Share

7. Kenyataan Pahit (1)

“Besok sahabatku di Harvard akan berkunjung. Kamu ingat dia? Dulu ketika kita menikah, dia juga hadir.” Suara Ben bersemangat. Sudah lama Tiara tak mendengarnya seantusias ini. 

“Tentu saja aku ingat.” Tiara bahkan lebih antusias. 

Ia senang Ben dikunjungi sahabatnya. Ben tampak tertekan akhir-akhir ini, mungkin karena kelanjutan studinya harus ditunda, lantaran ia telanjur hamil. Ben memang bersedia menunda satu tahun hingga Tiara melahirkan. Kegiatannya sehari-hari hanya belajar agar lebih siap melanjutkan studi nanti, juga membantu ayahnya di pabrik tekstil.

Tiara mengelus perutnya. Ia langsung hamil, padahal hanya melakukannya satu kali di malam pengantin. Mungkin karena hari itu ia dalam masa subur.

Sekarang, tanpa terasa kehamilannya sudah memasuki usia enam bulan. Tiga bulan lagi anaknya akan lahir ke dunia.  Ia menanti-nanti seperti apa wajah bayi perpaduan parasnya dan Ben nanti.

Ia berharap bayinya perempuan, dengan kulit Ben yang bersih dan bibir tipisnya. Hidung kecil dan mata bulat seperti miliknya. Seolah-olah bayi bisa dipesan bentuknya, ia tersenyum-senyum sendiri. 

Namun kebahagiaannya saat ia hamil tidak menular pada Ben. Tiara merasa, sejak ia hamil, justru Ben agak menjauh. Berjarak. Pulang dari pabrik ia biasa langsung mandi. Lalu tidur. Mereka sudah jarang bicara. Mungkin Ben kelelahan. 

Tiara agak merasa bersalah. Tiara maklum, studinya harus tertunda, tentu saja Ben kecewa.

Karena itu, mendengar sahabatnya yang ketika mereka menikah dulu bersedia jauh-jauh datang untuk hadir, akan kembali datang berkunjung, Tiara sangat senang. Apalagi wajah Ben tampak berseri-seri, mungkin karena mereka bisa berdiskusi tentang kedokteran. 

‘Semoga kepribadian Ben yang aku suka dulu, yang membuatku jatuh cinta padanya, segera kembali.’ Doa Tiara.

“Ia akan menginap di sini. Kalau bisa sampai anak kita lahir. Ia ingin melihat ‘keponakannya’ hadir ke dunia katanya.” Ben tertawa.

Ah… betapa Tiara merindukan tawa itu.

“Tentu saja boleh... selama yang dia inginkan.” Tiara tersenyum.

Mata Ben berbinar.

Ketika sahabat Ben tiba, kehidupan kembali ke rumah itu. Kehadirannya  membawa tawa yang sudah lama tak terdengar dari bibir Ben. Ia sedang liburan musim panas, jadi akan tinggal bersama mereka selama dua bulan.

“Oh… selamanya pun boleh,” kata Tiara tulus. “Pindahlah kemari, cari jodoh orang Indonesia. Nanti bisa praktik bersama, berbagi pasien dengan Ben.”

Mereka tertawa bersama. Alangkah senangnya bisa bercanda lagi.

***

“Kak, aku tak bisa mengantarmu pulang besok pagi.” Agung meneleponnya, “Bos mendadak minta aku berangkat ke Bali subuh nanti.”

Tiara sedang di rumah Ibu. Akhir pekan adalah jadwal ia dan Ben berkunjung ke rumah Ibu, ia biasa menginap tiga malam. Diantar Ben hari Jumat malam, diantar pulang Agung ke rumah hari Senin pagi. Minggu depan giliran berkunjung ke rumah mertuanya. Begitu bergiliran. 

Akhir pekan ini ia berkunjung sendiri. Ben harus menghadiri acara penting. Pertemuan para alumni Harvard di Jakarta. 

“Ini acara para alumni, tidak ada yang membawa pasangan,” kata Ben. 

Tiara tidak protes, lagi pula ia malas ikut. Perut buncitnya sudah membuatnya agak terengah-engah setiap ia berjalan agak jauh. Dan membayangkan ia ada di tengah kumpulan orang-orang elit membuatnya ngeri. Apa yang bisa ia lakukan? Bengong? Lebih baik ia tidur-tiduran santai di rumah Ibu.

“Ya sudah, nanti Kakak naik taksi saja.”

“Dengan perut buncit dan napas ngos-ngosan begitu?” Agung protes.

“Aduuuhh... kamu itu cerewetnya lebih-lebih dari nenek-nenek. Aku ini cuma hamil, bukan sekarat!” Tiara menggerutu.

“Ya tetap saja, Kak. Aku merasa sebagai manusia tidak berperikemanusiaan membiarkan perempuan hamil tua naik taksi.”

“Sebentar aku telepon Ben, mungkin dia sudah pulang dari acaranya itu dan bisa menjemputku.”

“Nah, begitu lebih baik. Kabari aku lagi, ya. I’ll be at your service. Tengah malam, tengah siang, tengah pagi, aku wajib melindungi kakakku.”

“Gombal ah, hiperbola kamu!” Tiara tergelak.

Tiara menelepon rumah beberapa kali. Tidak ada yang menjawab. Ia melirik jam di dinding. Baru jam setengah sepuluh malam. Mungkin acara para alumni itu seru sekali. Ia tidak berharap Ben akan kembali sebelum tengah malam. 

“Sepertinya Ben belum sampai rumah.” Tiara menelepon balik adiknya.

“Aku antarkan malam ini saja, bagaimana? Tapi...”

“Tapi apalagi?”

“Tapi aku tetap khawatir kamu sendirian di rumah, Kak.”

“Aduuhh...” Tiara baru saja membuka mulutnya untuk protes lagi ketika Ibu menghampirinya.

“Kenapa?” tanya Ibu.

“Agung tidak bisa mengantar aku pulang besok, Bu. Jadi aku minta dia mengantarkan aku sekarang.”

“Menginaplah di sini semalam lagi. Ben bisa menjemputmu besok?” tanya Ibu.

“Senin pagi biasanya Ben sibuk sekali.”

“Kak… Kak...” Agung berseru-seru memanggilnya dari gagang telepon, “Biar aku bicara dengan Ibu.”

Tiara menyerahkan telepon pada Ibu.

“Bu, Kakak itu kepalanya sekeras batu. Aku khawatir membiarkan dia sendirian di rumah. Dia sedang hamil tua!”

Ibu memandang Tiara sejenak, tampak berpikir.

“Biar Bik Amah menemaninya. Kamu antar kakakmu, dan Bik Amah bisa menginap di sana. Besok biar Bik Amah pulang ke sini naik bis.”

Bik Amah adalah pengasuh mereka berdua sejak kecil, sudah bekerja hampir seusia mereka. Ikut Ibu sejak ia masih gadis, sekarang usianya sudah sekitar lima puluh tahun, sudah dua kali pulang kampung untuk menikah dan kembali lagi setelah bercerai. Ia bagai ibu kedua bagi Tiara dan Agung.

“Nah, aku setuju. Aku segera meluncur, Bu.” Agung mengakhiri telepon.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status