuk mendampingi Terryn dalam keadaan apapun.” Aluna datang dan berdiri di sisi Deva, dia melakukan hal yang sama, melihat bayi Sheira dan menempelkan telapak tangannya di jendela ruangan itu.
“Sheira sangat cantik, wajahnya mirip denganmu, hidungnya, alisnya tapi dia memiliki bibir mamanya yang manis. Aku sudah tidak sabar untuk menggendongnya.” Aluna mendesah seakan tengah memendam kerinduan yang sangat pada bayi di dalam kotak itu.
“Kak Roby mana? Apa dia tidak keberatan jika Kak Aluna terbang ke sini?” tanya Deva sambil berbalik menghadap Aluna.
“Roby masih di Frisco dia gak bisa ikut pulang, tapi dia udah kasih ijin kok, malah dia yang pesankan aku tiket pesawat. Cuma dia bilang aku harus hati-hati dan jaga kondisi baik-baik.” jawab Aluna dengan segaris senyum, matanya masih lekat memandangi bayi Sheira.
“Kak Aluna lagi sakit?” tanya Deva sambil melihat kakaknya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aluna hanya tertawa kecil sambil meninju pelan bahu Deva.
“Apaan sih sampai ngeliatin sebegitunya … aku gak sakit cuma aku lagi hamil baru delapan minggu.” Aluna mengelus perutnya yang masih rata dengan wajah sumringah. Deva segera memeluk kakaknya dan mengucapkan kata selamat berkali-kali.
“Maaf sudah membuat kak Aluna terbang sejauh ini dengan kondisi hamil muda hanya untuk aku dan Terryn.” Deva melepas pelukannya, matanya kembali berkaca-kaca.
“Hanya katamu? Kau dan Terryn adalah adikku, hanya kalian yang aku punya, justru kewajibanku pula sebagai kakakmu dan sebagai seorang dokter untuk membantu kalian. Tapi ingat Deva, setelah operasi ini hidup Terryn tidak akan sama lagi, dia harus meminum obat seumur hidupnya karena efek samping dari organ donor yang didapatkannya.”
Deva mengangguk sambil meraih tangan kakaknya dan mengelusnya perlahan penuh kasih sayang.
“Deva janji akan menjaga Terryn dan Sheira sebaik-baiknya, sekuat tenagaku. Terima kasih banyak atas semua yang telah Kakak lakukan untuk kami.”
“Aku menyayangi kalian, aku akan melakukan apa saja agar kalian tetap baik-baik saja, terutama Terryn agar dia bisa berumur panjang dan bersama dengan kamu dan Sheira dalam waktu yang lama.” Aluna membalas genggaman tangan Deva dengan erat, dia tidak meragukan niat adiknya untuk mendonorkan paru-parunya untuk Terryn. Namun, Deva harus bisa tetap sehat dan kuat untuk menjadi kepala keluarga dan menjadi tulang punggung bagi keluarganya juga pemimpin perusahaannya. Keberuntungan memang sedang memihak Deva, dia tidak perlu menjadi pendonor bagi istrinya karena Aluna menemukan pendonor tepat pada waktunya.
Salah satu pasien dari rekan Aluna yang meninggal adalah seorang pendonor, jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu dan dirinya meninggal dunia maka dia bersedia mendonorkan apa saja yang bisa berguna dalam tubuhnya untuk orang yang membutuhkan. Dokter yang menangani Terryn mendapat informasi segera dari teman Aluna itu sehingga mereka sepakat untuk mengambil paru-parunya buat Terryn. Deva yang tercegat macet parah di perjalanan belum mengetahui keputusan yang diambil oleh kakaknya Aluna. Deva sangat terkejut ketika mendengar Terryn sudah dipindahkan untuk persiapan transplantasi.
Lampu tanda operasi tengah menyala, sudah dua jam Deva mondar-mandir di depan ruang operasi. Ibu Imelda dan ibu Asih tampak duduk berdua dengan wajah khusyu’ penuh doa. Aluna juga masih menunggu dengan harap-harap cemas. Willy pun masih setia menemani Deva dan membawakan sahabatnya itu segelas kopi dari kafetaria.
“Va! Bisa gak sih kamu berhenti mondar-mandir kayak setrikaan? Bikin Ibu tambah cemas aja deeh … Tolong duduk diam, tenang di situ, minum tuh kopi yang dibawa Willy.” Ibu Imelda menegur putranya yang tidak bisa duduk tenang. Aluna yang mendengar ibunya berbicara seperti itu memberi kode agar Deva duduk. Aluna juga mengusap lengan ibunya agar merasa lebih tenang. Proses transplantasi ini diperkirakan akan berjalan selama empat jam jika semuanya baik-baik saja. Aluna sangat berharap jika organ baru yang diterima Terryn tidak akan ditolak oleh tubuh Terryn.
Deva yang kelelahan akhirnya duduk sambil bersandar dan memejamkan matanya, wajah Terryn bermain di pelupuk matanya tengah tersenyum manis seperti biasanya. Kerinduan menyeruak tiba-tiba di dadanya dan berharap jika tidak terjadi sesuatu lagi pada Terryn.
Lamat-lamat kesadaran Deva pun memudar dan dia mulai tertidur di bangku tunggu. Ibunya menyelimuti Deva dengan jas yang sedari tadi teronggok di atas bangku. Ibu Imelda sesaat menatap wajah putranya yang kelelahan dia tidak bisa membayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi pada putranya.
“Kak Deva … Sheira cantik yaa? Mirip Yin kan?” tanya Terryn sambil tersenyum ceria menatap bayi mungil itu dalam dekapannya.
“Kata orang-orang siiih lebih mirip aku, papanya. Katanya yaa anak perempuan itu cantik kalau mirip papanya.” jawab Deva sambil merangkul bahu Terryn. Terryn mencebik tidak percaya hingga membuat Deva tertawa kecil.
“Tentu saja dia secantik kamu, Yin. Sheira akan tumbuh menjadi gadis yang baik dan kuat sepertimu, cantik dan selalu menjadi kesayangan semua orang.” Deva mengecup dahi Terryn dengan lembut. Terryn pun menyerahkan bayi Sheira ke dalam gendongan Deva, dirinya masih lemah untuk menggendong putrinya itu lama-lama.
“Jaga baik-baik Sheira yaa Kak … Yin gak bisa temani Sheira lama-lama.” ujar Terryn dengan suara lirih.
“Kamu ngomong apa siih Yin? Kamu akan tetap di sisi aku dalam waktu yang lama untuk membesarkan Sheira sama-sama.” Deva menatap tajam ke arah Terryn yang wajahnya memucat dengan bibir yang nyaris ungu.
“Yin sangat mencintai kak Deva, terima kasih sudah bersama Yin selama ini.” tatapan Terryn semakin melemah, tiba-tiba Sheira menangis dalam gendongan Deva seakan tahu jika mama sedang berpamitan kepada mereka.
“Tidak … Yin … Tidak Sayang, kau akan tetap bersamaku sampai Sheira dewasa, kau tidak akan pergi dariku secepat ini Yin!” sergah Deva segera, sebelah tangannya mendekap bayi Sheira dan tangan lainnya menggenggam tangan Terryn yang mulai dingin.
“Apa kau tidak ingin melihat langkah kaki pertama putri kita, Yin? Apa kau tidak ingin melihat dia mengenakan seragam sekolah pertamanya? Apa kau tidak ingin melihat dia menikah nanti, Yin?” air mata Deva menetes seiring tangis Sheira yang semakin keras.
“Maafkan atas segala kesalahan dan kekurangan Yin, maaf jika selama ini Yin belum bisa jadi istri dan ibu yang baik. Katakan pada Sheira jika mamanya sangat mencintainya dan menyayanginya.” Terryn tersengal kehabisan nafas, matanya mulai terpejam.
“Yin … Bangun Yin, banguuuun!” Deva berteriak kemudian tersentak kaget ketika guncangan keras membangunkannya, dia melihat ibunya yang sedang menatap cemas ke arahnya. Deva menarik nafas panjang, dia hanya bermimpi melihat kematian Terryn di depan matanya.
“Kau bermimpi apa, Nak?” ibu Imelda menyodorkan sebotol air mineral kepadanya.
“Bagaimana operasi Terryn, Bu?” Deva tidak menjawab pertanyaan ibunya, dia menenggak separuh isi dari botol itu.
“Saat ini Terryn membutuhkan tambahan darah, Aluna sedang mengurus itu, keadaan Terryn sedikit terganggu.” Ibu Imelda mencoba memberikan jawaban yang paling halus agar putranya tidak panik. Botol dalam genggaman Deva terlepas seakan jantungnya ikut melorot mendengar perkataan ibunya barusan. Dia teringat dengan mimpinya barusan yang melihat Terryn yang menitipkan Sheira padanya.
“Tidak … Yin … Tidak … Jangan menyerah sekarang.” desis Deva dengan perasaan sangat cemas.
“Sudah berapa lama Deva tertidur, Bu?” Deva kembali memungut botol minuman yang terlepas dari tangannya. Dengan kegusaran dia menghela nafas berharap mimpinya tadi bukan pertanda buruk. “Sekitar hampir sejam, kau pastinya kelelahan, Nak. Tentang Terryn jangan khawatir, Aluna dan rekan dokter lainnya sedang mengusahakan yang terbaik untuk istrimu.” Ibu Imelda mengusap bahu anaknya dengan lembut. Deva mengangguk perlahan, dengan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya dia berusaha untuk tetap tenang. Tak lama kemudian Aluna muncul dan Deva berdiri untuk menyambutnya serta bersiap mendengarkan apa kata kakak perempuannya itu. “Kak ….” Deva hanya mampu menyapanya pendek tak mampu untuk menanyakan lebih lanjut kondisi Terryn. “Terryn baik-baik saja, meskipun tadi dia butuh tambahan darah tapi semua bisa teratasi, Willy sudah mendonorkan darahnya untuk Terryn. Stok rumah sakit untuk golongan darah Terryn sedang kosong dan Willy bersedia untuk menyumbangkan darahnya. Deva, kamu beruntung
Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini. “Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya. “Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya. “Kamu … Tahu hal ini ‘kan, Yin?” Ashiqa menelisik lebih jauh karena Terryn terlihat terkejut. “Iya, aku tahu dan hal ini masih membuatku terkejut berkali-kali mengingat niat kak Deva itu.” mata Terryn berkaca-kaca, dia tidak ingin Ashiqa me
Jantung Terryn berdegup kencang ketika mobil sudah terhenti tepat di halaman rumah, Deva membukakan pintu mobil untuknya dan membimbingnya keluar dari mobil. Ibu Asih dan ibu Imelda sudah menyambut kedatangannya dengan penuh sukacita. Dalam gendongan ibu Asih tampak bayi Sheira yang menatap ke arahnya. Mata Terryn berkaca-kaca ketika tangan Sheira bergerak-gerak seakan ingin menggapainya. “Hey … Baby Sheira, Mama kangen banget Sayang….” Terryn mengambil tangan mungil itu dan mengecupnya, apalah daya Terryn belum bisa menggendong Sheira karena bekas operasi di dadanya itu.“Selamat datang kembali, Nak.” sambut ibu Asih sambil membelai kepala Terryn lembut. Bergantian dengan Ibu Asih kini Ibu Imelda yang hati-hati memeluknya dan mencium dahi Terryn lembut. Deva masih sibuk membawakan barang-barang Terryn dan memasukkannya ke kamar mereka. Matanya hanya mampu membaca betapa bahagianya kedua ibunya menyambut kepulangan Terryn dan betapa berbahagianya pula Terryn melihat putrinya. “Yin,
Apapun bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Dalam kasus Terryn bisa saja dia tidak akan bisa punya bayi yang lucu dan sehat, kegigihannya untuk menjalani program hamil hanya butuh waktu yang singkat. Semua adalah kebesaran Tuhan yang tidak akan pernah berhenti disyukuri Terryn. Hidup dengan paru-paru baru juga merupakan kemurahan Tuhan lainnya, bahkan Deva suaminya yang sudah siap menjadi pendonor di detik-detik terakhir digantikan oleh pendonor lain. Manusia memang berencana dan rencana Tuhan yang akan tetap berlaku dalam hidup manusia. Terryn sedang memilihkan baju untuk Sheira, usianya kini enam bulan. Artinya sudah setengah tahun juga operasi besar yang dijalani Terryn sudah berlalu. Walaupun harus meminum obat seumur hidupnya, Terryn bisa beraktifitas seperti biasa. Hanya saja Deva mengawasi Terryn dengan ketat agar jangan sampi beraktifitas berlebih yang membuatnya kelelahan. Terryn memakaikan Sheira baju yang cantik untuk menghadiri pesta ulang tahun Raka, putra Ashiqa dan Ra
Seorang laki-laki muda baru saja mengakhiri presentasi sangat penting dan bergengsi di hadapan para petinggi negara dan orang-orang dari perusahaan besar lainnya. Mereka bertepuk tangan dan memberi ucapan selamat serta dukungan setelah pria muda itu mendapat persetujuan dengan mega proyek pembangunan yang tidak sembarang perusahaan bisa mendapatkannya.Deva Danuarta tersenyum bangga dengan pencapaian gemilang anak muda itu dan semakin yakin jika di tangan anak itu Melda’s Constructions akan semakin maju. Dari sudut ruangan dia melihat sosoknya tengah disalami oleh beberapa orang penting dari dalam dan dari luar negeri. Semua puas dan antusias dengan penyampaiannya tadi dan mereka berharap agar usaha anak muda itu diberi kemudahan dan kesuksesan.“Ouh Papa ada di sini? Kenapa gak kasih tau Panji kalo Papa akan hadir juga, pasti panji akan jemput Papa.” Panji segera mendekati Deva dan menyalami dan mencium punggung tangan laki-laki yang dengan besar hati telah merawatnya selama tujuh be
Panji berdiri di dekat pintu kedatangan, Sheira hari ini tiba dari luar negeri. Seperti janjinya kepada ayahnya angkatnya dia akan menjemput gadis yang punya seribu macam cara untuk menyusahkan dirinya. Entah di mana letak salah Panji sehingga dari awal Sheira langsung membencinya. Mungkin karena saat pertama mereka bertemu Panji terlihat lusuh, gembel dan wajahnya sembab karena menangis. Minggu-minggu awal dia sangat kesulitan beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Juga betapa judes dan manjanya Sheira. Mama Yin selalu menegur sikap Sheira yang tidak sopan, mulai dari cara halus hingga cara kasar. Gadis kecil yang cantik seperti boneka itu tidak peduli karena sikap omanya yang selalu membelanya. Deva menjadi sangat pusing dengan ulah Sheira yang kian hari kian menjadi. Tahun berlalu Panji akhirnya jadi terbiasa dengan sikap kasar Sheira. Meskipun diperlakukan seperti babu, Panji tidak pernah keberatan dan menjalani semuanya dengan lapang dada. Toh dia masih memiliki cinta kasih
Panji memasang baik-baik pendengarannya hingga dia sangat yakin jika yang tengah berteriak-teriak di dalam itu adik angkatnya Sheira. Dengan perlahan Bony membuka pintu dan terkejut melihat dua gadis sedang saling menjambak rambut dan seorang laki-laki setengah telanjang kesulitan melerainya. "Astagaaa… Sheira!" Panji langsung melompat untuk memisahkan keduanya. Tenaga kedua perempuan itu sangat kuat bertarung satu dengan yang lainnya yang membuat Panji cukup kesusahan. Sheira bergerak kesana kemari menyerang perempuan yang berbaju tidur tapi telanjang itu karena bahan yang dipakainya sangat tipis dan pendek. Bony sempat menahan tawa karena pemandangan "indah" yang tidak pada tempatnya terombang ambing dalam jambakan Sheira. "Sheira sudah! … sudah… ayo kita pulang!" Panji menyentak Sheira agar bisa terlepas tapi Sheira belum puas dia masih menendang kesana kemari. Sementara Windy ditahan oleh Aldo. Sheira pun tersadar, jika Panji sudah melerai perkelahiannya dengan Windy dan mula
Terryn memeluk putrinya dengan hangat lalu mencium kedua pipinya dengan gemas. Gadis itu pun menyalami Deva dan dari Deva dia mendapatkan pelukan dan ciuman yang sama. Keduanya terlihat sangat senang akhirnya putri mereka telah kembali.“Ini ada bunga dan kue kesukaan Mama, tadi kami mampir membelinya, Mama pasti suka.” Sheira menunjuk pada bingkisan yang dipegang oleh Panji. Sebenarnya Terryn tahu jika itu adalah inisiatif Panji tapi Terryn menerimanya dengan suka cita.“Lho, pipi kamu kenapa Sheira sampai bengkak begitu?” Terryn menyentuh pipi Sheria yang tadi telapak tangan Windy sempat mendarat di sana. Panji menatap Sheira serius dan menunggu drama dari gadis biang masalah itu.“Ouh … itu Ma, ternyata kosmetik Sheira di Aussie kurang cocok dipakai di Indo jadinya wajah Sheira kayak alergi gitu. Sheira udah buang kok dan cepat-cepat ganti yang baru.” Alasan Sheira cukup masuk di akal dan Panji tersenyum kecil mendengarnya. Sheira mendehem sambil melotot ke arah Panji.“Ayo kita be