Share

Belahan Jiwa
Belahan Jiwa
Penulis: Dela Tan

1. Belahan Jiwa (1)

Bapak mencoret-coret di kertas. Tisu berlogo yang tadi digunakan untuk melapisi cangkir kertas berisi Cafe Latte panas pesanannya. Mereka sedang duduk menikmati sarapan di Starbucks. Jam sepuluh nanti Tiara ada meeting dengan beberapa pemasok. 

Sudah dua bulan ini Tiara selalu mengajak Bapak setiap ia pergi kerja di luar. Saat Tiara meeting nanti, Bapak akan menunggunya di kursi terpisah. Jika Tiara harus ke luar kota, giliran Agung adiknya yang bertugas mengajak Bapak. Ia tidak mau membiarkan Bapak di rumah seorang diri. 

Tiara memotong Spinach Quiche di atas piring di depannya, makanan yang selalu ia pesan setiap berkunjung ke sini. Mengoleskan sambal tipis-tipis, lalu mengunyahnya pelan tanpa suara. 

Melihat Bapak menulis, ia mengangkat cangkir berisi teh Camomile panas ke bibirnya. Panas air teh langsung mengusir rasa pedas di lidahnya. Cangkir teh itu hanya caranya agar tidak terlalu terlihat sedang mengintip apa yang sedang ditulis Bapak.  

Surat untuk Ibu. Lagi. 

Menulis surat adalah ritual Bapak yang dilakukannya tiap hari, sejak Ibu pergi mendadak setahun lalu. Di kertas tisu itu, Bapak menulis:

Atik…

Hari ini aku ikut Ara jalan. Ada meeting dengan pemasok katanya.

Sekarang ngopi dulu di Starbucks, tadi pagi berangkat dari rumah terburu-buru, tidak sempat sarapan.

Doakan semua lancar buat Ara. 

Aku tahu kamu melihat kami semua dari sana.

Kami baik-baik saja. Anak-anak baik-baik saja.

Kamu tidak usah khawatir…

Bapak melipat kertas itu. Memasukkannya ke dalam kantong kemejanya. Lalu memandang ke luar jendela. Tiara buru-buru mengalihkan pandang. 

Setiap kali melihat Bapak menulis, hatinya selalu mencelos. Yang ditulis Bapak bukan surat cinta mendayu-dayu. Atau surat protes mengapa Ibu meninggalkannya begitu saja tanpa ucapan perpisahan. Namun, Tiara bisa melihat, betapa dalam kerinduan Bapak pada Ibu. Teramat dalam. 

Dulu, ke mana-mana mereka selalu berdua. Masih selalu bergandengan tangan meski sudah sama-sama keriput. Tak terpisahkan. Sampai maut membentangkan jurang, merenggut Ibu dengan cara yang paling menyakitkan. Tanpa pesan. Tanpa pamit. Tanpa tanda-tanda. Mendadak. Menyentak.

Waktu itu Ibu ikut Tiara meeting ke Surabaya. Katanya sudah lama tidak bertemu kerabat dan saudara. Kebetulan salah satu sepupu Ibu dari Kalimantan sedang berkunjung ke rumah anaknya di Surabaya. 

“Sudah puluhan tahun kami tidak bertemu. Jadi akan diadakan reuni kecil mengenang masa muda,” katanya. “Ibu ingin tinggal seminggu, tidak akan ikut Ara pulang ke Jakarta malam itu juga. Ibu bisa pulang sendiri. Nanti biar Paman Adi yang mengantar ke bandara.” 

Tiara mengizinkan. Membelikan tiket pesawat di tanggal berbeda untuk Ibu pulang. Tiara tidak punya firasat apa-apa. Ibu terlihat bahagia, semringah, segar-bugar.

Suara ponsel yang berdering-dering tanpa henti membuat Tiara menggerutu. Ia membuka mata dengan malas, meraba-raba di tengah gelap. Layar ponselnya menunjukkan waktu. Jam setengah dua pagi! 

Siapa yang menelepon di tengah malam buta! Ia mengumpat, memicingkan mata karena silau oleh cahaya di layar ponsel, melihat nomor yang tertera di layar. Dari Ibu!

Tiara langsung terduduk. Rasa malas dan kantuknya menguap seketika. Degup jantungnya mengencang. Ada apa Ibu meneleponnya di jam yang tidak umum begini? Tiara mengerutkan kening. 

“Selamat malam. Betul ini dengan Ibu Tiara?” Suara seorang laki-laki memasuki telinganya begitu ia menjawab halo.

“Betul. Bapak siapa? Kenapa ponsel ibu saya ada di Bapak?” Tiara mengernyit bingung. Mencoba berpikir jernih, Tiara menduga mungkin ponsel Ibu hilang dan Bapak penelepon itu menemukannya. Tapi apakah harus menelepon di waktu yang ganjil seperti ini?

“Maaf... maaf menelepon malam-malam, Bu. Saya Ario, petugas bandara Juanda Surabaya.” Suaranya terdengar ragu, “Nomor Ibu Tiara ada di daftar nomor telepon darurat, jadi saya menghubungi Ibu.”

“Nomor darurat? Di mana ibu saya sekarang? Apa yang terjadi?” Suara Tiara meninggi karena cemas, hatinya tiba-tiba seolah diremas kencang. Ia menggenggam ponsel lebih erat, keringat mulai membasahi telapak tangannya.

“Mohon maaf, Bu. Kuatkan diri Ibu. Ibu Anda... Ibu Anda meninggal di kursi tunggu di ruang boarding tadi sore...” Suara petugas bandara itu simpatik dan pelan, namun Tiara seolah mendengar suara langit pecah karena gelegar guntur.

“Gak mungkin… gak mungkin!!” Dari bisikan menjelma teriakan, bergantian terlompat dari bibirnya. Kemarin siang Ibu masih mengirimkan foto-foto. Ia sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatnya ketika muda. Tertawa lebar di tengah adik, kakak dan para sepupunya. 

[Ibu masak banyak, semua saudara berkumpul di sini.] Tulis Ibu di aplikasi pesan kemarin.

Momen yang tidak biasa karena sepertinya Ibu mengumpulkan semua orang yang dikenalnya di Surabaya, padahal tidak ada peristiwa penting apa-apa. Sekarang Tiara paham, rupanya Ibu sedang berpamitan. 

“Bu… Ibu Tiara… masih di sana?” Suara di seberang membawanya kembali ke kenyataan. Tiara merasa suara itu mengiris hatinya pelan-pelan.

“Ya Pak, saya masih di sini...” Tiara tidak mengenali suaranya sendiri, itu sangat serak dan basah dengan tangis tertahan.

“Tenangkan diri Ibu. Kami sudah membawa ibu Anda ke rumah sakit terdekat. Segala prosedur baru selesai sekitar jam sepuluh malam tadi, dan kami kesulitan mencoba mencari nomor kontak keluarga, karena itu baru bisa menelepon di waktu ini. Sekarang ibu Anda disemayamkan di ruang mayat rumah sakit dekat bandara. Saya akan kirimkan alamatnya. Mohon Ibu bisa segera terbang ke Surabaya untuk menjemput jenazah.”

Ucapan petugas bandara itu terdengar asing dan mengerikan di telinganya. Kamar mayat… jenazah… 

Tubuh Tiara merosot dari tempat tidur,  Tiara terduduk di lantai. Tanpa disadari, pipinya telah basah oleh air mata. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status