"Azlan," panggilku saat pagi hari menjemput.Lelaki itu bangun lebih awal, mungkin saja sudah tiga puluh menit yang lalu. Saat aku terbangun, rambutnya sudah basah dan dia mulai memakai pakaian dari lemari.Mendengar panggilanku, dia pun menoleh. "Ada apa, Ra?"Aku bangun, kemudian duduk dengan posisi kaki menekuk dan ujung ibu jari kaki saling bertemu. "Aku mau ngomong, Zlan."Azlan tersenyum, dia menghentikan aktivitas mengaitkan kancing kemeja. Lalu, berjalan mendekat. "Selamat pagi, Sayang ... adek bayi mau apa pagi ini?" ucapnya seraya mengelus perutku yang masih rata.Aku membiarkan Azlan mengelus dan menciumi perutku, kemudian berceloteh seolah sedang bicara dengan bayi."Adek bayi jangan nakal ya, jangan bikin Mama muntah-muntah. Kasihan ya ....""Aku maunya dipanggil ibu, dan nanti anak ini harus memanggilmu ayah." Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibir.Mendengar permintaan itu, Azlan mendongak. Wajahnya menandakan ada sebuah pertanyaan akan maksud dari ucapanku.Menyad
Sore ini aku pulang, sengaja memaksa cabut jarus infus meskipun Elina melarang. Aku tak peduli dengan kondisiku yang sebenarnya belum seratus persen pulih. Hanya saja, tekadku sudah bulat. Aku ingin menghadiri jamuan keluarga Wijaya Pratama pada tamunya nanti malam.Ya, aku memaksa diri untuk kuat. Daripada penasaran wanita seperti apa yang akan dijodohkan dengan Azlan, lebih baik datang dan melihat. Siapa tahu, setelah itu aku akan punya cara untuk menggagalkan rencana pernikahan mereka."Ra, biar aku antar. Aku nggak mau kamu kenap-napa di jalan," ujar Elina seraya memegang lengan kananku."Auww! Sakit tahu, El. Masih lihat tangan ini diperban, kan?""I ... iya, maaf. Aku nggak sengaja, tapi tolong jangan pulang sendirian."Dahiku mengernyit, menatap sejenak ke arah Elina. Aku tahu, dia bukan khawatir keadaanku, tapi dia takut jika kondisiku berpengaruh pada janin yang aku kandung.Jujur, saat melihat Elina seperti itu, aku merasa kasihan pada wanita yang kusangka bahagia dengan lim
Mataku membelalak dan mulut menganga saat mobil Azlan memasuki gerbang sebuah rumah yang sangat megah dan mewah. Kemegahan rumah itu mengalahkan rumah yang ditempat Azlan dan Elina. Kuperkirakan luas dan mewahnya tiga kali lipat dari rumah Elina.Pantas saja Elina sangat menginginkan harta keluarga Wijaya Pratama. Ternyata, rumahnya saja seperti istana. Sangat lux desain yang dipilih. Dari luar sudah jelas terlihat betapa kayanya sang pemilik, apalagi di dalamnya."Ra, ayo masuk!" ajak Azlan yang melihat aku sejak tadi hanya diam mematung dengan ekspresi kagum."Azlan, ini rumah nyokap lo?"Azlan geleng-geleng sambil mendecih. "Ra, ingat ya ... jangan pakai kata lo gue di rumah ini. Itu akan terdengar tidak sopan, dan Mama paling tidak suka itu.""Eh iya, gue lupa. Ehm ... maksud gue, eh aku ... huff, oke sorry! Itu tadi spontanitas saja.""Ya sudah, ayo masuk.""Ehm ... boleh gandeng nggak?" tanyaku dengan sikap manja dan malu-malu."Nara Paramitha ... di sini kita tidak bisa bergand
"Nara? A ... Azlan?" Flora terbata-bata saat menjawab, pastinya dia juga syok saat melihat kami.Wajah Flora seketika pias, sedangkan Azlan seperti orang yang bingung mau berbuat apa. Dan aku ... ah, aku bisa apa selain hanya mematung dengan mata membelalak dan mulut menganga.Sungguh ini sebuah kejutan di luar dugaan. Siapa sangka yang bayar Flora untuk jadi anaknya ternyata kawan lama dari Pak Wijaya. Tapi kenapa Flora tidak cerita? Apakah dia sengaja atau memang tidak tahu?"Lho, kalian sudah kenal?" tanya Bu Wijaya.Bukannya menjawab, kami bertiga justru mengarahkan pandangan ke Pak Robby dan istrinya. Seolah paham dengan kebingungan Flora, akhirnya Pak Robby berdiri dan mendekati Flora."Duduk dulu, Bella." Pak Robby mengajak Flora untuk duduk di kursi tepat di hadapan Azlan."Tunggu, tunggu ... nama anak kamu ini Bella atau Flora, Rob?" tanya Pak Wijaya kebingungan."Begini, Bro. nama lengkap Bella itu ... ehm ... Flora Salsabila. Teman kecilnya panggil dia Flora, dan di rumah d
"Lama amat kamu, Ra?" tanya Azlan setengah berbisik ketika aku baru saja mendaratkan tulang duduk."Nggak usah berisik!" sahutku tanpa melihatnya, lalu berpura-pura tersenyum dengan Bu Wijaya yang memang memperhatikan aku dan Azlan."Maaf, saya terlalu asyik di toilet sampai lupa balik. Habisnya, lukisan di lorongnya itu keren banget." Aku masih berusaha mencari alasan dan mengulas senyum, berharap tidak akan dicurigai."Iya, Tante. Bagus banget lukisan dan juga desain interiornya. Selera Tante memang kelas elit," puji Flora menimpali kebohonganku."Ah, kalian ini bisa aja." Bu Wijaya tersenyum dengan ekspresi pura-pura tersipu.Acara makan malam telah berakhir, acara dilanjutkan dengan obrolan ringan di ruang tamu. Tentu saja obrolan itu bermuara pada rencana mereka, yaitu perjodohan antara Bella—si anak adopsi palsu—dengan Azlan.Dengan seksama, aku menyimak. Berharap ada kesempatan untuk menyela dan membuat rencana perjodohan gagal tanpa memberatkan Flora, karena kasihan jika harus
Dengan langkah gontai, aku berjalan tanpa tahu arah. Bahkan aku tak peduli dengan sekitar, termasuk tatapan orang-orang yang melihatku. Hingga tanpa aku sadari, sebuah mobil menepi dan menghalangi jalanku.Kepalaku mulai berputar, jalanku pun mulai terhuyung. Di saat hampir limbung, tangan seseorang menangkap tubuhku."Nara, kamu kenapa, Ra?" tanya lelaki yang wajahnya samar-samar aku lihat.Beberapa kali aku mengerjapkan mata agar kesadaranku tidak hilang. Mata juga turut berkabut akibat terlalu banyak menangis, sembab dan berat rasanya.Dapat kurasakan lelaki itu membopong tubuhku yang lunglai, aku hanya bisa pasrah tanpa bisa menolak. Beberapa saat kemudian, kurasakan tenggorokanku basah oleh air dan membuat kesadaranku semakin membaik."Nara, apa yang terjadi denganmu, Ra? Kenapa kamu sampai seperti ini?" lelaki itu kembali bertanya.Samar-samar aku mulai mengenali wajah dan suaranya. "Om Fadli?" sontak aku kaget.Aku baru menyadari posisiku sekarang telah berada dalam mobilnya. R
(POV Azlan)Namaku Azlan Wijaya Pratama, satu-satunya penerus kerajaan bisnis Wijaya Pratama. Saat ini, aku terjebak dalam sebuah pernikahan toxic. Aku sadar bahwa wanita yang aku nikahi, mulai berubah. Dia bukan lagi seorang gadis sederhana seperti yang dulu kukenal.Aku mengenalnya saat masih kuliah, dia begitu lugu dan polos. Bahkan saat dibully oleh gadis yang sangat menyukaiku, dia tak berani membalas. Sejak saat itu, aku berusaha dekat dengannya dan ingin melindungi dia.Elina, gadis cantik tanpa kehidupan yang glamour. Waktu itu, ayahnya mengalami kebangkrutan dan Elina harus berjuang agar tetap bisa lanjut kuliah. Dia wanita yang pantang menyerah jika sudah punya keinginan.Melihat ketangguhannya, aku jatuh cinta dengan Elina. Bahkan diam-diam memberikan uang modal untuk ayahnya agar bisa memulai usaha kembali. Tentu saja itu uang pemberian Papa yang selama ini aku kumpulkan.Walaupun aku terlahir di keluarga kaya raya, tetapi Mama dan Papa mengajarkan padaku untuk tidak boros
(POV Azlan)"Mas Azlan beneran mau ke Bandung?" tanya Elina yang seakan meragukan kepergianku untuk urusan kerjaan.Aku tahu, dia pasti curiga dan berpikir kalau aku hanya beralasan agar bisa bersama dengan Nara. Sikap Elina semakin posesif sejak mendapati aku mengigau, dalam igauan tersebut katanya aku mendesah seraya menyebut nama Nara. Ah, bodohnya aku. Kenapa sering kali memikirkan Nara, membayangkan bercinta dengannya. Tanpa kusadari sampai terbawa di bawah alam sadar."Mas," panggil elina kembali."Elina sayang, istriku yang teramaaaat aku cintai. Kamu bisa tanya ke Dara, tanya saja apa agenda kerjaku dan dengan siapa di sana aku akan bertemu.""Halah, bisa saja kamu bayar sekretarismu itu untuk bohong, Mas.""Elina, cukup ya. Kalau alasan cemburumu karena igauan itu, harusnya kamu mikir donk. Siapa yang menyuruhku untuk meniduri wanita lain? Aku lelaki normal, El. Meskipun hatiku tidak menginginkan, tapi otakku tidak bisa menolak." Akhirnya kekesalanku tertumpah."Sudahlah, El