Share

Pulang ke rumah

Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini. 

“Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya. 

“Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya. 

“Kamu … Tahu hal ini ‘kan, Yin?” Ashiqa menelisik lebih jauh karena Terryn terlihat terkejut. 

“Iya, aku tahu dan hal ini masih membuatku terkejut berkali-kali mengingat niat kak Deva itu.” mata Terryn berkaca-kaca, dia tidak ingin Ashiqa merasa bersalah telah membocorkan sesuatu yang dirahasiakan Deva. 

“Kau sangat beruntung menjadi istrinya Yin, dia tipe laki-laki yang sanggup berkorban apa saja demi istrinya, bahkan membelah dadanya dan memberikan satu paru-parunya. Aku jadi percaya pada kalimat gombalan, ‘belahlah dadaku!’ itu.” Tapi yaa itu … meski gak jadi pendonor tapi niatnya udah full banget.” Ashiqa tersenyum lebar sambil memegang tangan Terryn. 

“Cepat sembuh yaa Yin, aku kangen banget sama masakanmu, kue-kue kamu, candaan kita. Bayangin deeh kalo kita hangout bareng dengan baby bala-bala kita nanti.” 

Terryn mengangguk dengan senyum khasnya yang manis. Rasa optimisnya mulai muncul di sorot matanya, dia sungguh merindukan Sheira dan kelak jika dia sudah sehat dia akan melakukan hal seperti yang dikatakan Ashiqa. 

“Terima kasih yaa kamu udah datang Chika, aku jadi pengen cepat-cepat pulih terus kita jalan-jalan bareng Raka dan Sheira.” Terryn membalas genggaman Ashiqa. Mereka berdua mengobrol lagi tentang Raka, putra Ashiqa yang tumbuh dengan menggemaskan. Ashiqa pun memperlihatkan foto kiriman Deva I*-nya tentang kamar Sheira yang sangat cantik.

Obrolan mereka pun berakhir ketika ponsel Ashiqa berdering dan meminta Ashiqa untuk pulang segera. Sahabat Terryn itu mengecup kedua pipi Terryn dan pamit pulang. 

“Sampaikan salam aku sama kak Deva yaa, kasih tahu aku kalau kamu nanti udah keluar dari rumah sakit.” 

Sekali lagi Terryn hanya mengangguk mengiyakan. Ashiqa pun melambaikan tangannya sebelum menghilang di balik pintu. 

Kamar Terryn pun kembali sunyi, kerinduannya pada keluarganya semakin menusuk-nusuk hatinya. Terutama kepada Sheira buah hatinya yang sudah berada di rumahnya tanpa kehadirannya sebagai ibu sang bayi. 

Pikiran Terryn masih menjelajah di alam bawah sadarnya sehingga dia tidak mendengar jika Deva sudah masuk dan duduk di sampingnya. Terryn masih memikirkan kata-kata Ashiqa tentang suaminya yang sudah siap jadi pendonor paru baginya dan dia tidak tahu sama sekali tentang itu. 

“Sayang … Kamu lagi mikirin apa?” Deva mendaratkan kecupan kecilnya di pipi Terryn yang sedari tadi tidak merespon panggilannya. 

“Ouh … Engh … Kak Deva, kapan Kakak kembali?” Terryn sedikit terkejut ketika orang yang tengah dalam pikirannya tiba-tiba ada di sampingnya sekarang ini.

“Cukup lama untuk menunggumu selesai melamun, tapi karena tak kunjung selesai aku harus menciummu dulu supaya sadar.” Deva tersenyum sambil memencet ujung hidung Terryn pelan. 

“Duduk di dekatku, Kak.” pinta Terryn, dia menekan tombol tempat tidurnya agar posisinya bisa lebih tinggi lagi hampir setengah duduk. Deva mengikuti keinginan istrinya dan mereka kini nyaris berhadapan. Terryn mengangkat tangannya dan menyentuh dada Deva yang terbalut baju kaos lengan panjang berwarna biru tua. Ujung jemari Terryn menyusuri dada Deva, lalu menempelkan telapak tangannya pada dada Deva yang bidang itu. 

Deva memandangi tangan Terryn yang menempel di dadanya sambil mengerutkan dahinya. 

“Dada ini nyaris dibelah hanya karena aku membutuhkan satu paru-paru yang sehat.” ujar Terryn dengan suara gemetar. 

“Tapi Syukurlah karena kak Aluna membawakan donor yang lain tepat pada waktunya hingga aku tidak perlu melihat bekas jahitan di sini.” kali ini dia mengusap dada Deva dengan perlahan seiring dengan titik-titik air matanya yang jatuh menetes. 

Deva hanya membuang nafas, apa yang dirahasiakannya akhirnya terkuak dan ini yang dia hindari, melihat Terryn bersedih. 

“Aku akan melakukan apa saja untuk membuatmu bertahan hidup, Yin. Andai nyawa pun bisa dibagi maka dengan sukarela aku akan membaginya untukmu.” Deva meraih tangan Terryn dan mengecup ujung jemarinya dengan lembut. Tangan itu dipindahkannya menempel di pipi Deva. 

“Jangan bersedih lagi, jangan menangis, semuanya sudah selesai, operasimu berjalan lancar dan aku ada di sini untukmu.” Deva menghapus jejak air mata Terryn. Mengusap pipi Terryn dengan punggung jemarinya. 

“Yang kau lakukan sekarang hanya fokus saja pada masa pulihmu, itu saja. Yang lainnya itu urusanku.” Deva memajukan badannya dan dengan hati-hati memeluk Terryn, lalu menambah lagi sebuah kecupan di dahinya. Deva menekan tombol tempat tidur agar bisa mengembalikan posisi Terryn. 

“Istirahat yaa, hari ini kau sudah banyak bercakap-cakap dengan Ashiqa. Pulihkan tenagamu lagi, aku harus memeriksa beberapa laporan dari Desta.” 

Terryn mengangguk dan memejamkan matanya kembali, separuh tubuhnya memang masih merasakan kebas dan sedikit ngilu. Tenaganya memang tidak cukup banyak saat ini, Deva benar bahkan hanya mengobrol dengan Ashiqa saja dia sudah merasa sangat lelah. Namun, paling tidak dia sudah bisa bernafas dengan normal lagi, tidak merasakan sesak dan tercekik.Terryn mencoba untuk tidur setelah Deva berpindah ke sofa dan membuka laptopnya. 

 

Dua pekan lebih Terryn berada di rumah sakit untuk pemulihan, selama itu pula Deva bolak-balik rumah sakit, rumah dan kantornya. Perkembangan Terryn sejauh ini pun sangat menggembirakan, transplantasi paru yang dijalaninya terbilang sukses oleh para dokter. 

Di akhir pekan ketiga Terryn pun bersiap untuk pulang ke rumah. Selama ini dia hanya melihat bayinya melalui panggilan video yang dilakukannya dengan ibu Asih. Kerinduan Terryn sudah benar-benar menumpuk dan tidak sabar lagi untuk bertemu dengan Sheira. 

Deva menemani Terryn duduk di belakang saat mobil mereka meninggalkan rumah sakit. Dokter sekali lagi mengingatkan agar Terryn tetap datang untuk kontrol secara berkala beberapa bulan kedepan. Deva memastikan jika Terryn pasti akan datang sesuai dengan dengan jadwalnya dan meminum obat yang diberikan dokter secara rutin dan teratur. 

Tangan Deva menggenggam erat tangan Terryn, istrinya tampak gugup akan kembali pulang setelah beberapa lama berada di rumah sakit. 

“Kamu tuh kayak mau malam pertama aja gugup dan gelisah gitu.” Deva menepuk pelan punggung tangan Terryn. Istrinya menoleh pada Deva sambil mencebik lalu membuang muka lagi ke arah jendela mobil.

“Yin gak gugup yaa waktu malam pertama kita dulu, kak Deva aja tuh yang gugup.” jawab Terryn tidak mau kalah. 

“Kamu itu kelihatan gelisah  seperti sekarang ini, gugup dan gak mau melihat ke arah aku.” Deva tertawa kecil, dia masih mengingat malam panjang yang mereka habiskan di villa Deva di desa.

“Yin khawatir kalau Sheira gak kenalin Yin lagi, udah sebulan usia putri kita dan Yin gak ada buat Sheira.” suara Terryn terdengar pelan dan sendu. 

“Hey … Yin … Liat sini, liat ke aku.” pinta Deva sambil meraih bahu Terryn perlahan. Terryn mengikuti gerakan suaminya dan pelan-pelan melihat ke arah Deva. Deva mendekatkan wajahnya dan mendaratkan sebuah kecupan kecil di bibir Terryn yang terasa semanis buah strawberry karena lipgloss yang dipakainya. 

“Semuanya akan baik-baik saja, Yin Sayang. Kamu akan jadi ibu terbaik buat putri kita nanti. Kamu yang tenang, kamu gak akan sendiri, ada aku yang akan selalu membantumu juga ibu Asih serta ibuku yang akan membantumu merawat Sheira dengan baik.” ujar Deva dengan suara yang menenangkan Terryn seketika. 

“Jangan khawatirkan apa pun, semua memang akan terasa baru, nikmati saja dan jangan merasa kau akan gagal. Disaat kamu nanti menyentuh Sheira dan berbicara padanya Sheira akan tahu jika kau adalah mamanya, suara yang paling sering didengarnya ketika di dalam perut mamanya. Jadi tenang yaa?” Deva menatap Terryn dengan tatapan teduh, ada rasa sejuk yang dirasakannya. Deva yang kini benar-benar berbeda dengan Deva yang dulu dijulukinya CEO Kutub Utara. 

Deva yang sekarang adalah pria yang hangat, tak lagi tukang perintah, selalu tersenyum dan kata-katanya selalu mampu membuat Terryn tenang. Terryn tersenyum mendengar apa yang baru saja dikatakan suaminya. Mobil mereka masih melaju membelah jalanan ketika Terryn  memberikan sebuah ciuman manis di bibir suaminya. Cinta kasih keduanya terasa semakin kuat terjalin setelah apa yang terjadi pada Terryn. 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status