POV Azlan"Nara hanyalah istri ....""Karena Nara hanya istri kedua? Terus dianggap pelakor begitu?" sahut Mama memotong kalimat Flora yang tampak ragu-ragu."Apa salahnya Azlan nikah lagi? Bukankah Azlan juga butuh keturunan? Aku jadi curiga, jangan-jangan kehamilan Elina kali ini juga bohong?" ujar Mama dengan ekspresi berpikir, lalu menatapku tajam.Duh, bagaimana aku harus menjaga rahasia kalau begini? Kali ini Elina jelas tak akan terselamatkan posisinya. Mama masti langsung akan memintaku untuk menceraikan wanita yang menemaniku lebih dari delapan tahun, bahkan sejak kami sama-sama masih kuliah.Apa yang harus aku lakukan sekarang? Membiarkan kebohongan terbongkar sama artinya dengan melempar Elina ke dasar jurang kelam."Azlan, jujur ke Mama. Apa kehamilan Elina yang sekarang juga bohong lagi?" Pertanyaan Mama penuh penekanan, bahkan tatapannya seolah hendak menelanku bulat-bulat.Aku masih mematung, tak tahu harus mengambil keputusan apa."Tentu saja bohong, Tante. Karena nia
POV AzlanDua tahun telah berlalu ....Duka yang pernah ada, tak begitu terlihat. Meskipun sebenarnya mendung kelam belum sepenuhnya sirna, tetapi kehadiran putra pertamaku membawa ribuan kebahagiaan.Mama dan Papa sering menghabiskan waktu bersama cucu pertama dan satu-satunya. Anak yang kuberi nama Azra Putra Wijaya itu, dia berlimpah kasih sayang. Kakek dan neneknya begitu menyayangi dan menjaga, dan semua yang di rumah turut menjaga dengan cinta kasih.Kerinduanku akan Nara sedikit terobati saat melihat wajah Azra. Meskipun anak lelaki, tapi mata dan bibirnya mirip Nara. Saat malam, kutatap wajah putraku lebih dalam, lalu menciuminya.Sering air mata itu menetes di setiap malam. Antara sesal dan kerinduan, menjadi satu dan terus menyiksa.Hari ini genap dua tahun sudah Nara koma di rumah sakit. Hari yang bertepatan dengan hati lahirnya Azra. Seperti tahun sebelumnya, kami tidak menggelar pesta ulang tahun, melainkan menggelar doa bersama. Mendoakan agar Azra tumbuh sehat dan panj
"Azlan, Nara sudah sadar!" teriak Flora dari depan pintu ruang ICU.Teriakan Flora membuyarkan doa khusyuk yang tengah aku panjatkan. Seketika mata membuka, berharap ini bukan sebuah mimpi.Di depan pintu, wajah Flora tampak begitu bahagia. Bahkan ada tetes bening dari sudut mata, tanda luapan rasa bahagia yang tak terhingga."Apa kamu tidak lagi bohong kan, Flo?"Flora menggeleng, senyum merekah lepas."Tadi, saat aku dan mamamu masuk, nggak sengaja melihat jemari Nara bergerak."Bergerak? Itu artinya yang aku rasakan sebelumnya adalah hal benar, bukan sekedar perasaanku saja. "Nah, aku coba untuk berinteraksi dengannya. Beberapa menit kemudian, dia makin merespon dengan gerakan mata dia yang terpejam. Akhirnya aku tekan nurse call untuk memanggil dokter dan perawat. Dan ternyata, mata Nara beneran mulai terbuka." Nara menyampaikan dengan penuh semangat.Aku terpaku, seolah masih belum percaya. Beberapa kali kutepuk pipi, hanya untuk meyakinkan. Flora yang melihat kelakuanku, segera
Pertanyaan Flora terngiang hingga malam hari. Di dalam kamar, kegelisahan ini terus saja menggerus pikiran. Entah sudah beberapa kali kaki ini keluar masuk dari balkon, ke luar kamar, dan kembali lagi ke ranjang.Beberapa kali sudah kuhela napas panjang dan berat, nyatanya kecemasan dan kegelisahan tak jua mereda. Hingga akhirnya aku putuskan untuk keluar dari kamar, menuju dapur yang menyatu dengan ruang makan.Aku seduh secangkir kopi, lalu menikmatinya di bar kecil. Berharap secangkir kopi mampu menenangkan batin yang terus bergejolak."Kamu belum tidur, Zlan?" Tiba-tiba suara Mama sudah di belakangku, dia memgambil minuman dari lemari pendingin.Cukup kaget dengan kehadiran Mama yang tiba-tiba, atau mungkin karena pikiranku penuh sehingga tidak mendengar langkah kakinya."Iya, Ma.""Kenapa? Bukannya kamu sudah bahagia, karena akhirnya istrimu sudah siuman?""Ma, boleh Azlan bicara dengan Mama?" Akhirnya aku coba beranikan diri untuk bicara dengan Mama."Soal apa?" tanya Mama seray
POV AzlanPernikahan kami digelar dengan sangat sederhana. Hanya memgundang kerabat saja. Semua sesuai permintaan Nara, tidak menggelar pesta mewah apalagi sampai diliput media.Alasan Nara adalah agar keberadaan dia tetap aman dari ibunya. Masuk akal, karena aku tahu bagaimana sikap ibunya Nara ke dia. Jika sampai tahu, bahaya juga untuk keluargaku.Bisa saja wanita itu merongrong kekayaanku, atau lebih parahnya semua rahasia yang aku tutupi sudah pasti terbongkar. Mama tentunya akan menolak jika tahu Nara adalah wanita bayaran, sedangkan Papa bisa anfal lagi.Malam pengantin tak dapat kunikmati, mengingat kondisi Nara yang masih belum seratus persen pulih. Bahkan cidera bagian pinggang juga masih membuatnya tak kuat berdiri. Setiap digerakkan, dia masih merasakan nyeri di bagian tulang ekor.Namun, semua itu tak membuat kebahagiaan sirna. Justru pernikahan yang siang tadi digelar, membuat setiap rasa menjadi sempurna. Cinta yang bermula dari kenyamanan, sekarang membuatku tak mampu
POV NaraTubuh yang masih lemah, dan hanya duduk di kursi roda. Itulah kondisiku sekarang. Akibat serangan brutal yang dilakukan Elina, aku mengalami cidera kepala dan tulang belakang.Entah apa yang terjadi denganku, seingatku hanya saat terakhir ketika dokter mengatakan bayi dalam kandungan butuh penanganan. Setelah itu, aku tak mengingat apapun. Hanya ruang gelap tanpa memori.Masih bisa bangun dari tidur panjang--kata Azlan koma selama dua tahun--itu membuatku sangat bersyukur. Siapa sangka, dengan kondisi parah aku masih bisa bertahan. Mungkin ini kehendak Tuhan yang memberi kesempatan kedua.Aku merasa jika kesempatan hidup kembali adalah jawaban dari doaku sebelumnya. Aku telah berjanji, jika selamat maka aku akan merawat bayiku dengan tangan ini. Doa yang terpanjat telah terkabul, dan aku harus menepati.Janji akan menjadi orang yang baik pun mengubah cara pikir yang selama ini aku anut. Tidak ingin lagi menghalalkan banyak cara demi harta. Itu sebabnya aku sampaikan keinginan
Ra, ijinkan aku memelukmu yang terakhir kali. Aku janji, setelah ini aku akan menjauh dari kehidupanmu," pinta Ryan dengan suara memelas.Aku hanya terdiam tanpa ekspresi saat lelaki itu memelukku, meluapkan apa yang menjadi keresahannya. Hingga tak kusangka, Azlan masuk dan membuat Ryan terkejut.Hampir saja lelaki itu kena bogem mentah, dengan sikap aku menghalangi. Bukan ingin membela, tapi aku memang sudah lelah dengan banyak drama kehidupan.Saat ini, aku hanya ingin menikmati hidup yang sudah terlalu hambar.Kebodohan Azlan masih terus berlanjut. Entah apa yang ada di otaknya, sehingga dia berniat menjodohkan Ryan dengan Flora. Semua ide konyol Azlan sontak membuatku tersedak, begitu juga dengan Ryan.Tak ingin berlama-lama dengan kekonyolan itu, aku pun meminta untuk segera keluar dari suasana tak nyaman tersebut. Azlan segera menuruti permintaanku, apalagi melihat aku memegang kepala.Dengan sigap Azlan menggendongku keluar bilik resto, dan meletakkan tubuh ini kembali ke kurs
Apa salahku jika temanmu adalah bagian dari masa laluku?" tanyaku dengan tatapan nanar."Azlan, seharusnya sejak awal kamu sadari resiko mencintai wanita bayaran. Apa sekarang kamu jijik denganku?"Azlan masih terdiam, dia menangkupkan wajah memeluk kemudi.Sebenarnya aku bisa memahami kecewanya dia. Namun, apa yang bisa aku lakukan? Apa aku harus memutar waktu, lalu merevisi semua kisah hidupku?Azlan mendongakkan wajah, lalu menatapku dengan tajam. "Kapan terakhir kali kalian berhubungan? Apa saat kamu hamil pun kamu melayani dia?" Pertanyaan Azlan semakin membuat perasaan ini hancur, seperti wanita yang tak ada harga diri lagi. Ingin sekali aku tampar mulut lantam itu. Namun, rasanya itu percuma.Untuk kesekian kali aku menghela napas panjang, mencoba menetralisis gemuruh dalam dada."Aku rasa kita tak perlu bicara lagi, Zlan. Lebih baik, kamu segera urus surat cerai!" ucapku tanpa peduli bahwa usia pernikahan resmi baru dua hari.Aku hendak membuka pintu dan berniat keluar, meski