Theo terdiam sejenak sebelum menanggapi ucapan Abizar. Tatapan pria asal Inggris itu masih tertuju kepada pria paruh baya di hadapannya. Dia terus menghujani ayahanda Sarah tersebut dengan sorot yang sulit diartikan, hingga Abizar merasa serba salah. Sesaat kemudian, Theo mengalihkan perhatiannya pada sejumlah uang di dalam tas yang masih tersimpan di atas meja. Tanpa mengatakan apapun, dia memberi isyarat kepada Andaru. Sang ajudan kepercayaan langsung mengerti dengan kode yang diberikan majikannya.Andaru meraih tas berisi uang tadi. Sebagai seorang lulusan sarjana akuntansi, bukan hal sulit baginya untuk memeriksa uang itu. Hanya dalam beberapa menit saja, dia sudah menyelesaikan tugasnya. Andaru mengangguk kepada Theo. “Tiga milyar, Tuan,” ucap pria itu.“Bagus,” ucap Theo puas. Dia kembali mengarahkan pandangan kepada Abizar. “Kau bisa datang lagi besok untuk menjemput putrimu,” putusnya. Tanpa basa-basi lagi, pria tampan berambut gondrong itu beranjak dari tempat duduk, kemudia
Sarah membelalakkan mata karena tak percaya, atas apa yang Andaru sampaikan padanya. Gadis itu melonjak kegirangan. Tanpa sadar, Sarah bahkan sampai memeluk erat asisten kepercayaan Theo tersebut.Andaru terpaku beberapa saat menerima perlakuan seperti itu. Dia langsung terkesiap. Pria tampan dengan kemeja abu-abu itu seakan mati gaya. Namun, pada akhirnya Andaru membalas pelukan tadi."Ya, Tuhan. Kuharap kamu tidak sedang bercanda," ucap Sarah, sambil terus memeluk erat Andaru."Tentu saja tidak. Aku serius, Sar," balas Andaru. Dia ikut senang saat melihat gadis itu tertawa riang."Ah, aku tidak percaya ini." Sarah terus melonjak senang. "Itu artinya, aku akan segera pergi dari sini. Aku akan kembali ....""Apa yang sedang kalian lakukan?" Suara berat Theo membuat Sarah segera melepaskan pelukan dari Andaru. Keduanya bahkan langsung menjaga jarak, saat melihat Theo sudah berdiri tak jauh dari mereka."Kenapa kalian berpelukan di sini?" tanya Theo lagi dengan nada bicara yang terdenga
Theo terus memperhatikan dari jendela kamarnya. Makin lama, dia semakin asyik. Namun, tiba-tiba ada dorongan kuat dalam dirinya. Theo seperti mendengar bisikan halus yang menyuruhnya agar keluar. Pria tampan berdarah Inggris itu mengalah dengan sangat mudah. Tanpa memakai T-Shirt terlebih dulu, Theo langsung keluar kamar. Dia melangkah gagah menuju kolam renang. Bertepatan dengan Theo yang tiba di sana, Sarah muncul ke permukaan. Tadinya, gadis itu hendak naik ke tepian kolam. Akan tetapi, niat tersebut diurungkan setelah melihat kehadiran Theo di sana. Sarah lebih memilih tetap berada di dalam air. “Kenapa kau berenang malam-malam begini?” tanya Theo dingin. “Kenapa kau kemari?” Bukannya menjawab, Sarah malah balik bertanya. “Astaga.” Theo menggeleng pelan. “Apa kau lupa bahwa tempat ini adalah milikku. Aku bebas ke manapun sesuka hati,” jawab Theo diiringi senyuman sinis. “Ah, ya! Aku lupa bahwa kau adalah tuannya,” sindir Sarah. Dia berusaha tetap terlihat tenang, meskipun seb
Sarah kembali ke kamarnya dalam perasaan gamang. Entah apa maksud ciuman Theo tadi, dia sama sekali tak mengerti. Namun, Sarah juga tak kuasa untuk menolak. Perasaannya campur aduk saat itu. Ragu-ragu Sarah membuka pintu kamar, ketika sebuah tepukan lembut menyapa bahunya. Gadis cantik itu segera menoleh dan mendapati Andaru berdiri di hadapannya dengan sorot aneh. "Apa kamu sudah berkemas?" tanya Andaru pelan. "Ini mau siap-siap," sahut Sarah sambil tersenyum kaku. Dia merasa tak nyaman karena pakaian dalamnya basah. "Ya, sudah. Kamu beres-beres saja dulu," Andaru seolah mengerti apa yang Sarah rasakan. Dia mengangguk sopan dan hendak berlalu. "Tunggu! Apa kamu mau ngomong sesuatu?" cegah Sarah. Andaru menghentikan langkah. Dia kembali berbalik menghadap Sarah seraya meraih telapak tangan gadis itu. "Ada sedikit suvenir dariku. Terimalah," pria tampan itu meletakkan sesuatu di atas permukaan tangan Sarah. Sebuah kalung liontin berbentuk bulat sabit, Andaru serahkan pada gadis y
Sarah melangkah ragu mendekat ke arah mobil mewah yang terparkir beberapa meter dari tempatnya berdiri. Apalagi ketika si pemilik kendaraan keluar dari mobil dan menghampirinya. "Halo, kamu pasti Sarah, ya?" tanya pria itu ramah sambil mengulurkan tangan."I-iya," jawab Sarah gugup seraya menyambut uluran tangan pria tinggi di depannya."Cantik sekali. Persis seperti yang diceritakan Pak Abizar," sanjung si pria."Saya memujinya bukan hanya karena dia anak saya, Pak Ammar. Sarah ini memang terkenal cantik sejak lahir," kelakar Abizar."Saya percaya," si pria yang dipanggil Ammar oleh Abizar itu terbahak sambil menepuk pelan lengan ayahanda Sarah tersebut. "Ya, sudah. Kita berangkat ke bandara sekarang, supaya tidak ketinggalan pesawat nanti," tawarnya."Tentu, Pak," Abizar sumringah mengangkat koper, lalu memasukkannya ke dalam bagasi. Dia juga mengarahkan Sarah agar duduk di mobil lebih dulu, sementara dirinya berbincang sejenak dengan Ammar. Entah apa yang mereka berdua bicarakan, S
"Ya, ampun." Sarah menggeleng pelan. Seumur hidup, dia tidak pernah merasakan kecewa yang sangat besar terhadap ayahnya.. Abizar telah melukai perasaan serta kepercayaan yang dirinya miliki. "Papa membawaku keluar dari mulut buaya, masuk ke dalam mulut harimau," keluhnya."Kamu belum mengenal Pak Ammar, Sarah. Dia orang yang baik," ujar Abizar membantah pemikiran Sarah, yang memperlihatkan rasa tak suka terhadap apa yang pria itu lakukan. "Baik, karena dia bersedia meminjamkan uang dalam jumlah yang fantastis secara cuma-cuma. Anehnya, Papa percaya dengan begitu mudah". Astaga, Pa. Zaman sekarang banyak orang yang pandai memanfaatkan keadaan. Aku tidak mau jika Papa sampai terjerumus dalam masalah besar lagi.” Sarah berdecak pelan, lalu menggeleng. Setelah itu, tak ada lagi percakapan sampai Ammar kembali dan mengambil tempat duduk di depan mereka."Dengar-dengar dari Pak Abizar, Sarah baru saja lulus kuliah, ya?" tanya Ammar, sesaat setelah pesawat lepas landas."Ya, begitulah," jaw
Sarah menggerakkan sepasang matanya dengan tak beraturan ke kiri dan kanan. Gadis berusia dua puluh tiga tahun tersebut sepertinya tengah mempertimbangkan penawaran yang diberikan oleh Ammar. “Kamu bisa memikirkannya matang-matang terlebih dulu. Akan kukirimkan link web yang bisa kamu akses, untuk mendapat informasi yang jauh lebih lengkap. Silakan pelajari baik-baik. Siapa tahu kamu tertarik.” Ammar tersenyum kalem setelah berkata demikian. Dia dapat memastikan bahwa sebenarnya Sarah sudah mulai terpengaruh kata-katanya. Ammar berharap gadis itu setuju untuk bergabung ke dalam perusahaan yang disebutkan tadi. “Tidak ada salahnya kamu pertimbangkan, Nak. Pak Ammar bermaksud membantu kita dengan tulus,” ucap Abizar ikut mempengaruhi pemikiran Sarah yang masih ragu mengambil keputusan. “Saya hanya merasa khawatir, jika potensi yang dimiliki Sarah tidak disalurkan dengan baik, Pak Abizar. Kesempatan tidak datang dua kali,” timpal Ammar meyakinkan. “Ya, Anda benar sekali,” balas Abiza
Theo terdiam tak menanggapi perkataan Andaru. Pikiran pria itu malah seperti sedang tidak berada di sana. Andaru yang memperhatikannya sejak tadi, merasa heran sekaligus penasaran. "Anda kenapa, Sir?" tanyanya hati-hati. "Ah, itu … tidak apa-apa," jawab Theo tergagap. “Jadi, dari mana Abizar mengenal dia?" Pria asal Inggris tersebut mengalihkan pembicaraan, seraya kembali mengarahkan pandangan ke depan. Tatap matanya menerawang ke luar jendela. "Entahlah, Sir. Ammar sendiri merupakan putra jutawan yang terkenal aktif dalam berbagai acara charity. Dia mempunyai banyak yayasan dan badan amal, serta mengepalai beberapa lembaga filantropi. Ammar juga memiliki channel youtube sendiri. Dia sering menyiarkan siaran langsung di kanal pribadinya, tentang segala hal yang berkaitan dengan program kemanusiaan dari lembaga milik ayahnya tadi,” jelas Andaru lagi."Hm, begitu ya?” Theo mengangguk, lalu berbalik menghadap Andaru. "Abizar hanya orang biasa. Dia tidak mungkin bisa masuk dengan begit