Share

9. Hati Sekeras Batu

Dari semua organ tubuh, hati adalah satu-satunya organ yang bisa memulihkan dirinya sendiri. Jika dikerat untuk didonorkan, itu akan tumbuh kembali dalam dua minggu hingga delapan puluh persen. Dan kembali utuh seratus persen dalam waktu dua hingga tiga tahun. 

Mungkin dari situlah asal istilah patah hati ketika putus cinta. Bukan patah jantung, atau patah ginjal misalnya. Karena suatu saat hati itu akan pulih kembali. Entah dalam dua minggu, dua bulan, dua tahun. Hanya hati yang memiliki kemampuan itu.

Menatap nyalang langit-langit kamar hingga pagi, hati Tiara mulai tumbuh dari retakan karena hantaman kenyataan semalam. Air matanya kering sudah. Ia tidak tidur. Ia berpikir. Apa yang harus dilakukannya? Pulang ke rumah Ibu? Lalu apa yang harus dia ceritakan? Tetap tinggal di sini? Bagaimana ia harus menatap Ben? 

Fajar sudah hadir, Tiara beranjak dari tempat tidur. Meluruskan kakinya yang bengkak, menyeretnya ke arah pintu. Ia menarik napas dan mengembuskannya dengan keras sebelum membuka pintu. 

Melangkah ke arah ruang tamu, Tiara mendekati meja tempat telepon terletak. Melirik jam besar dari tembaga bakar yang tergantung di dinding. Sudah jam enam, Ruby pasti sudah bangun.

“Rub,” katanya setelah mendengar kata halo diucapkan Ruby di seberang. “Kalau gak ada acara, hari ini lo kesini ya.”

“Pagi-pagi buta udah nyuruh orang datang, lo belum mau lahiran kan?” Suara Ruby terdengar heran.

“Belum.”

“Trus ngapain? Kangen?” Ruby terkekeh. 

“Gua mau cerai.”

***

Dalam dua jam Ruby sudah duduk di hadapannya. Menatap Tiara dengan gusar.

“Apa-apaan? Ibu hamil memang emosi gak stabil ya? Kalau cuma ribut kecil gak usah ekstrem begitu deh. Emang gak bisa baikan?” Ruby mengomel.

Tiara menghela napas panjang. Lalu mengembuskannya. Ia memberi isyarat agar Ruby mengikutinya ke dalam. Ruby menurut dan membuntutinya melangkah masuk. Mereka berpapasan dengan Bik Amah yang sudah bersiap pulang ke rumah Ibu. 

“Bibik pulang dulu ke rumah Ibu ya Non. Tadi kamar belakang sudah Bibik pel dua-duanya. Kamar atas juga. Den Ben dan teman bulenya itu sudah berangkat kerja ya Non? Tapi kok kamarnya terbuka dan kopernya ndak ada.”

Tiara tidak tahu. Sedari subuh ia tidak berpapasan dengan Ben. Ia belum berani naik lagi ke kamar atas. Tidak ada koper kata Bik Amah. Mungkin kekasihnya itu pindah ke hotel. Ia mengangkat bahu.

“Iya, Bik.” Tiara mengeluarkan selembar uang dan menyerahkannya pada Bik Amah. “Buat ongkos taksi, Bik. Gak usah naik bis.”

Bik Amah berlalu. Perhatian Ruby sepenuhnya tertuju pada Tiara.

Ada kantung di bawah mata Tiara. Bersahabat sejak SMA, Ruby tahu Tiara pasti baru menangis. Meski sekarang wajahnya terlihat keras, mendung masih menggelayut di matanya. 

“Apa yang terjadi?” Ruby menggenggam tangan Tiara. “Ceritain semuanya. Kenapa sampai lo mutusin mau cerai segala?”

“Ben… dan...” tangis Tiara langsung pecah. 

Manusia sering salah menilai kekuatannya. Tiara bisa saja mengeraskan hati. Membatukan emosi. Berpura-pura tegar. Namun, jauh di dalam, jiwanya terluka. Ia tak tahu harus menyalahkan siapa.

Ruby memeluknya, mengusap-usap punggungnya. “Gua tahu,” Ruby berbisik.

Tiara melepaskan pelukan. “Lo tahu? Dan lo gak bilang sama gua?” Tiara menatapnya dengan sorot menuduh.

“Bukan, bukan tahu.” Ruby meralat ucapannya, “Gua cuma menduga. Di pesta pernikahan kalian, gua melihat bagaimana mereka saling memandang.”

“Tapi...” Ruby memotong begitu melihat Tiara hendak membuka mulut. “Gua pikir, toh pernikahan kalian tetap berlangsung. Jadi mungkin Ben sudah milih elo. Karena itu, gua gak berhak bicara apa-apa kan, Ara? Mungkin gua salah. Apalagi elo langsung hamil. Gua makin yakin pasti gua salah.”

Tiara menggelengkan kepala. 

“Penglihatan lo, firasat lo, semua benar.” Ia mengambil selembar tisu. Mengusap air mata dengan gerakan kasar dan membuang ingus. Mengembuskan napasnya lagi dengan keras.

“Gua sudah bulat. Gua mau cerai. Lo tolongin gua, cariin pengacara perceraian.”

“Mending lo tenang dulu. Lo lagi hamil, setidaknya tunggu sampai lo lahiran baru dipikirkan lagi.”

“No!” Tiara membantah, “Justru gua mau sesegera mungkin, proses secepat dan sesingkat mungkin. Gua mau saat anak gua lahir nanti, hanya gua yang tercantum sebagai orang tuanya. Anggap ia tak punya ayah.”

“Ara!” Suara Ruby meninggi, menepuk-nepuk pipi sahabatnya. “Tenang, Ara. Pikirin yang matang. Pikirin perasaan Ibu dan Bapak.”

Mendengar Ibu dan Bapak disebut, hati Tiara serasa tertohok. Ia menggenggam tangan Ruby, mengguncangnya.

“Ibu dan Bapak tidak usah tahu. Elo musti bersumpah, tidak akan menceritakan apa pun pada mereka”

“Lalu… bagaimana kalau mereka tanya?”

“Lo bilang aja gak tahu.”

“Ara, urusan elo, Ibu Bapak pasti tahu gak mungkin gua gak tahu. Elo pertama haid aja lapornya ke gua! Dulu waktu pertama lirik-lirikan sama Ben aja lo ceritanya ke gua...” 

Sesudah mengatakan itu, Ruby menyesal. “Maaf,” bisiknya.

“Lo gua maafkan hanya jika lo bantu gua mencari pengacara yang bisa proses cerai sesegera mungkin.” Suara Tiara tegas.

“Kita ini masih muda, Ara. Gua juga masih kuliah, mana punya kenalan yang berprofesi pengacara? Coba kita tanya Alana, dia penulis, pasti sering berhubungan dengan hukum untuk urusan royalti bukunya.”

Tiara menggeleng, “Gua… gak mau Alana tahu. Semakin sedikit yang tahu tentang ini, lebih baik.”

“Kita gak mungkin menyembunyikan ini dari Alana, Ara. Kita tiga serangkai yang saling terbuka, gak pernah ada rahasia di antara kita. Kalau dia sampai tahu belakangan, dia pasti tersinggung. Dan lagi…” Ruby tampak ragu.

“Apa?” Tiara menatap Ruby penuh selidik.

“Alana juga sudah curiga. Jadi… tidak ada gunanya merahasiakan ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status