"Azlan, Nara sudah sadar!" teriak Flora dari depan pintu ruang ICU.Teriakan Flora membuyarkan doa khusyuk yang tengah aku panjatkan. Seketika mata membuka, berharap ini bukan sebuah mimpi.Di depan pintu, wajah Flora tampak begitu bahagia. Bahkan ada tetes bening dari sudut mata, tanda luapan rasa bahagia yang tak terhingga."Apa kamu tidak lagi bohong kan, Flo?"Flora menggeleng, senyum merekah lepas."Tadi, saat aku dan mamamu masuk, nggak sengaja melihat jemari Nara bergerak."Bergerak? Itu artinya yang aku rasakan sebelumnya adalah hal benar, bukan sekedar perasaanku saja. "Nah, aku coba untuk berinteraksi dengannya. Beberapa menit kemudian, dia makin merespon dengan gerakan mata dia yang terpejam. Akhirnya aku tekan nurse call untuk memanggil dokter dan perawat. Dan ternyata, mata Nara beneran mulai terbuka." Nara menyampaikan dengan penuh semangat.Aku terpaku, seolah masih belum percaya. Beberapa kali kutepuk pipi, hanya untuk meyakinkan. Flora yang melihat kelakuanku, segera
Pertanyaan Flora terngiang hingga malam hari. Di dalam kamar, kegelisahan ini terus saja menggerus pikiran. Entah sudah beberapa kali kaki ini keluar masuk dari balkon, ke luar kamar, dan kembali lagi ke ranjang.Beberapa kali sudah kuhela napas panjang dan berat, nyatanya kecemasan dan kegelisahan tak jua mereda. Hingga akhirnya aku putuskan untuk keluar dari kamar, menuju dapur yang menyatu dengan ruang makan.Aku seduh secangkir kopi, lalu menikmatinya di bar kecil. Berharap secangkir kopi mampu menenangkan batin yang terus bergejolak."Kamu belum tidur, Zlan?" Tiba-tiba suara Mama sudah di belakangku, dia memgambil minuman dari lemari pendingin.Cukup kaget dengan kehadiran Mama yang tiba-tiba, atau mungkin karena pikiranku penuh sehingga tidak mendengar langkah kakinya."Iya, Ma.""Kenapa? Bukannya kamu sudah bahagia, karena akhirnya istrimu sudah siuman?""Ma, boleh Azlan bicara dengan Mama?" Akhirnya aku coba beranikan diri untuk bicara dengan Mama."Soal apa?" tanya Mama seray
POV AzlanPernikahan kami digelar dengan sangat sederhana. Hanya memgundang kerabat saja. Semua sesuai permintaan Nara, tidak menggelar pesta mewah apalagi sampai diliput media.Alasan Nara adalah agar keberadaan dia tetap aman dari ibunya. Masuk akal, karena aku tahu bagaimana sikap ibunya Nara ke dia. Jika sampai tahu, bahaya juga untuk keluargaku.Bisa saja wanita itu merongrong kekayaanku, atau lebih parahnya semua rahasia yang aku tutupi sudah pasti terbongkar. Mama tentunya akan menolak jika tahu Nara adalah wanita bayaran, sedangkan Papa bisa anfal lagi.Malam pengantin tak dapat kunikmati, mengingat kondisi Nara yang masih belum seratus persen pulih. Bahkan cidera bagian pinggang juga masih membuatnya tak kuat berdiri. Setiap digerakkan, dia masih merasakan nyeri di bagian tulang ekor.Namun, semua itu tak membuat kebahagiaan sirna. Justru pernikahan yang siang tadi digelar, membuat setiap rasa menjadi sempurna. Cinta yang bermula dari kenyamanan, sekarang membuatku tak mampu
POV NaraTubuh yang masih lemah, dan hanya duduk di kursi roda. Itulah kondisiku sekarang. Akibat serangan brutal yang dilakukan Elina, aku mengalami cidera kepala dan tulang belakang.Entah apa yang terjadi denganku, seingatku hanya saat terakhir ketika dokter mengatakan bayi dalam kandungan butuh penanganan. Setelah itu, aku tak mengingat apapun. Hanya ruang gelap tanpa memori.Masih bisa bangun dari tidur panjang--kata Azlan koma selama dua tahun--itu membuatku sangat bersyukur. Siapa sangka, dengan kondisi parah aku masih bisa bertahan. Mungkin ini kehendak Tuhan yang memberi kesempatan kedua.Aku merasa jika kesempatan hidup kembali adalah jawaban dari doaku sebelumnya. Aku telah berjanji, jika selamat maka aku akan merawat bayiku dengan tangan ini. Doa yang terpanjat telah terkabul, dan aku harus menepati.Janji akan menjadi orang yang baik pun mengubah cara pikir yang selama ini aku anut. Tidak ingin lagi menghalalkan banyak cara demi harta. Itu sebabnya aku sampaikan keinginan
Ra, ijinkan aku memelukmu yang terakhir kali. Aku janji, setelah ini aku akan menjauh dari kehidupanmu," pinta Ryan dengan suara memelas.Aku hanya terdiam tanpa ekspresi saat lelaki itu memelukku, meluapkan apa yang menjadi keresahannya. Hingga tak kusangka, Azlan masuk dan membuat Ryan terkejut.Hampir saja lelaki itu kena bogem mentah, dengan sikap aku menghalangi. Bukan ingin membela, tapi aku memang sudah lelah dengan banyak drama kehidupan.Saat ini, aku hanya ingin menikmati hidup yang sudah terlalu hambar.Kebodohan Azlan masih terus berlanjut. Entah apa yang ada di otaknya, sehingga dia berniat menjodohkan Ryan dengan Flora. Semua ide konyol Azlan sontak membuatku tersedak, begitu juga dengan Ryan.Tak ingin berlama-lama dengan kekonyolan itu, aku pun meminta untuk segera keluar dari suasana tak nyaman tersebut. Azlan segera menuruti permintaanku, apalagi melihat aku memegang kepala.Dengan sigap Azlan menggendongku keluar bilik resto, dan meletakkan tubuh ini kembali ke kurs
Apa salahku jika temanmu adalah bagian dari masa laluku?" tanyaku dengan tatapan nanar."Azlan, seharusnya sejak awal kamu sadari resiko mencintai wanita bayaran. Apa sekarang kamu jijik denganku?"Azlan masih terdiam, dia menangkupkan wajah memeluk kemudi.Sebenarnya aku bisa memahami kecewanya dia. Namun, apa yang bisa aku lakukan? Apa aku harus memutar waktu, lalu merevisi semua kisah hidupku?Azlan mendongakkan wajah, lalu menatapku dengan tajam. "Kapan terakhir kali kalian berhubungan? Apa saat kamu hamil pun kamu melayani dia?" Pertanyaan Azlan semakin membuat perasaan ini hancur, seperti wanita yang tak ada harga diri lagi. Ingin sekali aku tampar mulut lantam itu. Namun, rasanya itu percuma.Untuk kesekian kali aku menghela napas panjang, mencoba menetralisis gemuruh dalam dada."Aku rasa kita tak perlu bicara lagi, Zlan. Lebih baik, kamu segera urus surat cerai!" ucapku tanpa peduli bahwa usia pernikahan resmi baru dua hari.Aku hendak membuka pintu dan berniat keluar, meski
Ruang makan telah ramai oleh suara tawa. Kakek dan nenek Azlan datang tiga puluh menit yang lalu, hanya saja aku belum sempat menyambut.Azlan tidak memaksa untuk ikut keluar, karena saat itu dia tahu aku kesakitan lagi. Kepalaku terasa sakit di bagian belakang. Setiap berpikir keras, pasti akan nyeri yang teramat sangat. Bahkan terkadang asma juga kambuh.Gara-gara foto masa muda ibu, sekarang aku harus dipusingkan oleh banyak hal. Serasa pikiran ini berada dalam labirin panjang, sulit untuk menemukan jalan keluar."Nara, apa kamu sudah mendingan?" tanya Azlan yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.Aku menoleh, lalu mengangguk."Yuk, ikutan makan bareng!" ajak Azlan seraya menyiapkan kursi roda."Kok pakai kursi roda?" tanyaku heran."Biar kamu nggak capek jalan.""Aku bisa pakai alat bantu jalan, Zlan. Nggak usah."Azlan tidak mau mendengarkan apa kataku. Dia langsung mengangkat tubuhku ke kursi roda, lalu mendorongnya ke depan meja rias.Azlan mulai merapikan rambutku, lalu mengika
Hari masih pagi ketika Flora datang. Bahkan Azlan saja belum selesai sarapan, sehingga kehadiran Flora turut menyita perhatian lelaki tampan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya itu."Pagi, Om, Tante!" sapa Flora pada Pak Wijaya dan istrinya.Mereka menjawab dengan sedikit anggukan. "Sini gabung, Flo. Ikutan sarapan!" Bu Wijaya menawarkan seraya menepuk kecil meja, mengisyaratkan agar Flora turut duduk di dekatnya."Terima kasih, Tante." Flora tanpa rasa sungkan turut duduk dan mulai mengambil menu yang tersaji."Tumben pagi sekali sudah datang, ada apa?""Ini, Tante ... mau nengokin sahabat tercinta," ujar Flora seraya tersenyum dan pandangannya ke arahku.Feeling aku sudah tidak enak, kurasa ada kejadian penting yang membuat Flora ingin menemuiku. Aku hanya memberikan senyum terpaksa, lebih tepatnya senyum yang dibuat-buat dan itu pasti akan terlihat aneh."Flora, aku tidak ijinkan kamu membawa Nara keluar. Jika ingin bicara, bicara saja di rumah. Nggak perlu ke cafe atau ke mal