Ben duduk di ujung tempat tidur di hotel. Reaksi Tiara kemarin masih terbayang di matanya. Ia merasa bersalah telah menyakiti wanita yang telah setia menunggunya enam tahun dan sekarang sedang mengandung anaknya itu.‘Aku memang pengecut!’ Ben memaki dirinya sendiri, meremas-remas rambut dan menundukkan kepala hingga menyentuh lututnya.Sebuah tangan terulur mengelus bahunya.“It’s fine. At least we don’t have to lie to her anymore. -Tidak apa-apa. Setidaknya kita sudah tidak perlu membohonginya lagi.” Suara yang halus memasuki telinga Ben.“Tapi seharusnya tidak dengan cara seperti ini dia mengetahui tentang kita. Ini terlalu kejam untuknya.” Ben mengangkat kepala dan menggenggam tangan di bahunya itu, menuntunnya agar duduk di sebelahnya, lalu memeluknya.“Aku yang pengecut. I love you so much, I can’t lose you. -Aku sangat mencintaimu, aku tidak bisa kehilanganmu. Aku tidak ingin menyakitinya, tapi malah lebih membuat dia hancur.” Ben teringat malam terakhirnya di Amerika sebelum
Ketika Ben menyampaikan pada Tiara bahwa sahabatnya dari Amerika akan hadir di pernikahan mereka, Tiara langsung antusias.“Kita carikan dia jodoh orang Indonesia,” Tiara berkata penuh semangat. “Dia tidak akan suka,” Ben berkata ketus. Hatinya terbakar.“Oh ya sudah. Kenapa kamu harus marah?”“Aku tidak marah. Hanya berpikir, dia pasti kesal kalau kita menjodoh-jodohkannya, padahal niatnya datang hanya untuk menghadiri pernikahan kita.”Sepanjang pemberkatan pernikahan konsentrasi Ben terpecah, matanya sering melirik kursi dimana kekasihnya sedang duduk bersama dua sahabat Tiara. Bahkan ia merasa mual, merasa seharusnya yang berdiri di hadapannya bukanlah Tiara, melainkan sosok indah bermata hijau itu.Di malam pengantin, Ben galau, hatinya serasa diremas tangan tak kasat mata. Kekasihnya ada di sini. Setelah terpisah benua sekian bulan, saat ini dia ada di sini. Saat ini mereka dekat, tetapi ia tak bisa merengkuhnya, tak bisa mendaratkan ciuman di bibirnya, tak bisa…Ben menenggak
Bagaimana jika awan adalah kumpulan rindu yang menguap dari manusia-manusia yang tak berani mengungkapkannya. Tak sempat menyampaikannya.Saputan halus kerinduan yang terakumulasi menjadi cumulus tebal. Kala kadar rindu itu tak tertahan, itu tercurah menjadi hujan. Gerimis ketika itu hanya ingin membelai dengan lembut, membisikkan cinta yang tak bersambut, tak terkuak, tak terpaut. Badai dan guntur kala putus asa dan frustrasi melanda. Meneriakkan rindu demi mengosongkan sesak di dada.Langit yang terbelah menumpahkan air dahsyat yang tercurah saat ini, adalah rasa rindunya yang tak terperi, meneriakkan emosi pada bumi, agar terpantul pada telinga-telinga orang yang ditujunya. Sosok itu, yang telah menjungkirbalikkan dunianya, akhirnya muncul. Barangkali hujan telah meneriakkan rindunya. Dan sosok itu, sudah mendengarnya!
Karena Ben tidak menyanggah, dan tidak ada perlawanan, pengadilan tidak berusaha lagi mendamaikan, sehingga keputusan lebih cepat dari yang diperkirakan. Pernikahan mereka batal demi hukum tepat seminggu sebelum perut Tiara mulas karena waktu melahirkan tiba.Sementara menunggu putusan pengadilan, Tiara tetap tinggal di rumah mereka. Sepanjang dua bulan mereka berusaha tidak berpapasan agar tidak usah bicara.Di hari kelahiran, Tiara berangkat ke rumah sakit hanya ditemani Ruby. Alana sedang ke Bandung untuk temu pembaca dalam rangka promosi novel barunya. Tiara tidak memberitahu keluarganya, juga keluarga Ben.“Setelah melahirkan, aku akan pulang ke rumah Ibu. Barang-barangku, tolong dipaketkan saja.” Tiara berkata datar pada Ben, yang berdiri terpaku setelah niatnya untuk mengantar di
Seminggu kemudian, Mama memanggilnya. Ben yang belum siap menghadapinya dan belum menceritakan kondisi pernikahannya, terpaksa datang dengan hati berdebar.Di rumah, Mama sedang duduk menunggunya di ruang tamu. Di meja di depannya, ada kotak berisi kalung dan cincin tanda pengikat yang diberikannya pada Tiara dulu, dan cincin kawinnya.Rupanya, Tiara bertindak lebih cepat. Dia telah datang mengunjungi Mama, mengembalikan semua tanda pengikat dan pamit.Ben duduk menunduk di depan Mama, lidahnya kelu. Bahkan untuk menyapa dan mencium pipi Mama seperti biasa, ia telah merasa tak berhak.“Tiara tidak mengatakan apa-apa. Hanya mengembalikan ini semua. Kamu tahu Mama sangat sayang sama Tiara. Mengapa menjadi seperti ini? Kalian telah berhasil melewati hubungan jar
“Ada seminar gizi. Cara hidup sehat. Ikut yuk?” Alana langsung bicara begitu panggilan teleponnya tersambung.Lamunan pahit masa lalu Tiara seketika terputus.Memang seperti itulah gaya Alana. Sahabatnya yang agak tomboy itu bicaranya ceplas-ceplos, kadang bermulut pedas, sebelas dua belas dengan Ruby. Jika melihatnya, tidak ada yang mengira dia berprofesi sebagai penulis novel romantis.“Lebih cocok juga nulis genre thriller atau horor.” Begitu Ruby pernah berkata sambil mencibir.“Iya, kalau gua nulis cerita thriller, tokoh yang mati akan gua ambil dari karakter lo, gua akan gambarkan s
"Kursinya kosong, Bu?” Seseorang bertanya. Suaranya empuk dan menyenangkan di telinga.Tiara yang sedang menunduk melihat sepasang kaki dalam sneaker hijau army di depannya. Lalu ia mengangkat kepala.Seorang lelaki sedang menatapnya. Mengenakan kacamata berbingkai hitam. Tubuhnya menjulang, mungkin tingginya sekitar seratus delapan puluh lima, dibalut kaos putih leher kura-kura berlengan panjang yang digulung hingga ke siku, dipadukan celana jeans biru. Kulitnya agak kecoklatan, dengan rambut yang sudah dihiasi lembar-lembar keperakan.Lelaki itu tersenyum. Menunjuk kursi di sebelahnya. Tiara membalas senyumnya dan bergeser sedikit. Memberi jarak untuk lelaki itu duduk.Wa
Tiara mendengar suara gedebuk. Sepertinya dari arah kamar Bapak yang terletak tepat di sebelahnya. Ia langsung melompat dari tempat tidur dan segera berlari, dan mematung di ambang pintu. Bapak sedang terduduk di bawah tempat tidur, matanya terpejam.Hati Tiara seolah diremas, jantungnya berpacu, sehingga napasnya tersengal-sengal. ‘Ya Tuhan… jangan…’ suara batinnya terjeda ketika ia melihat dada Bapak naik turun, dan mata Bapak perlahan terbuka.Seketika Tiara memburu masuk sambil mengucapkan terima kasih berulang kali kepada Sang Mahakuasa. Ia mendekati Bapak, menopangnya untuk duduk kembali di tepi tempat tidur.“Bapak kenapa jatuh? Kalau merasa sesuatu, panggil Ara ya, Pak… kan kamar kita sebelahan.” Tiara hampir memeluk Bapak. Ia benar-benar ti