alam itu, dengan terbata-bata Tiara menyampaikan kabar itu pada Agung, dan menugaskan Agung menyampaikan pada Bapak. Tiara tidak tega untuk mengabarkan pada Bapak, mulutnya pasti tidak bisa mengeluarkan suara, karena itu ia menyerahkan tugas berat itu kepada adiknya.
Pagi itu juga, ia dan Agung langsung terbang ke Surabaya untuk menjemput jasad Ibu, dan membawanya ke Jakarta dengan pesawat charter. Setelah disemayamkan di rumah duka, Bapak baru dijemput datang untuk melihat Ibu terakhir kali, setelah dimandikan dan didandani.
Ibu tampak seperti tidur, tidak ada yang menerima bahwa itu hanya jasmaninya, sedangkan rohaninya telah meninggalkan dunia. Di hari terakhir ketika upacara penutupan peti, sebuah peristiwa ganjil terjadi. Seekor kupu-kupu putih, benar-benar putih polos tanpa motif, tiba-tiba hinggap di ujung jari Bapak.
Bapak tidak mengibaskan kupu-kupu itu, hanya menatapnya. Kupu-kupu itu hinggap beberapa menit, sebelum kemudian mengepakkan sayap dan terbang ke luar jendela.
Tiara tidak ingin terjebak pada takhayul, dan menganggap bahwa kupu-kupu itu jelmaan roh Ibu. Namun semua yang hadir tampak terpana, kemudian beberapa suara isakan terdengar dari antara para tamu.
Bapak tampak tegar. Tiara tahu betapa kuat usahanya untuk tampak kuat, tidak terlihat sedih di hadapan anak-anak, bibirnya tetap tersenyum, menyambut para pelayat yang datang menghiburnya, meskipun matanya merebak dengan genangan air yang ditahan agar tidak mengalir.
Menyaksikan itu, hati Tiara bagai digodam palu berduri. Tiara tahu, sebenarnya hati Bapak hancur luluh. Lantak bagai agar-agar tumpah ke lantai. Bagaimana tidak, Ibu pergi tanpa kata terakhir. Tak satu pun kata perpisahan untuk Bapak, untuknya, untuk Agung.
'Mengapa Ibu harus pergi dengan cara tragis? Terduduk sendiri di ruang boarding. Cara macam apa itu, Tuhan? Dan Ibu sedang sehat-sehatnya! Dia sedang bahagia!’
Betapapun keras usahanya untuk mengerti, Tiara tetap tak akan pernah paham. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya pada Tuhan tetap tak terjawab.
Sejak hari itu, Bapak punya kebiasaan baru. Menulis surat. Setiap pagi. Setiap hari. Di manapun. Kapanpun. Di secarik kertas. Di selembar tisu. Surat-surat yang tak terkirim. Tak tersampaikan. Surat-surat yang kemudian dia kantongi. Disimpan di lemari.
Mungkin Bapak bingung bagaimana mengirimkannya. Mungkin ia kumpulkan untuk dibawa ketika tiba saatnya ia bertemu Ibu lagi. Isi suratnya sederhana. Hanya berkabar tentang kegiatannya. Tak ada yang istimewa. Tapi justru dalam kesederhanaan itu, ada cinta yang luar biasa.
Sehari setelah Ibu dikuburkan, Tiara bangkit dari tempat tidur. Langkahnya masih terasa melayang, ia belum sepenuhnya percaya Ibu sudah tidak ada. Memasuki dapur, ia bermaksud memanaskan air untuk menyeduh teh, hanya demi mendapati ketel air ternyata sudah terisi air panas. Ada yang mendahuluinya.
Tiara mengambil cangkir di lemari, membuka laci untuk mengambil sendok. Matanya menangkap secarik kertas terlipat di samping toples gula. Ditariknya kertas itu. Ia melihat tulisan Bapak. Surat untuk Ibu.
Atik,
Pagi ini aku duduk lama di dapur, menunggumu membuatkan kopi.
Aku lupa kalau kamu sudah tidak ada.
Lalu aku bikin kopi sendiri. Aku harus membiasakan diri sekarang.
Tiara tersedu-sedu.
Melihat cinta Bapak pada Ibu, Tiara yakin belahan jiwa itu ada. Soulmate bukan hanya konsep. Cinta sejati itu nyata. Bukan khayalan. Bapak adalah contoh nyata.
Bapak yang makin kurus meski makannya banyak. Bapak yang pendar matanya kian pudar. Kosong. Bahkan setelah satu tahun sejak Ibu pergi. Hanya raga Bapak yang hadir. Separuh jiwanya telah pergi bersama Ibu. Sepertinya, hari demi hari ia hanya menanti-nanti kapan kekasih hatinya menjemputnya pergi.
Tiara ingin dicintai sedalam itu. Sedalam cinta Bapak pada Ibu. Sayang, di usianya yang ketiga puluh empat, ia belum menemukan cinta sejati itu.
Ia pernah jatuh cinta. Pada orang yang salah.
Orang yang dia anggap sempurna. Lelaki yang ia pandang tanpa kekurangan. Lelaki yang pada akhirnya justru membuatnya menjadi seorang ibu tunggal tanpa suami, bahkan tanpa status menikah.
Ia pernah merasa beruntung memiliki lelaki itu. Lelaki yang dari antara sekian gadis yang lebih cantik, lebih seksi, lebih menonjol darinya, justru memilihnya. Sehingga ia merasa sangat diberkati, melambung ke awan.
Lelaki itu jua yang menghempaskannya pada kenyataan kejam. Sehingga ia tidak ingin lagi mengingatnya, ingin melupakannya, mencoretnya dari sejarah hidupnya, menganggapnya tidak pernah ada.
Namun, buah hati yang hadir, seorang gadis kecil yang saat ini mulai beranjak remaja, yang memiliki cetakan wajahnya tetapi mata ayahnya, membuat Tiara tidak bisa menghapus jejak lelaki itu sepenuhnya.
Setiap kali menatap mata gadis kecilnya, Tiara seolah kembali pada rasa nyeri yang belum juga hilang. Bahkan setelah lebih dari sepuluh tahun berlalu. Pada akhirnya, ia harus mengakui bahwa seseorang itu pernah ada. Harus mengakui bahwa takdir memang telah mempermainkannya.
Ingatannya melayang, pada saat semuanya bermula. Masa di zaman SMA.
Jam istirahat sekolah,semua murid saling mendahului mengambil tempat agar bisa berdiri di pagar besidi luar kelas. Pemandangan dari situ sangat strategis. Bisa melihat kelantai-lantai lain. Bisa mengincar orang yang ditaksir. Melemparkan sinyal,berharap yang ditaksir menangkap sinyal itu. Jika pun tidak bersambut,setidaknya bisa mencuri pandang diam-diam. Gedung sekolah bercatbiru muda itu terdiri dari tiga lantai. Kelas-kelas diletakkan di lantai sesuaitingkatnya. Kelas satu SMA di lantai satu, kelas dua di lantai dua dan kelastiga di lantai tiga. Di lantai dasar adakantin. Lapangan basket terletak di tengah-tengah. Para murid laki-laki yangmencari perhatian murid perempuan akan bermain basket saat jam istirahat. Dansemua gadis akan berlomba berdiri di pagar besi agar bisa melihat dan terlihat olehincarannya.Tiara baru kelas satuSMA. Lelaki itu kelas tiga. Tiara tidak tahu namanya. Tidak berani mencaritahu. Tiara suka karena lelaki itu sangat cool. Mata dan rambut ke
“Hatimu sedang dipenuhi cinta, Nak.” Tiba-tiba Ibu berkata dengan pandangan penuh selidik. Mereka sedang menikmati teh dengan kue nastar yang dibuat Ibu tadi sore. “Aku tidak bisa menyembunyikannya dari Ibu ya?” Tiara tersipu, merasa dipergoki sedang tersenyum-senyum sendiri.Matanya yang indah berbinar. Mata bulat dengan bulu mata panjang dan lebat itu persis milik Bapak. Sekarang binarnya mencerminkan hatinya yang dipenuhi rasa bahagia. “Wajahmu bercahaya, matamu berbinar.” Ibu tersenyum, “Percayalah, tak ada yang membuat wajah seorang wanita lebih bercahaya daripada ketika ia bahagia. Tapi binar paling terang adalah saat hatinya dipenuhi cinta.”“Aku punya rahasia yang ingin aku bagi dengan Ibu dan Bapak. Tapi aku malu,” kata Tiara.“Mengapa harus malu? Jatuh cinta adalah proses dirimu menjadi dewasa.” Kata Ibu bijak, sementara Bapak hanya senyum-senyum sambil mengangguk. Tiara lalu berdiri dari kursi dapur, pergi ke kamarnya untuk mengambil surat yang sudah kusut karena dibaca b
Dengan izin Ibu, malamitu juga Tiara menulis surat balasan untuk Ben.HaiBen,Iya,aku bersedia.TiaRa,bukan TiaNa.Membaca kembali suratbalasan itu, Tiara terkikik. Jika Ibu punya cerita masa muda yang terus diulangtentang Bapak ganteng yang menaksirnya meskipun dia tidak terlalu cantik, Tiarapunya cerita ini yang akan dia ceritakan pada anaknya nanti.Hah, anak? Tiara menepuk dahinyasendiri. ‘Mikir jangan kejauhan!’ Dia membatin, lalu kembali terkikik.Dan begitulah, merekalangsung jadian. Karena Ben akan melanjutkan kuliah ke Amerika, waktukebersamaan mereka sangat sempit. Dalam dua minggu, Ben sudah membawa Tiaramenghadap orang tua dan adik perempuannya, Mimi. Meskipun keluarga kayaraya, papa mama Ben sangat ramah dan tidak sombong. Apalagi Mimi, yang sangatingin punya kakak perempuan, langsung menerimanya dengan hangat.Mereka bertemu setiaphari, Ben mengantar Tiara pulang sekolah dengan mobilnya setiap hari. Meskipunawalnya Tiara merasa berkhianat pada dua sahaba
Pernikahan Ben dan Tiaradiadakan di tepi pantai. Kain sifon hijau pupus dan tule putih melambai-lambai.Bangku-bangku kayu putih diikat pita raksasa berwarna hijau pupus berderet dikedua sisi. Di tengahnya, jalanmenuju altar digelari karpet dari rumput buatan, ditaburi kelopak mawar putih.Lilin-lilin dalam gelas dinyalakan di sepanjangnya. Angin semilir menebarkansemerbak mawar putih dan harum bunga lily. Dua bunga kesukaan Tiara. Yang hadir tidak banyak,karena Tiara dan Ben hanya ingin mengundang teman-teman yang benar-benar merekakenal, dan kerabat dekat. Orang tua Ben tidak keberatan, meskipun merekapengusaha, tidak mendesak untuk mengundang seluruh relasi yang jumlahnya tidakmain-main, tetapi tidak dikenal pengantin.Tiara berjalanmenghampiri altar, lengannya dikaitkan di lengan Bapak. Rambutnya disanggultinggi dililit mutiara. Gaun putih model kemben dari bahan brokat membungkusketat tubuhnya. Membuat lekuknya tampak nyata. Ia tidak terlalu tinggi,hanya setinggi r
“Besok sahabatku di Harvard akan berkunjung. Kamu ingat dia? Dulu ketika kita menikah, dia juga hadir.” Suara Ben bersemangat. Sudah lama Tiara tak mendengarnya seantusias ini. “Tentu saja aku ingat.” Tiara bahkan lebih antusias. Ia senang Ben dikunjungi sahabatnya. Ben tampak tertekan akhir-akhir ini, mungkin karena kelanjutan studinya harus ditunda, lantaran ia telanjur hamil. Ben memang bersedia menunda satu tahun hingga Tiara melahirkan. Kegiatannya sehari-hari hanya belajar agar lebih siap melanjutkan studi nanti, juga membantu ayahnya di pabrik tekstil.Tiara mengelus perutnya. Ia langsung hamil, padahal hanya melakukannya satu kali di malam pengantin. Mungkin karena hari itu ia dalam masa subur.Sekarang, tanpa terasa kehamilannya sudah memasuki usia enam bulan. Tiga bulan lagi anaknya akan lahir ke dunia. Ia menanti-nanti seperti apa wajah bayi perpaduan parasnya dan Ben nanti.Ia berharap bayinya perempuan, dengan kulit Ben yang bersih dan bibir tipisnya. Hidung kecil dan m
Tiara turun dari mobil Agung, diikuti bik Amah. Rumahnya gelap. Hanya lampu taman yang menyala. Ia heran. Jika Ben belum pulang, siapa yang menyalakan lampu taman. Ia mendongak, melihat lambaian kain gorden di balkon kamar atas. Jendela kamarnya terbuka, tetapi lampu tidak menyala. Ia mulai was-was. Jangan-jangan… ada pencuri membobol rumahnya. Tak mau dicereweti Agung, Tiara menyimpan kekhawatirannya. “Sudah, tinggalin saja.” Ia menggebah Agung agar segera berlalu.“Biarkan aku melihatmu masuk dulu.”“Ini rumahku, Kakeeek.” Tiara mencibir, “Lagipula, ada Bik Amah.”Agung menatapnya ragu. “Bik, kalau ada apa-apa, teriak yang keras ya.” Agung beralih berbicara pada Bik Amah.“Beres...” Bik Amah mengacungkan jempol.Tiara dan Bik Amah menghampiri pintu. Tiara menekan gagang pintu, mencoba mendorongnya. Ternyata terkunci. Berarti tidak ada siapa-siapa di dalam.‘Ah, mungkin waktu pergi, Ben lupa mematikan lampu taman dan menutup jendela kamar,’ pikir Tiara. Ia mengeluarkan serenceng
Dari semua organ tubuh, hati adalah satu-satunya organ yang bisa memulihkan dirinya sendiri. Jika dikerat untuk didonorkan, itu akan tumbuh kembali dalam dua minggu hingga delapan puluh persen. Dan kembali utuh seratus persen dalam waktu dua hingga tiga tahun. Mungkin dari situlah asal istilah patah hati ketika putus cinta. Bukan patah jantung, atau patah ginjal misalnya. Karena suatu saat hati itu akan pulih kembali. Entah dalam dua minggu, dua bulan, dua tahun. Hanya hati yang memiliki kemampuan itu.Menatap nyalang langit-langit kamar hingga pagi, hati Tiara mulai tumbuh dari retakan karena hantaman kenyataan semalam. Air matanya kering sudah. Ia tidak tidur. Ia berpikir. Apa yang harus dilakukannya? Pulang ke rumah Ibu? Lalu apa yang harus dia ceritakan? Tetap tinggal di sini? Bagaimana ia harus menatap Ben? Fajar sudah hadir, Tiara beranjak dari tempat tidur. Meluruskan kakinya yang bengkak, menyeretnya ke arah pintu. Ia menarik napas dan mengembuskannya dengan keras sebelum me
“Jadi, cuma gua doang yang no clue? Dan kalian bisa-bisanya bungkam mengetahui ini?!” Suara Tiara naik beberapa oktaf, dan Ruby hanya bisa menghela napas.Tiara terdiam sejenak, tampak menimbang-nimbang. “Baiklah, kita tanya Alana. Tapi dia juga harus bersumpah tidak akan membuka ini pada siapa pun.”Ruby mengembuskan napas dan menggeleng-gelengkan kepala. Kesungguhan, keteguhan, kekerasan kepala, apapun namanya itu. Sahabatnya ini memang tukang ngotot. Mereka tahu betul, kalau sudah ada maunya, Tiara tidak akan mundur. Dan di matanya saat ini, menunjukkan bahwa keputusannya tidak bisa ditawar.Itu sudah harga mati.Sekitar tengah hari setelah jam makan siang, Alana sudah ada di depan pintu, bersama seorang lelaki berambut putih dan mengenakan kaca mata minus, usianya mungkin sekitar lima puluhan. “Ini pengacara kenalan oom gua, namanya Bapak Arthur Sitompul. Pak, ini sahabat saya Tiara yang tadi saya ceritakan. Dan ini Ruby.”Mereka bersalaman. Tiara mengajak semua orang masuk, lalu