Share

8. Kenyataan Pahit (2)

Tiara turun dari mobil Agung, diikuti bik Amah. Rumahnya gelap. Hanya lampu taman yang menyala. Ia heran. Jika Ben belum pulang, siapa yang menyalakan lampu taman.

Ia mendongak, melihat lambaian kain gorden di balkon kamar atas. Jendela kamarnya terbuka, tetapi lampu tidak menyala. Ia mulai was-was. Jangan-jangan… ada pencuri membobol rumahnya. 

Tak mau dicereweti Agung, Tiara menyimpan kekhawatirannya. 

“Sudah, tinggalin saja.” Ia menggebah Agung agar segera berlalu.

“Biarkan aku melihatmu masuk dulu.”

“Ini rumahku, Kakeeek.” Tiara mencibir, “Lagipula, ada Bik Amah.”

Agung menatapnya ragu. 

“Bik, kalau ada apa-apa, teriak yang keras ya.” Agung beralih berbicara pada Bik Amah.

“Beres...” Bik Amah mengacungkan jempol.

Tiara dan Bik Amah menghampiri pintu. Tiara menekan gagang pintu, mencoba mendorongnya. Ternyata terkunci. Berarti tidak ada siapa-siapa di dalam.

‘Ah, mungkin waktu pergi, Ben lupa mematikan lampu taman dan menutup jendela kamar,’ pikir Tiara. 

Ia mengeluarkan serenceng kunci dari dalam tas, memasukkan ke lubang kunci dan memutarnya. Didorongnya pintu perlahan, lalu melangkahkan kaki masuk. Ia mengerjap, membiasakan matanya pada kegelapan. 

Tiara meraba dinding sebelah kanan pintu, tempat dua tombol lampu terletak. Satu untuk menyalakan lampu teras. Satu yang lain, tombol lampu gantung di ruang tamu. Ia menekan keduanya. 

Nyala kekuningan lampu-lampu langsung membuat hatinya tenang. Sungguh tak nyaman berada dalam gelap. Bik Amah mengikutinya masuk. 

“Bik, Bibik langsung ke kamar tengah di belakang ya.” Tiara mempersilakan Bik Amah yang sudah mengenal tata letak rumah ini.  

Ia menyerahkan kunci pada Bik Amah. Yang dimaksud kamar belakang adalah kamar dekat taman, tempat biasanya ia menerima tamu. Ada tiga kamar yang menghadap kolam ikan di tengahnya. Sahabat Ben menempati kamar sebelah kiri.

Bukan baru pertama kali Bik Amah datang ke rumah ini. Ia selalu tidur di salah satu kamar itu. Bik Amah bukan pembantu, ia sudah menjadi bagian keluarga. Tidak ada jarak di antara mereka.  

Tiara melepaskan sepatu. Bertelanjang kaki, ia menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas. Ia memutar tombol pintu. Ternyata tidak terkunci. Ia menggelengkan kepala dan menghela napas. Betapa ceroboh suaminya ternyata. Saat pulang nanti, ia akan protes panjang lebar. 

Tiara mendorong pintu kamar. Kembali mencari tombol lampu. Dengan suara klik, ruangan itu seketika terang benderang.

Dan, Tiara terpekik.

Dua sosok telanjang yang semula bertindihan itu buru-buru bangkit. Hampir melompat dari tempat tidur. 

Tiara membalikkan tubuh dengan cepat. Berlari menuruni tangga sambil menopang perutnya. Jantungnya berdegup kencang, oksigen berpacu keluar masuk hidungnya. Napasnya tersengal-sengal. 

Memegangi perutnya, ia terus berlari, hampir terpeleset di anak tangga terakhir. Dan Ben, tidak keluar untuk mengejarnya.

Bik Amah tidak terlihat. Pasti ia sudah masuk kamar dan langsung tidur. Tiara berlari masuk ke kamar sebelah kanan. Dadanya naik turun, napasnya memburu.

Dengan tangan gemetar ia mengunci pintu. Beringsut ke sudut tempat tidur. Mengambil bantal di atas tempat tidur dan memeluknya, seolah itu penyelamat nyawa. Air mata berlomba tumpah dari balik bulu matanya yang panjang. 

Ia menggeleng kuat-kuat. Ia hanya ingin menghapus bayangan yang tadi dilihatnya. Ia memejam-mejamkan mata, tetapi bayangan itu malah kian tercetak jelas, seperti layar film yang terpampang di hadapannya.

Mereka… Ternyata sepasang kekasih. Apakah reuni alumni Harvard itu juga hanya alasan agar mereka bisa berduaan? Mengapa tidak pergi ke hotel saja? Mengapa harus melakukannya di rumah? Di atas tempat tidur mereka!

‘Lalu aku ini dianggap apa? Apa?’ pekik Tiara dalam hati. 

Ia teringat sumpah yang saling mereka ucapkan di hari pernikahan mereka. Dalam susah dan senang, dalam suka dan duka, bersama mengarungi hidup, melahirkan anak baginya, menjadi pendukung dalam segala keadaan, sampai maut memisahkan.

Tiara mulai tertawa dalam linangan air mata. Terus tertawa tanpa suara. Lalu ia mulai terisak. Bahunya berguncang, membenamkan kepala ke bantal agar suara sedu-sedannya tidak keluar. 

Jangan pernah mengucapkan sumpah saat emosimu penuh. Penuh amarah, penuh cinta, penuh bahagia. Karena emosi yang penuh membuat hatimu bias. Endapkan dulu emosimu hingga hatimu jernih. Hati yang jernih akan membuatmu melihat yang tak terlihat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status