Seminggu kemudian, Mama memanggilnya. Ben yang belum siap menghadapinya dan belum menceritakan kondisi pernikahannya, terpaksa datang dengan hati berdebar.
Di rumah, Mama sedang duduk menunggunya di ruang tamu. Di meja di depannya, ada kotak berisi kalung dan cincin tanda pengikat yang diberikannya pada Tiara dulu, dan cincin kawinnya.
Rupanya, Tiara bertindak lebih cepat. Dia telah datang mengunjungi Mama, mengembalikan semua tanda pengikat dan pamit.
Ben duduk menunduk di depan Mama, lidahnya kelu. Bahkan untuk menyapa dan mencium pipi Mama seperti biasa, ia telah merasa tak berhak.
“Tiara tidak mengatakan apa-apa. Hanya mengembalikan ini semua. Kamu tahu Mama sangat sayang sama Tiara. Mengapa menjadi seperti ini? Kalian telah berhasil melewati hubungan jar
“Ada seminar gizi. Cara hidup sehat. Ikut yuk?” Alana langsung bicara begitu panggilan teleponnya tersambung.Lamunan pahit masa lalu Tiara seketika terputus.Memang seperti itulah gaya Alana. Sahabatnya yang agak tomboy itu bicaranya ceplas-ceplos, kadang bermulut pedas, sebelas dua belas dengan Ruby. Jika melihatnya, tidak ada yang mengira dia berprofesi sebagai penulis novel romantis.“Lebih cocok juga nulis genre thriller atau horor.” Begitu Ruby pernah berkata sambil mencibir.“Iya, kalau gua nulis cerita thriller, tokoh yang mati akan gua ambil dari karakter lo, gua akan gambarkan s
"Kursinya kosong, Bu?” Seseorang bertanya. Suaranya empuk dan menyenangkan di telinga.Tiara yang sedang menunduk melihat sepasang kaki dalam sneaker hijau army di depannya. Lalu ia mengangkat kepala.Seorang lelaki sedang menatapnya. Mengenakan kacamata berbingkai hitam. Tubuhnya menjulang, mungkin tingginya sekitar seratus delapan puluh lima, dibalut kaos putih leher kura-kura berlengan panjang yang digulung hingga ke siku, dipadukan celana jeans biru. Kulitnya agak kecoklatan, dengan rambut yang sudah dihiasi lembar-lembar keperakan.Lelaki itu tersenyum. Menunjuk kursi di sebelahnya. Tiara membalas senyumnya dan bergeser sedikit. Memberi jarak untuk lelaki itu duduk.Wa
Tiara mendengar suara gedebuk. Sepertinya dari arah kamar Bapak yang terletak tepat di sebelahnya. Ia langsung melompat dari tempat tidur dan segera berlari, dan mematung di ambang pintu. Bapak sedang terduduk di bawah tempat tidur, matanya terpejam.Hati Tiara seolah diremas, jantungnya berpacu, sehingga napasnya tersengal-sengal. ‘Ya Tuhan… jangan…’ suara batinnya terjeda ketika ia melihat dada Bapak naik turun, dan mata Bapak perlahan terbuka.Seketika Tiara memburu masuk sambil mengucapkan terima kasih berulang kali kepada Sang Mahakuasa. Ia mendekati Bapak, menopangnya untuk duduk kembali di tepi tempat tidur.“Bapak kenapa jatuh? Kalau merasa sesuatu, panggil Ara ya, Pak… kan kamar kita sebelahan.” Tiara hampir memeluk Bapak. Ia benar-benar ti
Tiara menyapa Tristan di Twitter.@makanpintar saya ikut seminar gizi tiga bulan lalu. Tanya menu diet boleh?Tentu boleh Ibu @tiaralarasati. Tapi dari foto profil, kelihatannya Ibu tidak perlu diet.@makanpintar ini untuk bapak saya, boleh DM?Tristan mem-follow balik akun Tiara dan menjawab lewat DM:Ibu bisa telepon atau WA saya juga. Ini nomornya 08xxx…Tidak sampai satu menit, ponsel Tristan langsung mengeluarkan suara notifikasi, tanda menerima sebuah pesan.[Panggil saya Tiara saja. A
Seperti yang telah disepakati, begitu Bapak boleh pulang, Tiara dan Agung menyampaikan rencana mereka kepada Bapak, untuk mengajaknya jalan-jalan ke Singapura."Kebetulan anak-anak sudah libur akhir tahun, Pak. Jadi kita bisa merayakan Natal dan menyambut Tahun Baru di sana," kata Tiara pada Bapak."Yah... Bapak ikut saja." Bapak mengangguk.Jadilah mereka berangkat semua. Kirana anak semata wayangnya, Agung dan istrinya Anna, beserta kedua anak laki-laki kembarnya yang baru berumur empat tahun, Elang dan Garuda. Betul-betul piknik satu keluarga besar.Ini piknik pertama sejak Ibu pergi. Tiara sempat merasa janggal. Merasa ada yang kurang. Jika ia saja merasa begini, pasti perasaan Bapak lebih parah. Namun, ia melihat Bapak tetap tersenyum. Setidaknya d
Natal sudah lewat, ini hari terakhir di tahun itu, nanti malam mereka akan menyambut kedatangan tahun yang baru dengan pesta kembang api. Mereka akan menyaksikan kembang api raksasa yang meledak di langit bagaikan air mancur cahaya berwarna-warni di Marina Bay, yang letaknya paling dekat dengan lokasi apartemen. Menutup foto itu, Tiara menghela napas dengan dada sesak, lalu berjalan ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kegiatan beberapa hari terakhir sungguh melelahkan. Semua orang masih tidur, Tiara tidak berniat membangunkan siapa pun. Nanti malam mereka akan bergadang untuk menyambut Tahun Baru.Hari ini ia akan menyiapkan sarapan sendiri, ia ingin membiarkan Anna membaringkan tubuh lebih lama. Mengurus si kembar yang sedang aktif-aktifnya benar-benar menguras tenaga, apalagi energi kedua bocah itu seolah tidak ada habisnya. Meskipun berbagi dengan Agung, ia tetap tampak kewalahan. Maklumlah, ini kesempatan pertama si kembar bermain di 'udara terbuka'. “Aku mau omelette,” begitu ke
[Hai. Aku belum say thank you karena kamu sudah mau diganggu soal gizi Bapak. Karena kamu gak mau dibayar, aku mau traktir kamu makan siang, kabari kapan ada waktu ya.]Tristan membaca pesan Tiara. Pesan yang berbeda dari yang biasanya hanya berisi tentang menu makanan dan berita tentang ayahnya.Sejak menghubunginya satu bulan yang lalu, Tiara sudah mengajak ayahnya jalan-jalan.[Untuk menghibur dan membuat hati Bapak senang, mengikuti saran dokter.] Begitu yang dia tulis waktu itu.Tristan tidak bertanya mengapa ayahnya harus dihibur dan dibuat senang hatinya, karena itu urusan pribadi. Tidak pada tempatnya jika ia terlalu terlihat ingin tahu. Toh, hubungan me
Mata Tristan menangkap sosok Tiara di pintu masuk. Dia menoleh ke kanan ke kiri, matanya mencari-cari. Tristan bangkit dari tempat duduk, hendak menghampirinya. Namun Tiara sudah melihatnya, jadi ia hanya melambai lalu kembali duduk.Tiara melangkah mendekati mejanya, dan mengempaskan tubuh di bangku di hadapannya. Tersenyum. Senyum yang menular karena ia jadi menarik bibirnya juga. Mereka berjabat tangan.“Hai apa kabar? Maaf, pagi-pagi ternyata sudah macet. Sudah pesan?”Tristan menggeleng. Menyodorkan menu yang sedari tadi ada di hadapannya.“Belum. Aku sudah tahu mau pesan apa. Ini kamu pilih aja.”Sementara Tiara menunduk membaca menu, Tristan memperhatikannya. Rambutnya yang hitam dibiarkan tergerai melewati bahu.