“Besok sahabatku di Harvard akan berkunjung. Kamu ingat dia? Dulu ketika kita menikah, dia juga hadir.” Suara Ben bersemangat. Sudah lama Tiara tak mendengarnya seantusias ini.
“Tentu saja aku ingat.” Tiara bahkan lebih antusias.
Ia senang Ben dikunjungi sahabatnya. Ben tampak tertekan akhir-akhir ini, mungkin karena kelanjutan studinya harus ditunda, lantaran ia telanjur hamil. Ben memang bersedia menunda satu tahun hingga Tiara melahirkan. Kegiatannya sehari-hari hanya belajar agar lebih siap melanjutkan studi nanti, juga membantu ayahnya di pabrik tekstil.
Tiara mengelus perutnya. Ia langsung hamil, padahal hanya melakukannya satu kali di malam pengantin. Mungkin karena hari itu ia dalam masa subur.
Sekarang, tanpa terasa kehamilannya sudah memasuki usia enam bulan. Tiga bulan lagi anaknya akan lahir ke dunia. Ia menanti-nanti seperti apa wajah bayi perpaduan parasnya dan Ben nanti.
Ia berharap bayinya perempuan, dengan kulit Ben yang bersih dan bibir tipisnya. Hidung kecil dan mata bulat seperti miliknya. Seolah-olah bayi bisa dipesan bentuknya, ia tersenyum-senyum sendiri.
Namun kebahagiaannya saat ia hamil tidak menular pada Ben. Tiara merasa, sejak ia hamil, justru Ben agak menjauh. Berjarak. Pulang dari pabrik ia biasa langsung mandi. Lalu tidur. Mereka sudah jarang bicara. Mungkin Ben kelelahan.
Tiara agak merasa bersalah. Tiara maklum, studinya harus tertunda, tentu saja Ben kecewa.
Karena itu, mendengar sahabatnya yang ketika mereka menikah dulu bersedia jauh-jauh datang untuk hadir, akan kembali datang berkunjung, Tiara sangat senang. Apalagi wajah Ben tampak berseri-seri, mungkin karena mereka bisa berdiskusi tentang kedokteran.
‘Semoga kepribadian Ben yang aku suka dulu, yang membuatku jatuh cinta padanya, segera kembali.’ Doa Tiara.
“Ia akan menginap di sini. Kalau bisa sampai anak kita lahir. Ia ingin melihat ‘keponakannya’ hadir ke dunia katanya.” Ben tertawa.
Ah… betapa Tiara merindukan tawa itu.
“Tentu saja boleh... selama yang dia inginkan.” Tiara tersenyum.
Mata Ben berbinar.
Ketika sahabat Ben tiba, kehidupan kembali ke rumah itu. Kehadirannya membawa tawa yang sudah lama tak terdengar dari bibir Ben. Ia sedang liburan musim panas, jadi akan tinggal bersama mereka selama dua bulan.
“Oh… selamanya pun boleh,” kata Tiara tulus. “Pindahlah kemari, cari jodoh orang Indonesia. Nanti bisa praktik bersama, berbagi pasien dengan Ben.”
Mereka tertawa bersama. Alangkah senangnya bisa bercanda lagi.
***
“Kak, aku tak bisa mengantarmu pulang besok pagi.” Agung meneleponnya, “Bos mendadak minta aku berangkat ke Bali subuh nanti.”
Tiara sedang di rumah Ibu. Akhir pekan adalah jadwal ia dan Ben berkunjung ke rumah Ibu, ia biasa menginap tiga malam. Diantar Ben hari Jumat malam, diantar pulang Agung ke rumah hari Senin pagi. Minggu depan giliran berkunjung ke rumah mertuanya. Begitu bergiliran.
Akhir pekan ini ia berkunjung sendiri. Ben harus menghadiri acara penting. Pertemuan para alumni Harvard di Jakarta.
“Ini acara para alumni, tidak ada yang membawa pasangan,” kata Ben.
Tiara tidak protes, lagi pula ia malas ikut. Perut buncitnya sudah membuatnya agak terengah-engah setiap ia berjalan agak jauh. Dan membayangkan ia ada di tengah kumpulan orang-orang elit membuatnya ngeri. Apa yang bisa ia lakukan? Bengong? Lebih baik ia tidur-tiduran santai di rumah Ibu.
“Ya sudah, nanti Kakak naik taksi saja.”
“Dengan perut buncit dan napas ngos-ngosan begitu?” Agung protes.
“Aduuuhh... kamu itu cerewetnya lebih-lebih dari nenek-nenek. Aku ini cuma hamil, bukan sekarat!” Tiara menggerutu.
“Ya tetap saja, Kak. Aku merasa sebagai manusia tidak berperikemanusiaan membiarkan perempuan hamil tua naik taksi.”
“Sebentar aku telepon Ben, mungkin dia sudah pulang dari acaranya itu dan bisa menjemputku.”
“Nah, begitu lebih baik. Kabari aku lagi, ya. I’ll be at your service. Tengah malam, tengah siang, tengah pagi, aku wajib melindungi kakakku.”
“Gombal ah, hiperbola kamu!” Tiara tergelak.
Tiara menelepon rumah beberapa kali. Tidak ada yang menjawab. Ia melirik jam di dinding. Baru jam setengah sepuluh malam. Mungkin acara para alumni itu seru sekali. Ia tidak berharap Ben akan kembali sebelum tengah malam.
“Sepertinya Ben belum sampai rumah.” Tiara menelepon balik adiknya.
“Aku antarkan malam ini saja, bagaimana? Tapi...”
“Tapi apalagi?”
“Tapi aku tetap khawatir kamu sendirian di rumah, Kak.”
“Aduuhh...” Tiara baru saja membuka mulutnya untuk protes lagi ketika Ibu menghampirinya.
“Kenapa?” tanya Ibu.
“Agung tidak bisa mengantar aku pulang besok, Bu. Jadi aku minta dia mengantarkan aku sekarang.”
“Menginaplah di sini semalam lagi. Ben bisa menjemputmu besok?” tanya Ibu.
“Senin pagi biasanya Ben sibuk sekali.”
“Kak… Kak...” Agung berseru-seru memanggilnya dari gagang telepon, “Biar aku bicara dengan Ibu.”
Tiara menyerahkan telepon pada Ibu.
“Bu, Kakak itu kepalanya sekeras batu. Aku khawatir membiarkan dia sendirian di rumah. Dia sedang hamil tua!”
Ibu memandang Tiara sejenak, tampak berpikir.
“Biar Bik Amah menemaninya. Kamu antar kakakmu, dan Bik Amah bisa menginap di sana. Besok biar Bik Amah pulang ke sini naik bis.”
Bik Amah adalah pengasuh mereka berdua sejak kecil, sudah bekerja hampir seusia mereka. Ikut Ibu sejak ia masih gadis, sekarang usianya sudah sekitar lima puluh tahun, sudah dua kali pulang kampung untuk menikah dan kembali lagi setelah bercerai. Ia bagai ibu kedua bagi Tiara dan Agung.
“Nah, aku setuju. Aku segera meluncur, Bu.” Agung mengakhiri telepon.
Tiara turun dari mobil Agung, diikuti bik Amah. Rumahnya gelap. Hanya lampu taman yang menyala. Ia heran. Jika Ben belum pulang, siapa yang menyalakan lampu taman. Ia mendongak, melihat lambaian kain gorden di balkon kamar atas. Jendela kamarnya terbuka, tetapi lampu tidak menyala. Ia mulai was-was. Jangan-jangan… ada pencuri membobol rumahnya. Tak mau dicereweti Agung, Tiara menyimpan kekhawatirannya. “Sudah, tinggalin saja.” Ia menggebah Agung agar segera berlalu.“Biarkan aku melihatmu masuk dulu.”“Ini rumahku, Kakeeek.” Tiara mencibir, “Lagipula, ada Bik Amah.”Agung menatapnya ragu. “Bik, kalau ada apa-apa, teriak yang keras ya.” Agung beralih berbicara pada Bik Amah.“Beres...” Bik Amah mengacungkan jempol.Tiara dan Bik Amah menghampiri pintu. Tiara menekan gagang pintu, mencoba mendorongnya. Ternyata terkunci. Berarti tidak ada siapa-siapa di dalam.‘Ah, mungkin waktu pergi, Ben lupa mematikan lampu taman dan menutup jendela kamar,’ pikir Tiara. Ia mengeluarkan serenceng
Dari semua organ tubuh, hati adalah satu-satunya organ yang bisa memulihkan dirinya sendiri. Jika dikerat untuk didonorkan, itu akan tumbuh kembali dalam dua minggu hingga delapan puluh persen. Dan kembali utuh seratus persen dalam waktu dua hingga tiga tahun. Mungkin dari situlah asal istilah patah hati ketika putus cinta. Bukan patah jantung, atau patah ginjal misalnya. Karena suatu saat hati itu akan pulih kembali. Entah dalam dua minggu, dua bulan, dua tahun. Hanya hati yang memiliki kemampuan itu.Menatap nyalang langit-langit kamar hingga pagi, hati Tiara mulai tumbuh dari retakan karena hantaman kenyataan semalam. Air matanya kering sudah. Ia tidak tidur. Ia berpikir. Apa yang harus dilakukannya? Pulang ke rumah Ibu? Lalu apa yang harus dia ceritakan? Tetap tinggal di sini? Bagaimana ia harus menatap Ben? Fajar sudah hadir, Tiara beranjak dari tempat tidur. Meluruskan kakinya yang bengkak, menyeretnya ke arah pintu. Ia menarik napas dan mengembuskannya dengan keras sebelum me
“Jadi, cuma gua doang yang no clue? Dan kalian bisa-bisanya bungkam mengetahui ini?!” Suara Tiara naik beberapa oktaf, dan Ruby hanya bisa menghela napas.Tiara terdiam sejenak, tampak menimbang-nimbang. “Baiklah, kita tanya Alana. Tapi dia juga harus bersumpah tidak akan membuka ini pada siapa pun.”Ruby mengembuskan napas dan menggeleng-gelengkan kepala. Kesungguhan, keteguhan, kekerasan kepala, apapun namanya itu. Sahabatnya ini memang tukang ngotot. Mereka tahu betul, kalau sudah ada maunya, Tiara tidak akan mundur. Dan di matanya saat ini, menunjukkan bahwa keputusannya tidak bisa ditawar.Itu sudah harga mati.Sekitar tengah hari setelah jam makan siang, Alana sudah ada di depan pintu, bersama seorang lelaki berambut putih dan mengenakan kaca mata minus, usianya mungkin sekitar lima puluhan. “Ini pengacara kenalan oom gua, namanya Bapak Arthur Sitompul. Pak, ini sahabat saya Tiara yang tadi saya ceritakan. Dan ini Ruby.”Mereka bersalaman. Tiara mengajak semua orang masuk, lalu
Ben duduk di ujung tempat tidur di hotel. Reaksi Tiara kemarin masih terbayang di matanya. Ia merasa bersalah telah menyakiti wanita yang telah setia menunggunya enam tahun dan sekarang sedang mengandung anaknya itu.‘Aku memang pengecut!’ Ben memaki dirinya sendiri, meremas-remas rambut dan menundukkan kepala hingga menyentuh lututnya.Sebuah tangan terulur mengelus bahunya.“It’s fine. At least we don’t have to lie to her anymore. -Tidak apa-apa. Setidaknya kita sudah tidak perlu membohonginya lagi.” Suara yang halus memasuki telinga Ben.“Tapi seharusnya tidak dengan cara seperti ini dia mengetahui tentang kita. Ini terlalu kejam untuknya.” Ben mengangkat kepala dan menggenggam tangan di bahunya itu, menuntunnya agar duduk di sebelahnya, lalu memeluknya.“Aku yang pengecut. I love you so much, I can’t lose you. -Aku sangat mencintaimu, aku tidak bisa kehilanganmu. Aku tidak ingin menyakitinya, tapi malah lebih membuat dia hancur.” Ben teringat malam terakhirnya di Amerika sebelum
Ketika Ben menyampaikan pada Tiara bahwa sahabatnya dari Amerika akan hadir di pernikahan mereka, Tiara langsung antusias.“Kita carikan dia jodoh orang Indonesia,” Tiara berkata penuh semangat. “Dia tidak akan suka,” Ben berkata ketus. Hatinya terbakar.“Oh ya sudah. Kenapa kamu harus marah?”“Aku tidak marah. Hanya berpikir, dia pasti kesal kalau kita menjodoh-jodohkannya, padahal niatnya datang hanya untuk menghadiri pernikahan kita.”Sepanjang pemberkatan pernikahan konsentrasi Ben terpecah, matanya sering melirik kursi dimana kekasihnya sedang duduk bersama dua sahabat Tiara. Bahkan ia merasa mual, merasa seharusnya yang berdiri di hadapannya bukanlah Tiara, melainkan sosok indah bermata hijau itu.Di malam pengantin, Ben galau, hatinya serasa diremas tangan tak kasat mata. Kekasihnya ada di sini. Setelah terpisah benua sekian bulan, saat ini dia ada di sini. Saat ini mereka dekat, tetapi ia tak bisa merengkuhnya, tak bisa mendaratkan ciuman di bibirnya, tak bisa…Ben menenggak
Bagaimana jika awan adalah kumpulan rindu yang menguap dari manusia-manusia yang tak berani mengungkapkannya. Tak sempat menyampaikannya.Saputan halus kerinduan yang terakumulasi menjadi cumulus tebal. Kala kadar rindu itu tak tertahan, itu tercurah menjadi hujan. Gerimis ketika itu hanya ingin membelai dengan lembut, membisikkan cinta yang tak bersambut, tak terkuak, tak terpaut. Badai dan guntur kala putus asa dan frustrasi melanda. Meneriakkan rindu demi mengosongkan sesak di dada.Langit yang terbelah menumpahkan air dahsyat yang tercurah saat ini, adalah rasa rindunya yang tak terperi, meneriakkan emosi pada bumi, agar terpantul pada telinga-telinga orang yang ditujunya. Sosok itu, yang telah menjungkirbalikkan dunianya, akhirnya muncul. Barangkali hujan telah meneriakkan rindunya. Dan sosok itu, sudah mendengarnya!
Karena Ben tidak menyanggah, dan tidak ada perlawanan, pengadilan tidak berusaha lagi mendamaikan, sehingga keputusan lebih cepat dari yang diperkirakan. Pernikahan mereka batal demi hukum tepat seminggu sebelum perut Tiara mulas karena waktu melahirkan tiba.Sementara menunggu putusan pengadilan, Tiara tetap tinggal di rumah mereka. Sepanjang dua bulan mereka berusaha tidak berpapasan agar tidak usah bicara.Di hari kelahiran, Tiara berangkat ke rumah sakit hanya ditemani Ruby. Alana sedang ke Bandung untuk temu pembaca dalam rangka promosi novel barunya. Tiara tidak memberitahu keluarganya, juga keluarga Ben.“Setelah melahirkan, aku akan pulang ke rumah Ibu. Barang-barangku, tolong dipaketkan saja.” Tiara berkata datar pada Ben, yang berdiri terpaku setelah niatnya untuk mengantar di
Seminggu kemudian, Mama memanggilnya. Ben yang belum siap menghadapinya dan belum menceritakan kondisi pernikahannya, terpaksa datang dengan hati berdebar.Di rumah, Mama sedang duduk menunggunya di ruang tamu. Di meja di depannya, ada kotak berisi kalung dan cincin tanda pengikat yang diberikannya pada Tiara dulu, dan cincin kawinnya.Rupanya, Tiara bertindak lebih cepat. Dia telah datang mengunjungi Mama, mengembalikan semua tanda pengikat dan pamit.Ben duduk menunduk di depan Mama, lidahnya kelu. Bahkan untuk menyapa dan mencium pipi Mama seperti biasa, ia telah merasa tak berhak.“Tiara tidak mengatakan apa-apa. Hanya mengembalikan ini semua. Kamu tahu Mama sangat sayang sama Tiara. Mengapa menjadi seperti ini? Kalian telah berhasil melewati hubungan jar