Share

Pendonor organ

Hari yang ditentukan akhirnya tiba, Terryn harus masuk ke ruang operasi untuk melahirkan bayinya. Seorang bayi perempuan yang cantik, tapi bayi mungil itu harus mendapatkan perawatan intensif karena usianya yang lahir prematur. Deva mencium kening Terryn yang masih tak sadarkan diri di ruang perawatannya setelah dipindahkan dari ruang operasi. Berbagai alat penopang kehidupannya membalut tubuhnya yang ringkih. Nyaris tak ada lagi cahaya kehidupan di sana, Deva menahan sesak melihat wanita yang telah menjadi ibu dari putrinya itu terbaring lemah tanpa daya.

“Cepatlah kembali Yin, putri kita cantik sekali, jangan iri yaa … Kata dokter dan suster putri kita sangat mirip denganku.” Deva menarik senyumnya dengan terpaksa untuk mengimbangi matanya yang basah. Dikecupnya ujung jemari Terryn lalu Deva berbalik meninggalkan ruangan Terryn untuk melihat putrinya yang juga sedang dirawat intensif di inkubator.

Dari balik jendela kaca Deva menatap putrinya yang mungil dan hampir sama rapuhnya dengan ibunya kini. Hati Deva seakan sudah retak-retak menunggu waktu untuk pecah berkeping karena kesedihan yang menghantamnya berkali-kali.

Sebuah tepukan hangat di bahu Deva menyadarkannya kembali, di lihatnya Desta dan Willy sudah berdiri di sampingnya.

“Selamat yaa Bro … Lu udah jadi bapak sekarang, gue doain Terryn lekas pulih dan kondisinya jauh membaik.” Willy ikut memperhatikan kotak inkubator yang ada di dalam ruang perawatan bayi. Deva hanya menggumam pelan untuk mengucapkan terima kasih.

“Sebagai hadiah atas kelahiran putri lu, gue bawa kabar baik. Perusahaan kita memenangkan tiga tender proyek raksasa, salah satu lawan terberat kita Seven Seas, si Arkhana berhasil kita singkirkan!” ucap Desta dengan bangga.

Deva mengangguk puas mendengar itu dan menepuk bahu Desta serta Willy bergantian, wajah Deva terlihat sangat lelah dan letih.

“Terima kasih banget yaa atas kerja keras lu berdua, gue gak tahu bakal jadi apa Melda’s kalo gak ada lu berdua yang handle semuanya.”

“Melda’s itu bagian hidup kita bertiga juga Va dan lu juga, selama kita masih bisa berjuang buat lu dan Melda’s sejauh itu juga gue ada buat lu.” sahut Desta yang diikuti anggukan mantap Willy.

“Gue mau ajak lu makan Va, kata ibu lu dari pagi lu belum makan, jangan sampai lu sakit, sekarang tanggung jawab lu nambah lagi dengan kehadiran dia.” Willy menunjuk kotak inkubator bayinya.

Deva pun membenarkan perkataan temannya dan mengikuti kemana kedua sahabatnya itu akan mengajaknya makan malam.

“Sepertinya Terryn memang harus transplantasi paru, pihak rumah sakit sudah mulai mencari donor paru untuk dia.” ujar Deva usai mereka menghabiskan seporsi nasi goreng kambing di rumah makan tidak jauh dari rumah sakit.

“Berarti kondisi Terryn emang udah parah yaa?” Desta menyeruput habis sisa es jeruknya. Willy hanya melipat tangan di dadanya seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Sayang gue suka masih terkadang suka minum kalo lagi ngumpul sama kerabat gue di acara keluarga dan Desta perokok aktif jadi gue dengan dia gak bisa jadi donor.”

Desta yang hendak menyulut sebatang rokok pun tidak jadi dan menyimpan batang rokoknya itu kembali ke dalam tempatnya.

“Sejak dokter bilang kemungkinan transplantasi paru, gue udah kepikiran akan mendonorkan paru-paru gue. Toh Terryn hanya butuh satu untuk bertahan hidup dan gue masih mampu untuk bertahan dengan satu paru-paru saja. Gue juga bukan perokok dan peminum, gue rasa gue bisa jadi pendonornya, semoga aja bisa.”

Perkataan barusan sukses membuat kedua melongo terkejut. Mereka tidak menyangka jika Deva akan bertindak sejauh itu mengorbankan satu paru-parunya untuk Terryn.

“Serius lu?” tanya Desta yang tiba-tiba merasa tenggorokannya menjadi kering.

“Terryn saat ini sedang berpacu bertaruh dengan waktu, dia harus hidup lebih lama untuk melihat putri kami tumbuh. Gue akan lakukan apapun untuk itu Guys.”

Willy dan Desta hampir menghela nafas bersamaan, mereka paham dengan perasaan Deva dan keputusan yang akhirnya dipilih Deva. Ketika cinta telah bicara maka pengorbanan dalam bentuk apapun akan dilakukan.

“Kalau emang itu menurut lu yang terbaik buat keluarga lu, gue dukung lu sepenuhnya Va, gue dan Desta akan selalu ada buat lu dan Melda’s. Soal kantor lu gak usah khawatir, ada orang-orang kepercayaan ibu lu juga yang udah bantuin kita selama ini.”

“Yuuup … Gue sepakat dengan apa yang Willy bilang barusan, gue bakal tetap ada buat lu kapanpun itu Bro. Tapi gue juga mau minta tolong niih sama lu berdua, kalo bisa gue minta waktu sehariiii aja buat temenin gue.”

“Maksud lu?” tanya Deva tidak mengerti, begitu pula Willy yang juga menatap ke arah Desta.

“Dua minggu dari sekarang lu berdua harus siap-siap jadi Best Man gue di nikahan gue sama Mega.” Desta mengembangkan senyumnya dengan lebar.

“Woooo hooo … Mau juga yaa Mega jadi bini lu?” Willy tertawa sambil meninju kecil bahu Desta.

“Weeeih … Selamat yaa Des, akhirnya berakhir juga masa jomblo lu!” seru Deva dengan gembira dan juga mendaratkan tinju di bahu Desta seperti yang dilakukan Willy.

“Tapi acaranya di mana? Gue gak bisa tinggalin Terryn dan anak gue jauh-jauh.” sahut Deva lagi yang mendadak teringat kondisi istrinya.

“Gak jauh, di hotel ibu lu, gue dikasih diskon sama ibu Imelda waktu tahu kalo gue yang mau nikah.” Desta tertawa senang dan membuat Willy dan Deva saling berpandangan lalu tertawa bersama.

“Dasar lu gak modal!” ejek Willy dengan bercanda.

“Yeeey … Dari pada lu ditinggal nikah mulu sama pacar lu, buruan nyusul tanggal kedaluarsa lu dikit lagi habis!” balas Desta dengan tawa yang terkekeh.

Deva melihat jam tangannya, dia sudah cukup lama bersama kedua kawannya,

“Gue harus balik sekarang ke rumah sakit lagi, makasih udah temenin gue makan malam. Lu, Desta, kalo lu butuh apa-apa buat persiapan pernikahan lu, ngomong aja ke gue yaa, lu siapkan momen terbaik dalam hidup lu, gue bakal bantu sebisa gue, apapun itu.”

Desta menatap penuh haru sahabatnya dan menjabat erat tangannya.

“Sori yaa Va, gue gak tunggu Terryn sampai pulih dulu, orang tua Mega udah tetapkan tanggalnya untuk hari baik kami. Terima kasih juga buat kepercayaan lu selama ini buat gue di Melda’s bareng Willy.” Desta pun meraih bahu Deva memeluknya sesaat dan menepuk-nepuk bahunya. Kemudian Deva meninggalkan kedua di rumah makan, Deva berjalan kaki sambil menghirup udara malam. Hari ini cukup melegakan, dia sudah resmi menjadi seorang ayah dan salah satu sahabat terbaiknya akan menikah.

“Deva, kamu dari mana, Nak?” tanya ibu Imelda yang baru saja keluar dari kamar perawatan Terryn. Ibu Imelda menyongsong puteranya dengan wajah yang terlihat lebih bahagia.

“Deva habis makan di rumah makan samping rumah sakit ini, Bu, bareng Desta dan Willy.”

“Ouh, baguslah, kamu jangan sampai sakit juga yaa, Nak. Oh iya, Terryn baru saja siuman tapi saat ini sedang diperiksa oleh dokter.”

Wajah Deva terlihat ikut cerah, dia memanjangkan lehernya untuk melihat dari jendela kecil di pintu kamar ruangan Terryn. Sekilas dia melihat dokter dan beberapa orang perawat tengah memeriksa tekanan darah serta ventilator yang digunakan Terryn. Mata istrinya sudah terbuka tapi masih terlihat lemah.

“Deva mau masuk, Bu.” Deva hendak mendorong pintu tapi ibunya mencegahnya.

“Tunggu, biarkan dulu dokternya bekerja, nanti kalau sudah selesai baru kamu masuk.”

Deva pun mundur dan menuruti perkataan ibunya meski dia sudah tidak sabar untuk menyapa Terryn.

“Ibu sudah dengar 'kan tentang rencana transplantasi paru untuk Terryn?” tanya Deva ketika keduanya duduk di bangku depan kamar pasien.

“Akhirnya dokter memutuskan untuk mengambil langkah itu ya?” Ibu Imelda justru balik bertanya pada puteranya.

“Jika kondisi paru Terryn semakin memburuk maka dibutuhkan satu paru pengganti, Bu. Pihak rumah sakit sedang memeriksa donor organ itu.”

“Kasihan menantuku harus menghadapi masa sulit seperti ini, terlebih di saat dia baru saja menjadi seorang ibu.” tatapan ibu Imelda menerawang jauh ke arah lorong rumah sakit yang sepi.

“Bu, jika donor itu tidak bisa ditemukan dalam waktu cepat, maka Deva akan mengajukan diri sebagai pendonor. Deva minta restu dan doa Ibu untuk keputusan Deva ini dalam menyelamatkan nyawa Terryn.”

Kalimat yang baru saja terdengar di telinga ibu Imelda sukses membuat perempuan paruh baya itu tersentak kaget dan menatap putranya dengan tatapan tidak percaya.

“Deva mohon, Bu ….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status