Aku tersenyum lalu menghela nafas pelan. “Aku belum punya pacar. Belum punya istri dan belum punya anak juga. Jadi kamu nggak perlu ngerasa bersalah lagi. Karena aku paham. Aku bisa ngerti kenapa kamu ninggalin aku gitu aja, dan sengaja menghindari aku berhari-hari… Nggak ada kesalahan yang perlu kamu tebus. Jadi, next dinner is on me. Okay?”Dinda masih menatapku dan diam saja. Namun, kali ini, tatapannya seolah berbicara bahwa dia sedang memikirkan dan menyembunyikan sesuatu.“Deo…” Dinda berhenti sejenak, dan kembali menatapku secara serius. “…aku baru aja putus.”+Here we go…+“Kamu boleh nggak percaya, tapi… aku sama sekali nggak ada niat buat jadiin kamu pelampiasan atau pelarian.”“I trust you, Dinda.” Kataku jujur, lalu tersenyum.“Aku nggak punya bukti, kalo aku nggak lagi manfaatin kamu.”Aku tersenyum lebih lebar lagi. “Nggak perlu.” Kataku yang kemudian meneguk kopiku lagi.“Nggak perlu, dan kamu percaya gitu aja sama aku?”Aku mengangguk sambil tersenyum. “When you know
“Ya, kalo sekarang… sedihku itu sebenernya karena aku ngerasa kecewa sama diriku sendiri.” Dinda menghela nafas pelan.“Kecewa karena kamu udah terlalu percaya sama dia?” Tanyaku yang berusaha menebak.Dinda menatap kedua mataku dan mengangguk. “Aku… sebenernya udah ngerasa kalo ada yang nggak beres. Tapi selalu aku kesampingkan, karena nggak ada bukti sama sekali, dan aku juga nggak suka ngeributin hal yang sepele atau nggak jelas. Biar gimanapun, aku pernah sayang sama dia. Jadi, aku berusaha untuk kasih kepercayaan dan pengertian ke dia.”“Tapi ternyata, aku salah… Kalau aja waktu itu aku dengerin hati aku ngomong apa, pasti aku nggak akan bersikap masa bodoh dan terlalu percaya sama dia… Memang sih, semuanya yang udah terjadi itu bisa aku jadiin pelajaran di hidup aku. Tapi aku nggak mau munafik sama perasaanku sekarang. Kita kan jadi temen baik dulu, sebelum akhirnya bisa pacaran tiga tahun. Dan selama pacaran juga, kita nggak pernah berantem kayak anak kecil. Biarpun ending-nya,
Aku bangkit berdiri dan duduk tepat di sebelah Dinda. Kuraih kedua bahu Dinda, lalu kutatap kedua matanya, yang kemudian juga menatapku balik. “Kasih aku kesempatan buat jujur. Please…”Dinda tersenyum kecil. “Keep going…”“Orang tuaku cerai, dan aku tau nggak enaknya kayak gimana. Sejak saat itu, aku janji ke diriku sendiri untuk hati-hati kalau mau pilih pasangan. Karena aku nggak mau menjalani pernikahan yang nggak bahagia, dan aku juga nggak mau korbanin anak yang nggak salah apa-apa.”“Itu kenapa pacaran buat aku nggak bisa main-main. Aku nggak mau pacaran sama sembarang perempuan. Aku harus tau persis, dan cocok sama karakter perempuan itu… Dan, aku juga nggak suka munafik. Kalo cuma kertetarikan fisik, ya udah fisik aja. Ngapain ngasih status dan hatiku ke perempuan yang aku sendiri nggak yakin sama karakter dia gimana?”“Jadi… kamu bisa, sex tanpa cinta atau perasaan?” Tanya Dinda.“Bisa.” Jawabku dengan jujur. “Tapi bukan berarti aku nggak bisa sex dengan cinta dan perasaan.
Aku menimbang perkataanku selanjutnya terlebih dahulu. Ingin rasanya aku mengutarakan semuanya kepada Dinda, tapi aku masih tidak yakin jika sekarang adalah waktu yang tepat. Aku juga memiliki ketakutan, namun ketakutanku saat ini adalah mengenai Dinda yang menjauhiku. Kalau aku tergesa-gesa mengungkapkan perasaan cintaku, aku takut, Dinda tidak akan mau percaya begitu saja kepadaku.“Memang bisa?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang penuh selidik sekali lagi.“Bisa. Kenyataannya bisa.” Jawabku dengan nada suara yang cukup serius.Kita masih saling menatap dan terdiam sejenak. Sebenarnya, aku ingin sekali mengungkapkan perasaanku sekarang juga. Namun, aku masih merasa bahwa situasinya belum terlalu berpihak kepadaku.+Ini gimana caranya, biar gue bisa ngungkapin semuanya ke Dinda sekarang?Dia keliatannya kayak masih belum siap sama gue…Apa Dinda masih butuh waktu ya?Gue pengen jujur, tapi gue juga nggak mau terkesan maksa banget ke Dinda.Ini gimana caranya, biar gue bisa ngeya
“Kita sepakat nggak lepas kondom, biarpun aku rutin minum pil tanpa sepengetahuan dia. Alesannya karena… aku takut hamil. I know, pil kontrasepsi sebenernya udah cukup ngebantu biar aku nggak hamil. Tapi, aku sengaja double protection aja.”“Kamu nggak mau punya anak?” Aku berusaha mengatur intonasiku supaya tidak terdengar terlalu kesal, karena cemburu dengan mantan kekasih Dinda tersebut.“Bukan nggak mau punya anak. Cuma ya, aku nggak mau sembarangan hamil. Apalagi sama laki-laki yang aku tau sendiri, dia belum siap punya anak.”+Lah? Yang waktu itu kita?Gue belum sempet bilang ke Dinda kalo someday, gue kepengen punya anak, tapi kita tetep lanjut terus tanpa pengaman…+“Jadi, kalo si laki-laki udah siap punya anak, kamu nggak masalah kan buat hamil?”“Ya, tergantung…”“Tergantung apa?”“Aku perlu pertimbangin, apakah dia bisa jadi orang tua yang baik dan penyayang buat anaknya… Aku yakin, aku bisa, dan siap jadi ibu yang baik. Biarpun tentu aja, aku nggak perfect. Tapi at least
Pagi ini, aku terbangun karena suara alarm yang sebelumnya sudah diatur oleh Dinda untuk berbunyi tepat pada pukul empat pagi, dini hari. Aku langsung meraih ponsel Dinda yang masih tergeletak di atas tempat tidur, lalu segera kumatikan alarm tersebut, sebelum Dinda terbangun dari tidurnya.Mataku terbuka lebih lebar lagi dan aku diam sejenak, sambil mengamati Dinda yang masih tidur nyenyak di sampingku. Tangan kanannya berada tepat di atas perutku, dan kaki kanannya menindih kedua kakiku yang berbaring lurus di sebelahnya. Sungguh, bagiku, salah satu pemandangan yang sangat indah adalah, ketika bangun tidurku disambut dengan pemandangan seorang perempuan yang sangat aku sayangi, sedang tertidur nyenyak di sampingku, dan dengan posisi memeluk tubuhku.“I love you…” Bisikku sambil melirik ke bawah, ke arah Dinda. Senyumku mengembang, dan tangan kananku mengelus tangan kanan Dinda yang ada diperutku.+Suatu hari nanti, kalau momennya udah tepat, gue akan bilang ke Dinda kalo gue udah j
“Hmm... Jam berapa ini?” Tanya Dinda yang terdengar sedikit tidak jelas dan parau.“Udah jam empat lewat.”“Hmm.”“Jadi gimana?” Tanyaku sambil memandangi Dinda yang masih saja terpejam dan tidak mau beranjak sama sekali. "Mau pulang hari ini nggak?"“Hmm...""Dinda?""Hmm..."Aku kemudian menghela nafas secara perlahan. Mendadak, aku harus segera memikirkan berita-berita korupsi dari seluruh sistem pemerintahan yang ada di Indonesia. Karena suara Dinda yang khas ketika dia bangun tidur, ditambah pelukannya yang semakin erat, dan kulitnya yang menempel di kulitku secara langsung, benar-benar membuatku ingin melanjutkan kegiatan kita berdua sebelum tertidur pulas.“Din?” Suaraku mendadak berubah menjadi sedikit lebih serak. Aku berdeham pelan, lalu diam sebentar. “Dinda?”“Hmm.”“Ini kalo kamu nggak bangun, bisa-bisa aku yang bangun lagi loh...”“Hmm.”“Din?” Panggilku lagi karena Dinda masih tidak bergerak sedikit pun. “Jadi mau pulang nggak?”“Pulang...”“Nggak mau mandi dulu?”“Yaaa
“Kamu nggak lagi becandain aku doang kan ya ini?”“Nggak, Dindaku sayang… Aku masih inget semua yang kamu bilang kemarin. Dan aku juga serius. Aku sayang sama kamu, dan aku mau kita pacaran..."Dinda menghela nafas pelan, kemudian termenung sejenak. Bagiku saat ini, satu detik saja terasa lebih lama daripada biasanya. Menunggu Dinda yang sedang diam, dan menunggu jawaban, atau kepastian dari Dinda, rasanya sudah lebih dari cukup untuk membuatku gelisah.Namun, aku memilih untuk tetap diam saja, dan pasrah menunggu Dinda. Aku ingin Dinda membuat keputusan berdasarkan hati dan pikirannya sendiri. Bukan karena aku yang dengan tidak baik mempengaruhi dia. Sekalipun aku sangat menginginkan Dinda di hidupku, tetap saja, aku lebih suka untuk tidak memaksanya. Aku ingin selalu bisa menghargai Dinda sebagai seorang perempuan yang sangat aku cintai.Dinda kembali menatap kedua mataku lagi. "Aku..." Dia kemudian menghela nafas pelan. "...Kalo, aku bilang nggak mau, itu artinya, aku udah bohong k