Share

6. Pernikahan Suci

Pernikahan Ben dan Tiara diadakan di tepi pantai. Kain sifon hijau pupus dan tule putih melambai-lambai. Bangku-bangku kayu putih diikat pita raksasa berwarna hijau pupus berderet di kedua sisi. 

Di tengahnya, jalan menuju altar digelari karpet dari rumput buatan, ditaburi kelopak mawar putih. Lilin-lilin dalam gelas dinyalakan di sepanjangnya. Angin semilir menebarkan semerbak mawar putih dan harum bunga lily. Dua bunga kesukaan Tiara. 

Yang hadir tidak banyak, karena Tiara dan Ben hanya ingin mengundang teman-teman yang benar-benar mereka kenal, dan kerabat dekat. Orang tua Ben tidak keberatan, meskipun mereka pengusaha, tidak mendesak untuk mengundang seluruh relasi yang jumlahnya tidak main-main, tetapi tidak dikenal pengantin.

Tiara berjalan menghampiri altar, lengannya dikaitkan di lengan Bapak. Rambutnya disanggul tinggi dililit mutiara. Gaun putih model kemben dari bahan brokat membungkus ketat tubuhnya. Membuat lekuknya tampak nyata. 

Ia tidak terlalu tinggi, hanya setinggi rata-rata gadis Asia. Ia juga bukan gadis kurus, karena ia suka makan, apalagi yang manis-manis. Tiramisu, cheese cake, chocolate melt, adalah kelemahannya. Untung metabolismenya aktif, jadi ia tidak terjebak dalam tubuh yang gemuk, hanya agak berisi. 

Choker mutiara dua baris yang disambung batu zamrud berbentuk kotak bertatah berlian melingkari lehernya. Buket calla lily putih dalam genggamannya.

Sebenarnya ia tidak terlalu cantik. Tetapi mata hitamnya yang terbingkai bulu mata lebat adalah daya tarik utamanya. Mata milik Bapak yang menurun padanya. 

Kulitnya yang kecoklatan terlihat keemasan tertimpa sinar matahari sore. Riasan wajah Tiara tidak berlebihan. Hanya sentuhan make up berwarna natural. Keseluruhan tampilan yang sederhana dan elegan, tetapi ia tampak bagai dewi Yunani.

Tiara memang tidak suka memoles wajah. Sehari-hari ia hanya mengoleskan krim pelindung matahari di wajahnya, bahkan tanpa membubuhkan bedak, dan bibirnya hanya dihiasi lipstik warna terracota. Rambutnya pun sudah tiga tahun tidak berganti gaya, bob sebahu. Bahkan ia mengaku modelnya masih sama sejak SMP.

Ben memperhatikan Tiara berjalan perlahan menghampiri altar, didahului oleh sepasang bocah laki-laki yang berperan sebagai pembawa cincin dan gadis kecil yang membawa keranjang bunga, menaburkan kelopak mawar sepanjang jalan. 

Senyum Tiara penuh, matanya hanya tertuju padanya. Sementara dirinya sesekali melirik sahabatnya yang khusus datang dari Amerika, yang duduk di barisan kursi depan bersama dua sahabat Tiara, Ruby dan Alana.

Tiara tiba di hadapannya. Ben menuntun tangannya untuk mengucap sumpah suci. Segala nasihat yang disampaikan bapak pendeta lewat dari pikiran dan pendengarannya.

Sejak tadi Ben berusaha menekan gelisah. Berkali-kali ia mencuri pandang pada sahabatnya, yang terlihat tenang. 

‘Ah, kenapa aku juga tidak tenang.’ Ben berkata dalam hati, ‘Kelihatannya dia baik-baik saja.’ 

“Benjamin Adam, bersediakan Anda menerima Tiara Larasati sebagai pendamping dalam susah dan senang, dalam suka dan duka, sampai maut memisahkan?” Suara pendeta membuyarkan dialog tunggal dalam hati Ben.

Ada jeda. Ben terdiam. Ia melayangkan pandang, pada para tamu yang hadir. Lalu matanya berhenti di wajah Mama. Mama menatapnya penuh harap dengan mata yang siap mengalirkan bening, kedua tangan Mama ditangkupkan di depan dada. Ben mengalihkan pandang, kembali menatap Tiara.

“Ya. Saya bersedia.” Tidak ada pilihan lain, ia harus melanjutkan ini.

“Tiara Larasati, bersediakan Anda mendampingi Benjamin Adam mengarungi hidup, melahirkan anak baginya, menjadi pendukung dalam segala keadaan, sampai maut memisahkan?”

Tiara menatap Ben. Ada genangan bening di matanya yang indah. 

“Ya… tentu saja. Saya bersedia.” Tiara mengangguk kuat-kuat. Genangan bening itu bergulir di pipinya.

Bapak pendeta meminta cincin yang dibawa oleh bocah pembawa cincin. Ben memandang wanita yang sebentar lagi resmi sebagai istrinya, sementara ekor matanya menangkap sosok sahabatnya yang lekat menatapnya. Ia merasa hatinya dicubit-cubit. Aliran empedu naik ke mulutnya. Ia merasa mual. 

Cincin disematkan di jari manis kanan masing-masing.

“Dengan disematkannya cincin di jemari kedua mempelai, saya nyatakan pernikahan ini sah. You may kiss the bride -Anda boleh mencium sang pengantin.” Bapak pendeta mengakhiri upacara.

Ben mencium kening Tiara sekilas. Desah kelegaan dan keharuan terdengar di tengah para hadirin. Resmi sudah mereka menjadi suami istri. Terikat dalam perkawinan suci.

Mulai hari ini mereka takkan terpisahkan lagi. Selamanya. Seumur hidup. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status