"Jam berapa mereka akan datang, Pa?" Sudah puluhan kali Ayah Damar bertanya pertanyaan yang sama di pagi yang cerah ini. Benar! Keluarga Rizal akan datang untuk membahas tentang persiapan akad dan resepsi pernikahan.Tampak sekali perbedaan rumah Ivana hari ini, dengan hari hari sebelumnya."Dam, duduklaah! Dengan kamu mondar mandir seperti itu, aku pun serasa mau pingsan lihatnya." Setya, lelaki yang masih terlihat tampan dan gagah walau pun sudah berumur "Bagaimana kalau mereka tidak jadi datang, Pa?" Ayah Damar terlihat sangat khawatir."Jangan berprasangka buruk laaah, mereka pasti datang," jawab Kakek."Tapi ini sudah lewat dari jam yang ditentukan, Pa. Bagaimana ini?""Maaf, Ayah! Kami terlambat dua puluh menit dari jam yang dijanjikan kemarin, tolong di maklumi." Rizal yang tiba tiba muncul di pintu langsung berucap maaf pada Ayah Damar. Dengan tersenyum lebar, Ayah Damar dan Kakek Setya menyambut kedatangan Rizal dan rombongan yang sekitar sepuluh orang."Mari, mari! Sil
"Va, barang yang nantinya mau kamu kasihkan pada Naya udah kamu bungkus cantik, nggak? Baju buat kamu dan si kembar pakai, gimana, udah siap apa belum? Telponin lagi dong orang salonnya, suruh datang siang aja, jamnya si Naya kan sore jam empat?!"Masih banyak lagi hal hal yang di bingungin oleh Nenek, sungguh! Sejak Nenek kukuh pindah ke Panti. Rumah Ivana rame bukan karena adanya si kembar, tapi karena kehebohan dari Nenek.Terkadang adu argumen dengan Ayah Damar. Namun, tidak berani lagi bersuara bila Kakek sudah melerai, begitu hebatnya sosok Kakek di mata Ivana, yang mampu mengendalikan emosi seorang istri dan anak yang notabene adalah orang orang yang sangat sangat hebat di mata Ivana."Ayah!" panggil Ivana lemah, Namun masih bisa terdengar oleh Ayah Damar. Hingga membuat Ayah Damar yang sedang mengutak atik ponselnya, segera mengalihkan pandangan ke arah putrinya yang masih berdiri di ambang pintu."Ivana! Ada apa, Nak?" jawab Ayah Damar yang kaget karena kedatangan Ivana ke ka
"Nay!" panggil Ivana saat baru saja membuka pintu kamar sahabatnya itu.Tampak Naya yang sedang di dandani dibantu oleh dua orang perempuan yang satu berhijab, dan yang satu tidak. Naya akan menggunakan hijab kuning gading, contras sekali dengan warna gaun yang dia pakai. Tampak cantik dan anggun, beda dari biasanya."Sini, masuk, Va!" suruh Naya yang melihat Ivana dari pantulan kaca, karena sedang di pasangi hiasan untuk mempercantik hijabnya, hingga tidak bisa menoleh ke belakang. ”Cantik, moga setelah ini, hijabnya lanjoooot, ya. Aamiin aamiin!” ujar Ivana yang juga diaminin oleh Naya dan dua orang perempuan yang membantu Naya make up dan berhijab. "Aamiin, tapi aku nggak punya banyak hijab, baju gamis juga sedikit. Gimana dong?" tanya Naya yang merengek seperti anak kecil bila di hadapan Ivana."Alasan yang tak masuk di akal, besok aku beliin deh yang kamu butuhin buat berhijab, gimana? Kurang baik apa aku sebagai sahabat? Keren kan aku?" Ivana berkata dengan sedikit menggod
Sementara yang lainnya sibuk di bawah, Bella di lantai atas berusaha membuka pintu kamar Faris. Namun, sayang tidak berhasil karena di kunci dari dalam oleh si empunya kamar"Ris, buka dong. Jangan kayak anak kecil deh, semua kan bisa di omongin," rayu Bella dari luar kamar.Tak ada jawaban dari dalam kamar, hingga membuat Bella tambah kesal beberapa kali pegangan pintu di jadikan sasaran kegemesannya pada sikap Faris.Agak lama, akhirnya Bella pun mendiamkan Faris, Namun tetap berada di depan pintu kamar kekasihnya itu."Masuklaah!" Tiba tiba, terdengar suara Faris membuka kunci pintu kamarnya, Namun tidak membuka pintu. Bella yang sudah mulai naik darah masuk kamar kemudian menutupnya lagi dengan sangat kasar, hingga berbunyi gedebum, saking terlalu kerasnya tenaga yang dipakai Bella untuk menutup pintu kamar Faris."Kamu, mau menjelaskan apa? Tentang pernikahanmu dengan bule itu, atau tentang kandunganmu?"To the point pertanyaan yang dilontarkan Faris, yang tadinya membelakang
"Itu suara mobil Faris 'kah, Pa?" tanya Mama yang masih berbenah dengan di bantu oleh Mak Ijah dan satu asisten rumah tangga yang lainnya."Sepertinya Iya, pasti ada yang ingin dia bicarakan, sampai harus kembali, ini tak biasanya."Papa Adi dengan sedikit tak peduli menjawab pertanyaan Mama Via.Malam itu, setelah acara pertunangan Naya, di saat para tetamu sudah meninggalkan pesta. Kerabat pun sudah pulang. Faris yang baru saja mengantarkan Bella pulang, kini kembali pulang ke rumah orang tuanya, ini tak biasa. Karena sejak menikah dan bercerai dengan Ivana, Faris menempati rumahnya sendiri dan jarang datang kalau tidak benar benar ada yang ingin dia bahas."Pa. Bisa minta waktunya sebentar, nggak?" tanya Faris saat sudah berdiri di depan Papa Adi. Papa Adi tak langsung menjawab, tapi hanya memandang Faris, hingga membuat yang dipandang jadi salah tingkah."Pa, a--.""Duduklaah, kenapa hanya waktu yang kau minta? padahal kami memberimu yang terbaik yang kami mampu." Ponsel yang d
1"Ma!"Hari masih sangat pagi, saat Faris menyapa Mamanya yang baru saja turun dari kamar hendak menuju dapur."Faris, kamu tidur di sini?" jawab Mama Via yang heran saat di dapati anaknya dengan muka kusam, dengan kepala berada di atas tangan yang tertumpuk, satu dengan yang lain."Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama, tentang pernikahanku dengan Bella, yang rencananya dilaksanakan tiga hari lagi." Faris kemudian menatap Mamanya, khawatir melihat ekspresi dari wanita yang telah melahirkannya itu, takut histeris. Namun, ternyata apa yang dikhawatirkan tadi tidak terjadi. Mama Via menarik kursi makan kemudian mendudukinya tanpa berkata apa apa. Raut mukanya pun tidak menampakkan keterkejutan sama sekali. Bahkan kini mereka berdua saling menatap."Ma ...!"Lama kelamaan akhirnya Faris tak sanggup untuk berdiam diri berlama lama dengan Mama Via."Apa yang kamu butuhkan, mending kamu minta tolong WO aja, karena Mama sudah tak sanggup untuk mengurus ini dan itu. Atau tanya adikmu sa
"Semua sudah siap kan?" tanya Faris.Sore itu di depan sebuah rumah yang bagus dan besar. Saat semuanya sudah turun dari mobil dengan membawa beberapa bingkisan buah tangan yang sudah di hias cantik untuk Bella.Rombongan Faris--Mama Via, Naya, dan Dimas tampak tak memperdulikan pertanyaan Faris, semua sibuk dengan memperbaiki barang yang di bawanya atau dengan penampilannya.Dan itu membuat cetakan muka kecewa di muka Faris."Sudahlaah, jangan kau ambil hati sikap mereka. Hari ini harimu, ayoo! Kamu jalan duluan, tak ada waktu buat sedih sedihan." Papa Adi menguatkan hati putranya dengan menepuk bahu kanannya pelan pelan.Faris menuruti perkataan Papanya, yang kemudian memimpin rombongan kecilnya untuk memasuki pagar.Di pintu ternyata sudah ada beberapa orang yang sepertinya sedang menunggu kehadiran rombongan Faris."Akhirnya tamu yang di tunggu sudah datang?"Seorang pria setengah baya yang sudah sangat familiar bagi keluarga Faris, Om Beny namanya, adik dari Mamanya Bella, sekal
"Dam ...!" sapa Papa Adi saat pintu kerja Ayah Damar terbuka. "Masuklah, Di!" sambut Ayah Damar yang berdiri dari kursi kebesarannya di balik meja, dan melangkah mendekati Papa Adi yang masih berdiri di depan pintu. Sambil menjulurkan tangan kanannya."Ayo, duduklah! Sepertinya aku mencium aroma aroma yang hendak kau rahasiakan, hingga kau mendatangiku ke kantor, bukannya langsung membicarakan di ponsel atau di rumah panti," ujar Ayah Damar, sambil menarik tangan Papa Adi yang tidak dilepas setelah berjabat tangan tadi, agar mengikutinya duduk bersama di sofa yang tersedia di ruang kerjanya. Papa Adi hanya tersenyum saja mendengar tuduhan yang benar padanya."Ada apa, penting banget, ya?" tanya Ayah Damar penasaran. "Aku sebenarnya nggak tahu, apa harus aku ngomongin ini ke kamu atau tidak? Hanya saja bila aku tidak memberitahumu sekarang, kemudian besok besok, kau malah mendengar dari orang lain maka kau akan mengatakan aku tak anggap kau sebagai saudara. Tapi kalau aku ngomong,