Dari semua organ tubuh, hati adalah satu-satunya organ yang bisa memulihkan dirinya sendiri. Jika dikerat untuk didonorkan, itu akan tumbuh kembali dalam dua minggu hingga delapan puluh persen. Dan kembali utuh seratus persen dalam waktu dua hingga tiga tahun.
Mungkin dari situlah asal istilah patah hati ketika putus cinta. Bukan patah jantung, atau patah ginjal misalnya. Karena suatu saat hati itu akan pulih kembali. Entah dalam dua minggu, dua bulan, dua tahun. Hanya hati yang memiliki kemampuan itu.
Menatap nyalang langit-langit kamar hingga pagi, hati Tiara mulai tumbuh dari retakan karena hantaman kenyataan semalam. Air matanya kering sudah. Ia tidak tidur. Ia berpikir. Apa yang harus dilakukannya? Pulang ke rumah Ibu? Lalu apa yang harus dia ceritakan? Tetap tinggal di sini? Bagaimana ia harus menatap Ben?
Fajar sudah hadir, Tiara beranjak dari tempat tidur. Meluruskan kakinya yang bengkak, menyeretnya ke arah pintu. Ia menarik napas dan mengembuskannya dengan keras sebelum membuka pintu.
Melangkah ke arah ruang tamu, Tiara mendekati meja tempat telepon terletak. Melirik jam besar dari tembaga bakar yang tergantung di dinding. Sudah jam enam, Ruby pasti sudah bangun.
“Rub,” katanya setelah mendengar kata halo diucapkan Ruby di seberang. “Kalau gak ada acara, hari ini lo kesini ya.”
“Pagi-pagi buta udah nyuruh orang datang, lo belum mau lahiran kan?” Suara Ruby terdengar heran.
“Belum.”
“Trus ngapain? Kangen?” Ruby terkekeh.
“Gua mau cerai.”
***
Dalam dua jam Ruby sudah duduk di hadapannya. Menatap Tiara dengan gusar.
“Apa-apaan? Ibu hamil memang emosi gak stabil ya? Kalau cuma ribut kecil gak usah ekstrem begitu deh. Emang gak bisa baikan?” Ruby mengomel.
Tiara menghela napas panjang. Lalu mengembuskannya. Ia memberi isyarat agar Ruby mengikutinya ke dalam. Ruby menurut dan membuntutinya melangkah masuk. Mereka berpapasan dengan Bik Amah yang sudah bersiap pulang ke rumah Ibu.
“Bibik pulang dulu ke rumah Ibu ya Non. Tadi kamar belakang sudah Bibik pel dua-duanya. Kamar atas juga. Den Ben dan teman bulenya itu sudah berangkat kerja ya Non? Tapi kok kamarnya terbuka dan kopernya ndak ada.”
Tiara tidak tahu. Sedari subuh ia tidak berpapasan dengan Ben. Ia belum berani naik lagi ke kamar atas. Tidak ada koper kata Bik Amah. Mungkin kekasihnya itu pindah ke hotel. Ia mengangkat bahu.
“Iya, Bik.” Tiara mengeluarkan selembar uang dan menyerahkannya pada Bik Amah. “Buat ongkos taksi, Bik. Gak usah naik bis.”
Bik Amah berlalu. Perhatian Ruby sepenuhnya tertuju pada Tiara.
Ada kantung di bawah mata Tiara. Bersahabat sejak SMA, Ruby tahu Tiara pasti baru menangis. Meski sekarang wajahnya terlihat keras, mendung masih menggelayut di matanya.
“Apa yang terjadi?” Ruby menggenggam tangan Tiara. “Ceritain semuanya. Kenapa sampai lo mutusin mau cerai segala?”
“Ben… dan...” tangis Tiara langsung pecah.
Manusia sering salah menilai kekuatannya. Tiara bisa saja mengeraskan hati. Membatukan emosi. Berpura-pura tegar. Namun, jauh di dalam, jiwanya terluka. Ia tak tahu harus menyalahkan siapa.
Ruby memeluknya, mengusap-usap punggungnya. “Gua tahu,” Ruby berbisik.
Tiara melepaskan pelukan. “Lo tahu? Dan lo gak bilang sama gua?” Tiara menatapnya dengan sorot menuduh.
“Bukan, bukan tahu.” Ruby meralat ucapannya, “Gua cuma menduga. Di pesta pernikahan kalian, gua melihat bagaimana mereka saling memandang.”
“Tapi...” Ruby memotong begitu melihat Tiara hendak membuka mulut. “Gua pikir, toh pernikahan kalian tetap berlangsung. Jadi mungkin Ben sudah milih elo. Karena itu, gua gak berhak bicara apa-apa kan, Ara? Mungkin gua salah. Apalagi elo langsung hamil. Gua makin yakin pasti gua salah.”
Tiara menggelengkan kepala.
“Penglihatan lo, firasat lo, semua benar.” Ia mengambil selembar tisu. Mengusap air mata dengan gerakan kasar dan membuang ingus. Mengembuskan napasnya lagi dengan keras.
“Gua sudah bulat. Gua mau cerai. Lo tolongin gua, cariin pengacara perceraian.”
“Mending lo tenang dulu. Lo lagi hamil, setidaknya tunggu sampai lo lahiran baru dipikirkan lagi.”
“No!” Tiara membantah, “Justru gua mau sesegera mungkin, proses secepat dan sesingkat mungkin. Gua mau saat anak gua lahir nanti, hanya gua yang tercantum sebagai orang tuanya. Anggap ia tak punya ayah.”
“Ara!” Suara Ruby meninggi, menepuk-nepuk pipi sahabatnya. “Tenang, Ara. Pikirin yang matang. Pikirin perasaan Ibu dan Bapak.”
Mendengar Ibu dan Bapak disebut, hati Tiara serasa tertohok. Ia menggenggam tangan Ruby, mengguncangnya.
“Ibu dan Bapak tidak usah tahu. Elo musti bersumpah, tidak akan menceritakan apa pun pada mereka”
“Lalu… bagaimana kalau mereka tanya?”
“Lo bilang aja gak tahu.”
“Ara, urusan elo, Ibu Bapak pasti tahu gak mungkin gua gak tahu. Elo pertama haid aja lapornya ke gua! Dulu waktu pertama lirik-lirikan sama Ben aja lo ceritanya ke gua...”
Sesudah mengatakan itu, Ruby menyesal. “Maaf,” bisiknya.
“Lo gua maafkan hanya jika lo bantu gua mencari pengacara yang bisa proses cerai sesegera mungkin.” Suara Tiara tegas.
“Kita ini masih muda, Ara. Gua juga masih kuliah, mana punya kenalan yang berprofesi pengacara? Coba kita tanya Alana, dia penulis, pasti sering berhubungan dengan hukum untuk urusan royalti bukunya.”
Tiara menggeleng, “Gua… gak mau Alana tahu. Semakin sedikit yang tahu tentang ini, lebih baik.”
“Kita gak mungkin menyembunyikan ini dari Alana, Ara. Kita tiga serangkai yang saling terbuka, gak pernah ada rahasia di antara kita. Kalau dia sampai tahu belakangan, dia pasti tersinggung. Dan lagi…” Ruby tampak ragu.
“Apa?” Tiara menatap Ruby penuh selidik.
“Alana juga sudah curiga. Jadi… tidak ada gunanya merahasiakan ini.”
“Jadi, cuma gua doang yang no clue? Dan kalian bisa-bisanya bungkam mengetahui ini?!” Suara Tiara naik beberapa oktaf, dan Ruby hanya bisa menghela napas.Tiara terdiam sejenak, tampak menimbang-nimbang. “Baiklah, kita tanya Alana. Tapi dia juga harus bersumpah tidak akan membuka ini pada siapa pun.”Ruby mengembuskan napas dan menggeleng-gelengkan kepala. Kesungguhan, keteguhan, kekerasan kepala, apapun namanya itu. Sahabatnya ini memang tukang ngotot. Mereka tahu betul, kalau sudah ada maunya, Tiara tidak akan mundur. Dan di matanya saat ini, menunjukkan bahwa keputusannya tidak bisa ditawar.Itu sudah harga mati.Sekitar tengah hari setelah jam makan siang, Alana sudah ada di depan pintu, bersama seorang lelaki berambut putih dan mengenakan kaca mata minus, usianya mungkin sekitar lima puluhan. “Ini pengacara kenalan oom gua, namanya Bapak Arthur Sitompul. Pak, ini sahabat saya Tiara yang tadi saya ceritakan. Dan ini Ruby.”Mereka bersalaman. Tiara mengajak semua orang masuk, lalu
Ben duduk di ujung tempat tidur di hotel. Reaksi Tiara kemarin masih terbayang di matanya. Ia merasa bersalah telah menyakiti wanita yang telah setia menunggunya enam tahun dan sekarang sedang mengandung anaknya itu.‘Aku memang pengecut!’ Ben memaki dirinya sendiri, meremas-remas rambut dan menundukkan kepala hingga menyentuh lututnya.Sebuah tangan terulur mengelus bahunya.“It’s fine. At least we don’t have to lie to her anymore. -Tidak apa-apa. Setidaknya kita sudah tidak perlu membohonginya lagi.” Suara yang halus memasuki telinga Ben.“Tapi seharusnya tidak dengan cara seperti ini dia mengetahui tentang kita. Ini terlalu kejam untuknya.” Ben mengangkat kepala dan menggenggam tangan di bahunya itu, menuntunnya agar duduk di sebelahnya, lalu memeluknya.“Aku yang pengecut. I love you so much, I can’t lose you. -Aku sangat mencintaimu, aku tidak bisa kehilanganmu. Aku tidak ingin menyakitinya, tapi malah lebih membuat dia hancur.” Ben teringat malam terakhirnya di Amerika sebelum
Ketika Ben menyampaikan pada Tiara bahwa sahabatnya dari Amerika akan hadir di pernikahan mereka, Tiara langsung antusias.“Kita carikan dia jodoh orang Indonesia,” Tiara berkata penuh semangat. “Dia tidak akan suka,” Ben berkata ketus. Hatinya terbakar.“Oh ya sudah. Kenapa kamu harus marah?”“Aku tidak marah. Hanya berpikir, dia pasti kesal kalau kita menjodoh-jodohkannya, padahal niatnya datang hanya untuk menghadiri pernikahan kita.”Sepanjang pemberkatan pernikahan konsentrasi Ben terpecah, matanya sering melirik kursi dimana kekasihnya sedang duduk bersama dua sahabat Tiara. Bahkan ia merasa mual, merasa seharusnya yang berdiri di hadapannya bukanlah Tiara, melainkan sosok indah bermata hijau itu.Di malam pengantin, Ben galau, hatinya serasa diremas tangan tak kasat mata. Kekasihnya ada di sini. Setelah terpisah benua sekian bulan, saat ini dia ada di sini. Saat ini mereka dekat, tetapi ia tak bisa merengkuhnya, tak bisa mendaratkan ciuman di bibirnya, tak bisa…Ben menenggak
Bagaimana jika awan adalah kumpulan rindu yang menguap dari manusia-manusia yang tak berani mengungkapkannya. Tak sempat menyampaikannya.Saputan halus kerinduan yang terakumulasi menjadi cumulus tebal. Kala kadar rindu itu tak tertahan, itu tercurah menjadi hujan. Gerimis ketika itu hanya ingin membelai dengan lembut, membisikkan cinta yang tak bersambut, tak terkuak, tak terpaut. Badai dan guntur kala putus asa dan frustrasi melanda. Meneriakkan rindu demi mengosongkan sesak di dada.Langit yang terbelah menumpahkan air dahsyat yang tercurah saat ini, adalah rasa rindunya yang tak terperi, meneriakkan emosi pada bumi, agar terpantul pada telinga-telinga orang yang ditujunya. Sosok itu, yang telah menjungkirbalikkan dunianya, akhirnya muncul. Barangkali hujan telah meneriakkan rindunya. Dan sosok itu, sudah mendengarnya!
Karena Ben tidak menyanggah, dan tidak ada perlawanan, pengadilan tidak berusaha lagi mendamaikan, sehingga keputusan lebih cepat dari yang diperkirakan. Pernikahan mereka batal demi hukum tepat seminggu sebelum perut Tiara mulas karena waktu melahirkan tiba.Sementara menunggu putusan pengadilan, Tiara tetap tinggal di rumah mereka. Sepanjang dua bulan mereka berusaha tidak berpapasan agar tidak usah bicara.Di hari kelahiran, Tiara berangkat ke rumah sakit hanya ditemani Ruby. Alana sedang ke Bandung untuk temu pembaca dalam rangka promosi novel barunya. Tiara tidak memberitahu keluarganya, juga keluarga Ben.“Setelah melahirkan, aku akan pulang ke rumah Ibu. Barang-barangku, tolong dipaketkan saja.” Tiara berkata datar pada Ben, yang berdiri terpaku setelah niatnya untuk mengantar di
Seminggu kemudian, Mama memanggilnya. Ben yang belum siap menghadapinya dan belum menceritakan kondisi pernikahannya, terpaksa datang dengan hati berdebar.Di rumah, Mama sedang duduk menunggunya di ruang tamu. Di meja di depannya, ada kotak berisi kalung dan cincin tanda pengikat yang diberikannya pada Tiara dulu, dan cincin kawinnya.Rupanya, Tiara bertindak lebih cepat. Dia telah datang mengunjungi Mama, mengembalikan semua tanda pengikat dan pamit.Ben duduk menunduk di depan Mama, lidahnya kelu. Bahkan untuk menyapa dan mencium pipi Mama seperti biasa, ia telah merasa tak berhak.“Tiara tidak mengatakan apa-apa. Hanya mengembalikan ini semua. Kamu tahu Mama sangat sayang sama Tiara. Mengapa menjadi seperti ini? Kalian telah berhasil melewati hubungan jar
“Ada seminar gizi. Cara hidup sehat. Ikut yuk?” Alana langsung bicara begitu panggilan teleponnya tersambung.Lamunan pahit masa lalu Tiara seketika terputus.Memang seperti itulah gaya Alana. Sahabatnya yang agak tomboy itu bicaranya ceplas-ceplos, kadang bermulut pedas, sebelas dua belas dengan Ruby. Jika melihatnya, tidak ada yang mengira dia berprofesi sebagai penulis novel romantis.“Lebih cocok juga nulis genre thriller atau horor.” Begitu Ruby pernah berkata sambil mencibir.“Iya, kalau gua nulis cerita thriller, tokoh yang mati akan gua ambil dari karakter lo, gua akan gambarkan s
"Kursinya kosong, Bu?” Seseorang bertanya. Suaranya empuk dan menyenangkan di telinga.Tiara yang sedang menunduk melihat sepasang kaki dalam sneaker hijau army di depannya. Lalu ia mengangkat kepala.Seorang lelaki sedang menatapnya. Mengenakan kacamata berbingkai hitam. Tubuhnya menjulang, mungkin tingginya sekitar seratus delapan puluh lima, dibalut kaos putih leher kura-kura berlengan panjang yang digulung hingga ke siku, dipadukan celana jeans biru. Kulitnya agak kecoklatan, dengan rambut yang sudah dihiasi lembar-lembar keperakan.Lelaki itu tersenyum. Menunjuk kursi di sebelahnya. Tiara membalas senyumnya dan bergeser sedikit. Memberi jarak untuk lelaki itu duduk.Wa