Share

2. Belahan Jiwa (2)

alam itu, dengan terbata-bata Tiara menyampaikan kabar itu pada Agung, dan menugaskan Agung menyampaikan pada Bapak. Tiara tidak tega untuk mengabarkan pada Bapak, mulutnya pasti tidak bisa mengeluarkan suara, karena itu ia menyerahkan tugas berat itu kepada adiknya. 

Pagi itu juga, ia dan Agung langsung terbang ke Surabaya untuk menjemput jasad Ibu, dan membawanya ke Jakarta dengan pesawat charter. Setelah disemayamkan di rumah duka, Bapak baru dijemput datang untuk melihat Ibu terakhir kali, setelah dimandikan dan didandani.

Ibu tampak seperti tidur, tidak ada yang menerima bahwa itu hanya jasmaninya, sedangkan rohaninya telah meninggalkan dunia. Di hari terakhir ketika upacara penutupan peti, sebuah peristiwa ganjil terjadi. Seekor kupu-kupu putih, benar-benar putih polos tanpa motif, tiba-tiba hinggap di ujung jari Bapak.

Bapak tidak mengibaskan kupu-kupu itu, hanya menatapnya. Kupu-kupu itu hinggap beberapa menit, sebelum kemudian mengepakkan sayap dan terbang ke luar jendela.

Tiara tidak ingin terjebak pada takhayul, dan menganggap bahwa kupu-kupu itu jelmaan roh Ibu. Namun semua yang hadir tampak terpana, kemudian beberapa suara isakan terdengar dari antara para tamu.

Bapak tampak tegar. Tiara tahu betapa kuat usahanya untuk tampak kuat, tidak terlihat sedih di hadapan anak-anak, bibirnya tetap tersenyum, menyambut para pelayat yang datang menghiburnya, meskipun matanya merebak dengan genangan air yang ditahan agar tidak mengalir. 

Menyaksikan itu, hati Tiara bagai digodam palu berduri. Tiara tahu, sebenarnya hati Bapak hancur luluh. Lantak bagai agar-agar tumpah ke lantai. Bagaimana tidak, Ibu pergi tanpa kata terakhir. Tak satu pun kata perpisahan untuk Bapak, untuknya, untuk Agung. 

'Mengapa Ibu harus pergi dengan cara tragis? Terduduk sendiri di ruang boarding. Cara macam apa itu, Tuhan? Dan Ibu sedang sehat-sehatnya! Dia sedang bahagia!’

Betapapun keras usahanya untuk mengerti, Tiara tetap tak akan pernah paham. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya pada Tuhan tetap tak terjawab. 

Sejak hari itu, Bapak punya kebiasaan baru. Menulis surat. Setiap pagi. Setiap hari. Di manapun. Kapanpun. Di secarik kertas. Di selembar tisu. Surat-surat yang tak terkirim. Tak tersampaikan. Surat-surat yang kemudian dia kantongi. Disimpan di lemari.

Mungkin Bapak bingung bagaimana mengirimkannya. Mungkin ia kumpulkan untuk dibawa ketika tiba saatnya ia bertemu Ibu lagi. Isi suratnya sederhana. Hanya berkabar tentang kegiatannya. Tak ada yang istimewa. Tapi justru dalam kesederhanaan itu, ada cinta yang luar biasa.

Sehari setelah Ibu dikuburkan, Tiara bangkit dari tempat tidur. Langkahnya masih terasa melayang, ia belum sepenuhnya percaya Ibu sudah tidak ada. Memasuki dapur, ia bermaksud memanaskan air untuk menyeduh teh, hanya demi mendapati ketel air ternyata sudah terisi air panas. Ada yang mendahuluinya.

Tiara mengambil cangkir di lemari, membuka laci untuk mengambil sendok. Matanya menangkap secarik kertas terlipat di samping toples gula. Ditariknya kertas itu. Ia melihat tulisan Bapak. Surat untuk Ibu.

Atik,

Pagi ini aku duduk lama di dapur, menunggumu membuatkan kopi.

Aku lupa kalau kamu sudah tidak ada.

Lalu aku bikin kopi sendiri. Aku harus membiasakan diri sekarang.

Tiara tersedu-sedu.

Melihat cinta Bapak pada Ibu, Tiara yakin belahan jiwa itu ada. Soulmate bukan hanya konsep. Cinta sejati itu nyata. Bukan khayalan. Bapak adalah contoh nyata.

Bapak yang makin kurus meski makannya banyak. Bapak yang pendar matanya kian pudar. Kosong. Bahkan setelah satu tahun sejak Ibu pergi. Hanya raga Bapak yang hadir. Separuh jiwanya telah pergi bersama Ibu. Sepertinya, hari demi hari ia hanya menanti-nanti kapan kekasih hatinya menjemputnya pergi. 

Tiara ingin dicintai sedalam itu. Sedalam cinta Bapak pada Ibu. Sayang, di usianya yang ketiga puluh empat, ia belum menemukan cinta sejati itu. 

Ia pernah jatuh cinta. Pada orang yang salah.

Orang yang dia anggap sempurna. Lelaki yang ia pandang tanpa kekurangan. Lelaki yang pada akhirnya justru membuatnya menjadi seorang ibu tunggal tanpa suami, bahkan tanpa status menikah. 

Ia pernah merasa beruntung memiliki lelaki itu. Lelaki yang dari antara sekian gadis yang lebih cantik, lebih seksi, lebih menonjol darinya, justru memilihnya. Sehingga ia merasa sangat diberkati, melambung ke awan. 

Lelaki itu jua yang menghempaskannya pada kenyataan kejam. Sehingga ia tidak ingin lagi mengingatnya, ingin melupakannya, mencoretnya dari sejarah hidupnya, menganggapnya tidak pernah ada. 

Namun, buah hati yang hadir, seorang gadis kecil yang saat ini mulai beranjak remaja, yang memiliki cetakan wajahnya tetapi mata ayahnya, membuat Tiara tidak bisa menghapus jejak lelaki itu sepenuhnya. 

Setiap kali menatap mata gadis kecilnya, Tiara seolah kembali pada rasa nyeri yang belum juga hilang. Bahkan setelah lebih dari sepuluh tahun berlalu. Pada akhirnya, ia harus mengakui bahwa seseorang itu pernah ada. Harus mengakui bahwa takdir memang telah mempermainkannya. 

Ingatannya melayang, pada saat semuanya bermula. Masa di zaman SMA.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status