Share

3. Kesalahan Manis

Jam istirahat sekolah, semua murid saling mendahului mengambil tempat agar bisa berdiri di pagar besi di luar kelas. Pemandangan dari situ sangat strategis. Bisa melihat ke lantai-lantai lain. Bisa mengincar orang yang ditaksir. Melemparkan sinyal, berharap yang ditaksir menangkap sinyal itu. Jika pun tidak bersambut, setidaknya bisa mencuri pandang diam-diam. 

Gedung sekolah bercat biru muda itu terdiri dari tiga lantai. Kelas-kelas diletakkan di lantai sesuai tingkatnya. Kelas satu SMA di lantai satu, kelas dua di lantai dua dan kelas tiga di lantai tiga. 

Di lantai dasar ada kantin. Lapangan basket terletak di tengah-tengah. Para murid laki-laki yang mencari perhatian murid perempuan akan bermain basket saat jam istirahat. Dan semua gadis akan berlomba berdiri di pagar besi agar bisa melihat dan terlihat oleh incarannya.

Tiara baru kelas satu SMA. Lelaki itu kelas tiga. Tiara tidak tahu namanya. Tidak berani mencari tahu. Tiara suka karena lelaki itu sangat cool. Mata dan rambut kecoklatan, bibir tipis yang tampak selalu tersenyum. Ia bintang basket sekolah. 

Beberapa kali mereka berpapasan di tangga menuju kantin. Tiara selalu merasa jantungnya berdebar lebih keras, sampai ia khawatir lelaki itu mendengarnya. Tapi lelaki itu selalu lewat begitu saja. Tidak memedulikannya. Merambatkan rasa kecewa di hatinya.

‘Bagaimana caranya agar kamu melihatku?’ bisik Tiara dalam hati. Sadar ia bukan murid populer. 

Namun…

Akhir-akhir ini pandang mereka selalu bertemu. Setidaknya menurut perasaan Tiara. Lalu sebuah keyakinan hadir. Atau sebuah harapan? Entahlah. Kadang sebuah keyakinan dan harapan menjadi bias. Terutama ketika harap itu telah terakumulasi sekian waktu.

Siang ini panas sekali. Bel tanda jam istirahat telah berdentang-dentang lima menit yang lalu. Seluruh murid langsung berhamburan. Pagar di luar langsung penuh. Tiara memutuskan duduk di kelas saja, malas berhimpitan demi satu celah di pagar. Meskipun itu berarti ia melewatkan waktu melihat lelaki itu. Beradu pandang ‘tanpa sengaja’ dengannya.

Seorang murid laki-laki memasuki kelas, mengedarkan pandangan. Lehernya dipanjang-panjangkan. Jelas ia sedang mencari seseorang. Tiara mengenalinya sebagai anak kelas tiga. Sahabat lelaki itu. Ia sering melihat mereka berjalan bersama, tertawa-tawa. Mereka sama-sama pemain basket.  Ada sebuah amplop di tangannya. Hati Tiara mulai berdebar-debar.

Mata murid laki-laki itu berhenti mencari. Ia tersenyum pada seorang murid perempuan yang juga hanya berdiam di dalam kelas. Ia menghampirinya, lalu menyerahkan surat itu.

“Dari Ben.” Katanya, “Balas ya…”  Murid itu berlalu. Meninggalkan murid perempuan yang memegang amplop di tangannya itu terbengong-bengong. 

Nama gadis itu, Tiana. 

‘Jadi, nama lelaki itu Ben.’ Tiara membatin.

Tiara yakin surat Ben itu untuknya. Pasti murid laki-laki itu salah nama. Pasti. Tapi, bagaimana cara agar Tiana mau menyerahkan surat itu padanya?

‘Ah, mungkin aku yang salah. Mungkin memang Ben menyukai Tiana, bukan aku.’ Tiara menghibur diri, menepis kecewa yang merambati hatinya.

Sejak hari itu, Tiara tak pernah lagi berdiri di pagar. Menghindari memandang Ben adalah suatu cara melupakannya, menghilangkan kecewanya.

Satu minggu berlalu. Ia tidak mendengar atau melihat apapun lagi. Tiana juga terlihat biasa-biasa saja. Tidak bahagiakah ia disurati Ben?

Siang itu, Tiara benar-benar kelaparan. Tadi ia tak sempat sarapan karena kesiangan bangun. Sekarang perutnya keroncongan. Tiara melangkah menuju kantin yang terletak di lantai dasar, di belakang lapangan basket. 

Ia menuruni tangga perlahan. Sebuah sosok melewatinya cepat. Turun melompati tangga dua-dua. Ben. 

Hampir terjatuh karena kaget, diam-diam Tiara mengusir sedih karena Ben melewatinya begitu saja. Jadi benar, yang disukainya adalah Tiana... Ia hampir membatalkan niatnya untuk turun ke kantin. Lebih baik ia kembali saja ke kelas.

Tiba-tiba, Ben berbalik. Menatapnya.

“Mana balasan suratku?” Ia menengadahkan tangan.

“Ha?” Tiara menatapnya bingung. Mata mereka terpaku dan aliran listrik bepercikan. “Surat… surat apa?” 

“Kamu… nama kamu Tiana, bukan?” Ben tak kalah bingung.

Seketika Tiara ingin melompat-lompat. Betul, ternyata surat itu untukku! Untukku! Hatinya bersorak-sorak. Ia ingin memeluk Ben. Tapi tentu saja ia tidak berani.

“Bukan. Aku Tiara.”

“Oh… Aduh, mati deh gue!” Ben pucat, menepuk jidat, memutar-mutar tubuh di tangga itu. Turun, lalu naik lagi. Tawa Tiara hampir pecah.

“Kamu ambil ya… ya… Ambil dari dia. Itu surat buat kamu! Bukan buat Tiana! Aku pikir namamu Tiana.” Ben berbalik, menuruni satu anak tangga, lalu naik lagi.  

“Pokoknya, aku tunggu balasan suratmu ya.” Ben berlari menjauh. 

Tiara sempat melihat wajahnya bersemu dadu. Warna dadu yang tiba-tiba menyelimuti area sekitar tangga itu. Warna dadu yang juga menyelimuti hatinya.

Esok harinya, Tiara menghampiri Tiana di jam istirahat. “Hai Na. Kamu terima surat dari Ben kan minggu lalu?”

Tiana mengangguk. “Iya, dia minta balasan ya? Tapi aku bingung, jadi belum kubalas.”

“Umm… sebetulnya… sebenarnya, surat itu buat aku.”

“Oh?” Tiana tampak terkejut.

Awalnya, Tiara khawatir membuat Tiana sedih atau kecewa. Syukurlah yang ia lihat adalah raut lega. 

“Makanya… Aku bingung. Kok bisaaa...” Tiana mengembuskan napas, lalu tertawa.

“Besok aku kasihin ke kamu, ya. Aku tinggalin di rumah soalnya.” Tiara mengangguk.

Besoknya, surat Ben sudah ada dalam genggamannya. Surat yang telah terbuka. Tiara tak peduli Tiana sudah membacanya. Dibukanya lipatan kertas yang disobek dari buku tulis itu. Tulisan Ben kecil-kecil dan miring ke kanan. Hanya ada beberapa baris kalimat.

Hai Tiana,

Sepertinya kita harus berhenti saling mencuri lihat.

Kamu mau kan kalau kita jadian?

Balas ya...

Ben.

Tiara tergelak. Pantas Tiana bingung. Pasti pikirnya kapan mereka saling mencuri lihat. 

Sepanjang hari itu, Tiara tak henti tersenyum. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status