Share

Menjelang hari baru

“Sudah berapa lama Deva tertidur, Bu?” Deva kembali memungut botol minuman yang terlepas dari tangannya. Dengan kegusaran dia menghela nafas berharap mimpinya tadi bukan pertanda buruk. 

“Sekitar hampir sejam, kau pastinya kelelahan, Nak. Tentang Terryn jangan khawatir, Aluna dan rekan dokter lainnya sedang mengusahakan yang terbaik untuk istrimu.” Ibu Imelda mengusap bahu anaknya dengan lembut. Deva mengangguk perlahan, dengan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya dia berusaha untuk tetap tenang. 

Tak lama kemudian Aluna muncul dan Deva berdiri untuk menyambutnya serta bersiap mendengarkan apa kata kakak perempuannya itu. 

“Kak ….” Deva hanya mampu menyapanya pendek tak mampu untuk menanyakan lebih lanjut kondisi Terryn. 

“Terryn baik-baik saja, meskipun tadi dia butuh tambahan darah tapi semua bisa teratasi, Willy sudah mendonorkan darahnya untuk Terryn. Stok rumah sakit untuk golongan darah Terryn sedang kosong dan Willy bersedia untuk menyumbangkan darahnya. Deva, kamu beruntung memiliki dua orang sahabat yang luar  biasa seperti Willy dan Desta. sekarang kamu tenang saja dan kita berdoa agar operasi ini bisa selesai dengan baik.” Alun menepuk bahu Deva dan memilih duduk kembali di sisi ibunya. 

Deva mengedarkan pandangannya dan melihat Willy tengah berjalan ke arahnya. Deva menyambutnya juga dengan pelukan hangat, dia membenarkan kata-kata Aluna barusan jika dia memang beruntung memiliki sahabat seperti Willy dan Desta. 

“Gue berutang budi sama lu, Will.” dengan terharu Deva mengucapkan kalimat itu. Willy menepuk-nepuk bahu Deva dan memintanya duduk kembali. 

“Kebetulan golongan darah gue sama dengan Terryn dan kondisi juga baik untuk donor darah. Lu tenang aja setelah kejadian dulu itu sehabis keluar dari rumah sakit gue udah jalani hidup sehat, gue udah gak ngerokok sama minum lagi dan gue gak punya riwayat penyakit apa pun, darah gue aman buat Terryn.” Willy terkekeh untuk menghibur Deva. Deva mendengar itu menarik seulas senyumnya dan mengucapkan kata terima kasih berulang kali. 

Keluarga Terryn menunggu sejam lagi untuk melihat lampu kamar operasi dimatikan. Deva berdiri di depan pintu untuk menunggu dokter keluar. Ini kali kedua bagi Deva untuk merasa gugup yang luar biasa setelah operasi kelahiran putrinya. 

Dokter yang mengoperasi Terryn pun muncul dari balik pintu untuk memberi keterangan, Deva segera mendekatinya dengan raut wajah penuh pengharapan. 

“Operasinya berjalan dengan baik, tapi kita tetap harus melihat perkembangan nyonya Terryn ke depannya. Semoga semua berjalan sesuai rencana.” 

“Terima kasih banyak pak Dokter, terima kasih.” Deva bernafas dengan lega,dia menyalami dokter itu dengan suka cita. Dipeluknya ibunya serta ibu mertuanya dengan rasa haru, lalu berganti pelukan pada Aluna disertai kecupan sayang di kedua pipi kakaknya itu. Juga pada Willy tapi sahabatnya itu bercanda, “Jangan pake cium-cium gue yaa … kebayang gue sama Jang Nara!” dan gelak tawa mereka pun terdengar setelah ketegangan yang meliputi mereka selama berjam-jam. 

 

Terryn masih dirawat dalam ruangan intensif, Deva mengenakan jubah higienis, penutup kepala serta masker untuk bisa masuk melihat istrinya. Segala alat penopang kehidupan tampak selang-seling di atas tubuh Terryn. Perlahan Deva meraih jemari Teryyn dan menggenggamnya. Air mata harunya tak bisa dibendung lagi, siapapun yang telah menjadi pendonor bagi istrinya itu tak akan habis waktu dan ucapan terima kasih untuk dikatakannya dalam hati. 

“Segera lah pulih Yin, aku dan Sheira menunggumu, sayang. Cepatlah bangun, aku sudah sangat merindukanmu lagi. Aku akan selalu berada di sini bersamamu, Sheira sudah bisa pulang besok dan ibu Asih yang akan mengasuhnya sementara bersama dua orang suster yang aku sewa jasanya. Kau ingin segera melihat putri kita kan? Maka dari itu cepatlah kembali, Sayangku.” Deva mengelus punggung tangan Terryn lalu meletakkannya kembali. Dia yakin jika dalam waktu dekat Terryn akan bangun dan semuanya akan dimulai lagi dari awal. 

 

Sheira tampak tenang dalam dekapan ibu Asih dalam perjalanan menuju rumahnya. Deva duduk di samping ibu Asih sambil memperhatikan wajah bayi kecilnya yang masih memerah. Sheira bayi yang kuat meski sejak lahir mamanya tidak bisa berada bersamanya. Bayi kecil yang manis dan tidak rewel seakan mengerti dengan situasi yang terjadi pada kedua orangtuanya. 

Deva membuka pintu kamar yang sudah di desain bersama Terryn. Ketika mengetahui jika mereka akan memiliki seorang anak perempuan, mereka merancang kamar itu dengan nuansa merah muda, putih dan a la putri kerajaan. 

“Waaah … Kamar Sheira bagus sekali, pasti Sheira bakal betah di kamar ini sambil menunggu mama pulang yaa?” Ibu Asih meletakkan bayi Sheira perlahan. Bayi itu masih tertidur dengan pulas dan merasa nyaman di ranjang bayi yang dihiasi dengan kelambu yang juga berwarna merah muda. 

“Kamu jangan khawatir soal Sheira, Ibu akan merawatnya dengan baik, kamu fokus saja dengan Terryn di rumah sakit.” ibu Asih memandangi wajah menantunya yang masih terlihat letih. Ujung jari Deva menyentuh pipi Sheira, bayi itu menggeliat perlahan. 

“Sheira di sini dulu yaa sama nenek Asih, Papa mau jagain Mama dulu di rumah sakit, semoga Mama bisa pulang cepat dan kita berkumpul bersama.” Deva mengelus-elus pipi putrinya dengan penuh kasih sayang. 

“Maaf sudah merepotkan Ibu karena harus ikut menjaga Sheira selama Deva dan Terryn di rumah sakit.” Deva menatap ibu mertuanya dengan tatapan lembut, dia bersyukur karena dikelilingi oleh orang-orang yang sangat peduli kepadanya. 

“Sheira itu cucu Ibu, jangan bilang seperti itu, Ibu sudah sangat senang bisa membantu merawatnya, ibumu sampai cemburu pada Ibu karena Ibu bisa lebih banyak bersama Sheira karena dia harus bekerja di hotel dan memantau perusahaanmu juga.” 

Deva tersenyum dan kembali melihat putrinya yang masih tertidur, diperbaiki letak selimut Sheira dan dia meminta dua suster yang membantu ibu Asih untuk bekerja dengan baik. 

“Ibu, Deva harus kembali ke rumah sakit lagi yaa, kalau ada apa-apa hubungi Deva segera. Tolong jaga Sheira dengan baik.” Deva meraih tangan ibu mertuanya dan menciumnya dengan khidmat, ibu Asih mengelus bahu menantunya dan mengantarkan Deva hingga ke pintu. 

 

Deva berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju kamar Terryn. Istrinya itu sudah dipindahkan ke ruang perawatan VIP dan keadaannya sudah mulai membaik. Tangannya perlahan membuka pintu agar tidak terdengar oleh Terryn tapi istrinya ternyata sudah bangun dan menyambut kedatangan Deva dengan senyuman. Terryn sudah siuman setelah setengah hari setelah operasi dan membuat Deva semakin bernafas dengan lega. 

“Aku kira kau sedang tidur, Yin.” Deva mendekati istrinya dan mencium lembut dahinya. Terryn tersenyum lembut menerima perlakuan Deva yang penuh cinta itu. 

“Yin sudah bangun dari tadi sejak Kak Deva mengantarkan Sheira pulang. Bagaimana perjalanan kalian?” tanya Terryn masih dengan suara yang lemah, pernafasannya sejauh ini cukup baik pasca  menerima paru-paru baru. 

“Dia anak yang pintar, tidak rewel dan tenang hingga sampai di rumah. Bagaimana denganmu?” Deva meraih kursi dan duduk di samping tempat tidur Terryn. Dia memperbaiki letak selimut Terryn dan merapikan rambut Terryn yang menutupi dahinya. 

“Yin sudah merasa lebih baik, Yin ingin cepat pulih agar bisa bersama dengan Sheira di rumah.” ujar Terryn sambil menggenggam tangan Deva dengan erat. 

“Bersabarlah, kita ikuti instruksi dokter yaa. Yin, terima kasih karena sejauh ini kau berjuang dan bertahan. Aku pernah bermimpi jika kau pamit akan pergi dariku, itu sangat menyakitkan dan menakutkan. Rasanya aku masih gemetar kalau mengingat mimpi itu.” Deva bergidik di depan Terryn dan membuat perempuan itu tersenyum. 

“Yin tidak akan pergi lagi dari Kak Deva, Yin ingin bersama suami Yin yang paling baik sedunia juga putri Yin. Yin tidak akan kemana-mana lagi, Kak.” ujar Terryn dengan air mata yang merebak di pelupuk matanya. 

Deva meraih tangan Terryn dan menciumnya dengan dalam, ditatapnya istrinya yang baginya seakan telah diberi keajaiban.

“Jangan menangis, Yin. Aku sudah janji tidak akan membuatmu menangis lagi, kau harus bahagia di sisiku.” Deva mengusap sudut mata Terryn yang basah. 

“Setelah keluar dari rumah sakit kita akan mulai semuanya dari awal lagi, aku akan jadi suami dan papa terbaik bagi kau dan Sheira.” Deva masih memegang erat tangan Terryn. 

Ketukan di pintu terdengar, Deva menoleh dan mempersilakan masuk orang yang mengetuknya. Dari balik pintu terlihat Ashiqa yang datang seorang diri sambil membawa keranjang buah. Deva berdiri menyambut Ashiqa dan menanyakan di mana Rama suaminya. Ashiqa menjawab jika suaminya sedang berada di luar kota sehingga tidak bisa menemaninya. Deva pun meninggalkan mereka berdua agar bisa leluasa mengobrol. 

“Yin, aku ke kantin dulu yaa, nanti aku balik lagi.” lalu Deva menghilang di balik pintu. 

“Terryn Arunika … bahkan dalam keadaan seperti ini pun kamu gak mau bilang-bilang ke aku, tega kamu yaa!” Ashiqa duduk memberengut di hadapan Terryn. Terryn hanya tersenyum dan meminta maaf. 

“Yang penting kamu sudah ada di sini kan? Maaf … paling tidak aku sudah kembali dari kematian Chika.” 

“Duuuh … Kamu kok ngomongnya gitu sih Yin? Cepat sembuh yaa … Cepat pulang … Aku mau bawa Raka untuk melihat baby Sheira.” 

“Ouh yaa … kabar Raka bagaimana?” 

“Yiiin … besanan yuuk! Aku lamar Sheira untuk Raka yaa!” seru Ashiqa tiba-tiba dengan pendar mata yang berbinar bahagia. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status