Tristan tahu Tantri telah mencurigainya, hanya saja istrinya itu tidak mendapatkan bukti yang cukup untuk langsung menuduhnya. Namun, telepon di malam ulang tahun Tiara itu adalah sebuah peringatan. Tantri memberinya syok terapi, untuk memberitahunya bahwa dia tahu.
Memang istrinya tidak menyerang atau bertindak agresif dengan mendatangi lalu memaki-maki. Dia bermain cantik, hanya menyalakan rasa bersalah di hati Tristan.
Tristan mulai membatasi mengirim pesan dan foto tanpa arti pada Tiara. Unggahan di sosial media pun dikurangi. Dan pesan-pesan pribadi yang ia terima, diserahkan pada admin untuk menjawabnya.
Meskipun demikian, kepalanya tetap dipenuhi Tiara. Setiap melihat makanan apapun, hampir secara otomatis tangannya mengeluarkan ponsel untuk memotret, sebelum kemudian tangannya menjadi kaku, lalu memasukkan k
Tiara menyeret kopernya masuk ke vaporetto, kapal besar yang menjadi alat transportasi utama di Venice. Semacam bus umum jika di darat.Ia sudah menyewa sebuah kamar dari seorang wanita berusia enam puluh lima bernama Marcia. Seorang profesor yang mengajar anak-anak yang kesulitan mengeja di Inglese Dinamico. Marcia hidup seorang diri di rumah dua lantai berkamar dua. Jadi dia menyewakan satu kamar pada pelancong-pelancong via sebuah situs penginapan.Waktu tepat menunjukkan jam dua belas siang, Marcia sedang mengajar, jadi Tiara harus mengambil kunci rumahnya ke kampus yang terletak di San
Tantri melihat suaminya benar-benar ‘terpenjara’ olehnya dua bulan ini. Di siang hari selalu pulang, dan jarang terlihat mengetik di ponsel. Tantri bernapas lega. Sepertinya upaya halusnya sukses.Namun, dua minggu kemudian, ia melihat suaminya tampak lebih pendiam. Ada kemuraman yang coba ditutupi. Hampir berhasil, sebab ketika memandangnya, suaminya memang masih tersenyum, tetapi Tantri bukan baru hidup satu dua tahun dengannya, dan ia menangkap mendung itu.Oleh karena itu, ketika suaminya mengatakan mendapat undangan seminar gizi di Italia sana, dan bermaksud melanjutkan program master satu tahun, ia langsung menyetujuinya.‘Lebih baik dia pergi jauh supaya kesempatannya benar-benar tertutup, tanpa aku berusaha menghalanginya.’ Begitu ia berpikir.
Tristan mengambil alih koper Tiara yang setinggi pinggangnya, membebaskan wanita itu hanya berjalan menenteng tas laptop dan tas selempangnya. Dengan panduan Google map dan petunjuk dari Marcia, mereka menemukan kampusnya tanpa kesulitan.Marcia ternyata bertubuh mungil, bahkan lebih pendek dari Tiara. Tingginya mungkin sekitar 150 cm. Ketika berjalan ke luar kelas menghampiri mereka, dia agak pincang.“Hai sweetheart,” Dia langsung memeluk Tiara dengan hangat. “Akhirnya kamu tiba juga. Tidak sulit kan menemukan kampus ini?”Tiara mengg
Bapak mencoret-coret di kertas. Tisu berlogo yang tadi digunakan untuk melapisi cangkir kertas berisi Cafe Latte panas pesanannya. Mereka sedang duduk menikmati sarapan di Starbucks. Jam sepuluh nanti Tiara ada meeting dengan beberapa pemasok. Sudah dua bulan ini Tiara selalu mengajak Bapak setiap ia pergi kerja di luar. Saat Tiara meeting nanti, Bapak akan menunggunya di kursi terpisah. Jika Tiara harus ke luar kota, giliran Agung adiknya yang bertugas mengajak Bapak. Ia tidak mau membiarkan Bapak di rumah seorang diri. Tiara memotong Spinach Quiche di atas piring di depannya, makanan yang selalu ia pesan setiap berkunjung ke sini. Mengoleskan sambal tipis-tipis, lalu mengunyahnya pelan tanpa suara. Melihat Bapak menulis, ia mengangkat cangkir berisi teh Camomile panas ke bibirnya. Panas air teh langsung mengusir rasa pedas di lidahnya. Cangkir teh itu hanya caranya agar tidak terlalu terlihat sedang mengintip apa yang sedang ditulis Bapak. Surat untuk Ibu. Lagi. Menulis surat a
alam itu, dengan terbata-bata Tiara menyampaikan kabar itu pada Agung, dan menugaskan Agung menyampaikan pada Bapak. Tiara tidak tega untuk mengabarkan pada Bapak, mulutnya pasti tidak bisa mengeluarkan suara, karena itu ia menyerahkan tugas berat itu kepada adiknya. Pagi itu juga, ia dan Agung langsung terbang ke Surabaya untuk menjemput jasad Ibu, dan membawanya ke Jakarta dengan pesawat charter. Setelah disemayamkan di rumah duka, Bapak baru dijemput datang untuk melihat Ibu terakhir kali, setelah dimandikan dan didandani.Ibu tampak seperti tidur, tidak ada yang menerima bahwa itu hanya jasmaninya, sedangkan rohaninya telah meninggalkan dunia. Di hari terakhir ketika upacara penutupan peti, sebuah peristiwa ganjil terjadi. Seekor kupu-kupu putih, benar-benar putih polos tanpa motif, tiba-tiba hinggap di ujung jari Bapak.Bapak tidak mengibaskan kupu-kupu itu, hanya menatapnya. Kupu-kupu itu hinggap beberapa menit, sebelum kemudian mengepakkan sayap dan terbang ke luar jendela.Tia
Jam istirahat sekolah,semua murid saling mendahului mengambil tempat agar bisa berdiri di pagar besidi luar kelas. Pemandangan dari situ sangat strategis. Bisa melihat kelantai-lantai lain. Bisa mengincar orang yang ditaksir. Melemparkan sinyal,berharap yang ditaksir menangkap sinyal itu. Jika pun tidak bersambut,setidaknya bisa mencuri pandang diam-diam. Gedung sekolah bercatbiru muda itu terdiri dari tiga lantai. Kelas-kelas diletakkan di lantai sesuaitingkatnya. Kelas satu SMA di lantai satu, kelas dua di lantai dua dan kelastiga di lantai tiga. Di lantai dasar adakantin. Lapangan basket terletak di tengah-tengah. Para murid laki-laki yangmencari perhatian murid perempuan akan bermain basket saat jam istirahat. Dansemua gadis akan berlomba berdiri di pagar besi agar bisa melihat dan terlihat olehincarannya.Tiara baru kelas satuSMA. Lelaki itu kelas tiga. Tiara tidak tahu namanya. Tidak berani mencaritahu. Tiara suka karena lelaki itu sangat cool. Mata dan rambut ke
“Hatimu sedang dipenuhi cinta, Nak.” Tiba-tiba Ibu berkata dengan pandangan penuh selidik. Mereka sedang menikmati teh dengan kue nastar yang dibuat Ibu tadi sore. “Aku tidak bisa menyembunyikannya dari Ibu ya?” Tiara tersipu, merasa dipergoki sedang tersenyum-senyum sendiri.Matanya yang indah berbinar. Mata bulat dengan bulu mata panjang dan lebat itu persis milik Bapak. Sekarang binarnya mencerminkan hatinya yang dipenuhi rasa bahagia. “Wajahmu bercahaya, matamu berbinar.” Ibu tersenyum, “Percayalah, tak ada yang membuat wajah seorang wanita lebih bercahaya daripada ketika ia bahagia. Tapi binar paling terang adalah saat hatinya dipenuhi cinta.”“Aku punya rahasia yang ingin aku bagi dengan Ibu dan Bapak. Tapi aku malu,” kata Tiara.“Mengapa harus malu? Jatuh cinta adalah proses dirimu menjadi dewasa.” Kata Ibu bijak, sementara Bapak hanya senyum-senyum sambil mengangguk. Tiara lalu berdiri dari kursi dapur, pergi ke kamarnya untuk mengambil surat yang sudah kusut karena dibaca b
Dengan izin Ibu, malamitu juga Tiara menulis surat balasan untuk Ben.HaiBen,Iya,aku bersedia.TiaRa,bukan TiaNa.Membaca kembali suratbalasan itu, Tiara terkikik. Jika Ibu punya cerita masa muda yang terus diulangtentang Bapak ganteng yang menaksirnya meskipun dia tidak terlalu cantik, Tiarapunya cerita ini yang akan dia ceritakan pada anaknya nanti.Hah, anak? Tiara menepuk dahinyasendiri. ‘Mikir jangan kejauhan!’ Dia membatin, lalu kembali terkikik.Dan begitulah, merekalangsung jadian. Karena Ben akan melanjutkan kuliah ke Amerika, waktukebersamaan mereka sangat sempit. Dalam dua minggu, Ben sudah membawa Tiaramenghadap orang tua dan adik perempuannya, Mimi. Meskipun keluarga kayaraya, papa mama Ben sangat ramah dan tidak sombong. Apalagi Mimi, yang sangatingin punya kakak perempuan, langsung menerimanya dengan hangat.Mereka bertemu setiaphari, Ben mengantar Tiara pulang sekolah dengan mobilnya setiap hari. Meskipunawalnya Tiara merasa berkhianat pada dua sahaba