Share

5. Lelaki Sempurna (2)

Dengan izin Ibu, malam itu juga Tiara menulis surat balasan untuk Ben.

Hai Ben,

Iya, aku bersedia.

TiaRa, bukan TiaNa.

Membaca kembali surat balasan itu, Tiara terkikik. Jika Ibu punya cerita masa muda yang terus diulang tentang Bapak ganteng yang menaksirnya meskipun dia tidak terlalu cantik, Tiara punya cerita ini yang akan dia ceritakan pada anaknya nanti.

Hah, anak? 

Tiara menepuk dahinya sendiri. ‘Mikir jangan kejauhan!’ Dia membatin, lalu kembali terkikik.

Dan begitulah, mereka langsung jadian. Karena Ben akan melanjutkan kuliah ke Amerika, waktu kebersamaan mereka sangat sempit. Dalam dua minggu, Ben sudah membawa Tiara menghadap orang tua dan adik perempuannya, Mimi. 

Meskipun keluarga kaya raya, papa mama Ben sangat ramah dan tidak sombong. Apalagi Mimi, yang sangat ingin punya kakak perempuan, langsung menerimanya dengan hangat.

Mereka bertemu setiap hari, Ben mengantar Tiara pulang sekolah dengan mobilnya setiap hari. Meskipun awalnya Tiara merasa berkhianat pada dua sahabatnya, Ruby dan Alana, yang biasanya pulang bareng naik angkot. Namun, kedua sahabatnya itu sangat pengertian dan malah mendorong Tiara memanfaatkan waktu yang sempit sebaik-baiknya.

Dan karena Ben telah membawa Tiara ke hadapan orang tuanya, tentu saja Tiara pun memperkenalkan Ben pada Bapak dan Ibu. 

Melihat calon menantu yang cakap, tampan, sopan, berprestasi dan dari keluarga berada, tentu saja kedua orang tua Tiara langsung menerimanya. Tiga bulan kemudian, Ben menyematkan cincin di jari manis Tiara. Juga melingkarkan sebuah kalung di lehernya.

“Cinta jarak jauh terlalu berat untuk dijalani, Ara. Ini hanya tanda pengikat. Cincin ini dariku, dan kalung ini dari Mama. Keluargaku sangat menyayangimu. Mimi bahkan sangat memujamu, sampai aku tidak tahu yang kakaknya itu kamu atau aku. Berjanjilah kamu akan menungguku.”

Tiara membisu dengan mata berkaca-kaca. Kemudian mengangguk dan memeluk Ben erat-erat. Cinta yang baru bertunas ini, harus segera dipisahkan jarak. Betapa berat. Namun, Tiara yakin hatinya tidak akan berpaling.

Enam bulan kemudian, Ben lulus dan berangkat ke Boston, Amerika Serikat. 

“Aku berjanji akan pulang tiap semester, akan mengirim surat padamu setiap minggu, bahkan jika surat balasanmu belum aku terima, aku tetap akan menulis lagi. Aku juga akan meneleponmu setiap akhir pekan.” Ben menghapus air mata Tiara di bandara, lalu memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskannya.

Dan janji itu memang ditepati. Surat Ben selalu datang tanpa absen. Ben selalu meneleponnya tiap Sabtu malam dan selalu pulang setiap semester. Surat-surat Ben selalu menceritakan kehidupan kampus dan teman-teman barunya.

Sementara ketika menelepon, kerinduan mereka agak terobati karena mendengar suara masing-masing, meskipun suaranya timbul tenggelam. Saat itu teknologi belum semaju sekarang, komunikasi hanya mengandalkan metode konvensional.

Tiara yakin, Ben memang lelaki yang sempurna. Dia sangat beruntung memilikinya.

Setelah enam tahun menunggu, akhirnya Ben kembali, dengan gelar dokter di tangannya. Sebenarnya Ben berencana melanjutkan ke jurusan bedah kecantikan. Sebab, tiada guna belajar jauh-jauh ke Amerika di universitas terbaik, jika hanya menjadi dokter umum.

Namun, orang tuanya berpendapat, tidak adil bagi Tiara yang sudah lama menunggu, untuk menunggu lagi. Karena itu, lebih baik mereka melangsungkan pernikahan dahulu, lalu Tiara ikut ke Amerika, sementara Ben melanjutkan studi. 

Sebagai anak yang patuh, Ben menuruti keinginan orang tuanya. Tiara juga telah mempersiapkan diri, setelah lulus SMA dia hanya kursus Bahasa Inggris intensif, belajar menyetir mobil dengan setir kiri, dan mempelajari kebiasaan serta budaya Amerika agar di sana ia bisa bergaul.

Dan inilah hari besar itu. Hari pernikahan Tiara dan Ben. 

Ibu mencium kening Tiara, mengangkat kerudung pengantin melewati kepalanya. Menutupi wajah Tiara. Dipeluknya Tiara erat. 

“Bagi seorang Ibu, yang paling membahagiakan adalah saat mereka menyaksikan anak perempuannya menjadi pengantin.” Suara Ibu menahan haru. Air matanya menetes. Tiara mencium pipi Ibu dan mengusap air mata itu.

Tiara berjalan ke pintu menghampiri Bapak, yang juga menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Bapak akan mengiringinya ke altar, dimana Ben sedang menunggu, untuk menyerahkan anak perempuannya ke tangan lelaki itu, untuk dicintai dan dilindungi seumur hidupnya.  

Cinta Tiara dan Ben telah mengalahkan jarak dan waktu. Kini saatnya mereka dipersatukan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status