POV NaraTubuh yang masih lemah, dan hanya duduk di kursi roda. Itulah kondisiku sekarang. Akibat serangan brutal yang dilakukan Elina, aku mengalami cidera kepala dan tulang belakang.Entah apa yang terjadi denganku, seingatku hanya saat terakhir ketika dokter mengatakan bayi dalam kandungan butuh penanganan. Setelah itu, aku tak mengingat apapun. Hanya ruang gelap tanpa memori.Masih bisa bangun dari tidur panjang--kata Azlan koma selama dua tahun--itu membuatku sangat bersyukur. Siapa sangka, dengan kondisi parah aku masih bisa bertahan. Mungkin ini kehendak Tuhan yang memberi kesempatan kedua.Aku merasa jika kesempatan hidup kembali adalah jawaban dari doaku sebelumnya. Aku telah berjanji, jika selamat maka aku akan merawat bayiku dengan tangan ini. Doa yang terpanjat telah terkabul, dan aku harus menepati.Janji akan menjadi orang yang baik pun mengubah cara pikir yang selama ini aku anut. Tidak ingin lagi menghalalkan banyak cara demi harta. Itu sebabnya aku sampaikan keinginan
Ra, ijinkan aku memelukmu yang terakhir kali. Aku janji, setelah ini aku akan menjauh dari kehidupanmu," pinta Ryan dengan suara memelas.Aku hanya terdiam tanpa ekspresi saat lelaki itu memelukku, meluapkan apa yang menjadi keresahannya. Hingga tak kusangka, Azlan masuk dan membuat Ryan terkejut.Hampir saja lelaki itu kena bogem mentah, dengan sikap aku menghalangi. Bukan ingin membela, tapi aku memang sudah lelah dengan banyak drama kehidupan.Saat ini, aku hanya ingin menikmati hidup yang sudah terlalu hambar.Kebodohan Azlan masih terus berlanjut. Entah apa yang ada di otaknya, sehingga dia berniat menjodohkan Ryan dengan Flora. Semua ide konyol Azlan sontak membuatku tersedak, begitu juga dengan Ryan.Tak ingin berlama-lama dengan kekonyolan itu, aku pun meminta untuk segera keluar dari suasana tak nyaman tersebut. Azlan segera menuruti permintaanku, apalagi melihat aku memegang kepala.Dengan sigap Azlan menggendongku keluar bilik resto, dan meletakkan tubuh ini kembali ke kurs
Apa salahku jika temanmu adalah bagian dari masa laluku?" tanyaku dengan tatapan nanar."Azlan, seharusnya sejak awal kamu sadari resiko mencintai wanita bayaran. Apa sekarang kamu jijik denganku?"Azlan masih terdiam, dia menangkupkan wajah memeluk kemudi.Sebenarnya aku bisa memahami kecewanya dia. Namun, apa yang bisa aku lakukan? Apa aku harus memutar waktu, lalu merevisi semua kisah hidupku?Azlan mendongakkan wajah, lalu menatapku dengan tajam. "Kapan terakhir kali kalian berhubungan? Apa saat kamu hamil pun kamu melayani dia?" Pertanyaan Azlan semakin membuat perasaan ini hancur, seperti wanita yang tak ada harga diri lagi. Ingin sekali aku tampar mulut lantam itu. Namun, rasanya itu percuma.Untuk kesekian kali aku menghela napas panjang, mencoba menetralisis gemuruh dalam dada."Aku rasa kita tak perlu bicara lagi, Zlan. Lebih baik, kamu segera urus surat cerai!" ucapku tanpa peduli bahwa usia pernikahan resmi baru dua hari.Aku hendak membuka pintu dan berniat keluar, meski
Ruang makan telah ramai oleh suara tawa. Kakek dan nenek Azlan datang tiga puluh menit yang lalu, hanya saja aku belum sempat menyambut.Azlan tidak memaksa untuk ikut keluar, karena saat itu dia tahu aku kesakitan lagi. Kepalaku terasa sakit di bagian belakang. Setiap berpikir keras, pasti akan nyeri yang teramat sangat. Bahkan terkadang asma juga kambuh.Gara-gara foto masa muda ibu, sekarang aku harus dipusingkan oleh banyak hal. Serasa pikiran ini berada dalam labirin panjang, sulit untuk menemukan jalan keluar."Nara, apa kamu sudah mendingan?" tanya Azlan yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.Aku menoleh, lalu mengangguk."Yuk, ikutan makan bareng!" ajak Azlan seraya menyiapkan kursi roda."Kok pakai kursi roda?" tanyaku heran."Biar kamu nggak capek jalan.""Aku bisa pakai alat bantu jalan, Zlan. Nggak usah."Azlan tidak mau mendengarkan apa kataku. Dia langsung mengangkat tubuhku ke kursi roda, lalu mendorongnya ke depan meja rias.Azlan mulai merapikan rambutku, lalu mengika
Hari masih pagi ketika Flora datang. Bahkan Azlan saja belum selesai sarapan, sehingga kehadiran Flora turut menyita perhatian lelaki tampan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya itu."Pagi, Om, Tante!" sapa Flora pada Pak Wijaya dan istrinya.Mereka menjawab dengan sedikit anggukan. "Sini gabung, Flo. Ikutan sarapan!" Bu Wijaya menawarkan seraya menepuk kecil meja, mengisyaratkan agar Flora turut duduk di dekatnya."Terima kasih, Tante." Flora tanpa rasa sungkan turut duduk dan mulai mengambil menu yang tersaji."Tumben pagi sekali sudah datang, ada apa?""Ini, Tante ... mau nengokin sahabat tercinta," ujar Flora seraya tersenyum dan pandangannya ke arahku.Feeling aku sudah tidak enak, kurasa ada kejadian penting yang membuat Flora ingin menemuiku. Aku hanya memberikan senyum terpaksa, lebih tepatnya senyum yang dibuat-buat dan itu pasti akan terlihat aneh."Flora, aku tidak ijinkan kamu membawa Nara keluar. Jika ingin bicara, bicara saja di rumah. Nggak perlu ke cafe atau ke mal
Pak Wijaya menatapku begitu lekat, seakan ingin menemukan sebuah kebenaran tentang siapa diriku."Apa maksud kamu?" tanya Pak Wijaya tanpa melepas pandangan ke arahku.Aku seperti tersentak dari lamunan masa lalu. Menyadari kalimat yang sudah meluncur, jelas tak dapat kutarik kembali. Memilih diam sejenak untuk menemukan kalimat yang tepat untuk memulai semuanya.Kuhela napas, lalu menghembuskan perlahan."Pa, maaf jika aku ingin tahu hubungan Papa dengan wanita bernama Rosmala itu. Aku juga ingin tahu, apa maksud dari tulisan yang tertera di belakang foto yang Papa buang."Wajah Pak Wijaya seketika pias. Mungkin dia tak menyangka jika aku bisa mengetahui itu semua."Dari mana kamu tahu itu semua?" tanya Pak Wijaya dengan suara agak bergetar.Aku bangkit, lalu menarik laci nakas dan mengambil secarik foto yang bertambal isolasi."Ini, Pa. Jujur, aku juga kaget saat tahu kertas yang Papa buang adalah Bu Rosmala." Kuulurkan foto itu dan Pak Wijaya menerimanya.Sejenak dia memandangi fot
(17 Bab Menuju Tamat)Mendengar penuturan Bu Wijaya, sama rasanya tersambar petir. Masa lalu kelam bukan hanya milikku, tetapi telah tercipta sejak wanita itu masih muda. Mungkin, apa yang terjadi padaku adalah salah satu penebusan dosa ibuku di masa lalu."Nara ... jujur saat melihatmu, Mama sempat berpikir kamu adalah anak dari wanita sun dal itu. Beruntungnya bukan, dan Mama nggak akan sanggup jika memiliki menantu dari keturunan wanita yang telah berusaha menghancurkan keluargaku."Azlan meraih tanganku tanpa menoleh, lalu menggenggam erat seolah ingin menegaskan bahwa dia akan selalu ada untukku, dia ingin menguatkan hati yang semakin rapuh ini.Ucapan Bu Wijaya membuatku semakin hancur. Tubuh ini hanya bisa mematung, pikiran semakin kacau balau. Tiba-tiba nyeri di kepala menyerang. Aku memekik akibat rasa sakit yang tiba-tiba menghantam di kepala bagian belakang."Aaauwww!!! Sakit sekali, Azlan!" teriakku seraya memegangi kepala.Teriakanku membuat Azlan dan Bu Wijaya panik. "L
Untuk sesaat aku mematung. Pikiranku mencoba mencerna dan menghubungkan antara cerita nenek dengan cerita Oma barusan."Oma, tapi kata Nenek ... ibu dihamili orang tidak bertanggungjawab, dan akhirnya ditinggalin pacar yang akan menikahinya. Mana yang benar?" tanyaku dengan rasa penasaran yang sangat tinggi.Oma tersenyum. "Aku tahu, pasti Rosmala mengarang cerita untuk menutupi keburukannya. Fadli berniat ingin menikahinya, walaupun tidak mendapatkan restu dari kami. Hanya saja, Rosmala kabur setelah kehamilannya mulai membesar. Bahkan Fadli sempat depresi akibat kepergian Rosmala."Ada raut kesedihan di mata tua itu. "Hingga akhirnya dia memutuskan menikah dengan wanita yang waktu itu terus mengejarnya. Dia seperti kehilangan arah, sudah kehilangan hak waris masih harus kehilangan wanita yang sangat dia cintai.""Lalu, bagaimana dengan Pak Wijaya?" tanyaku kembali, lalu pandangan beralih ke Azlan.Lelaki itu masih sabar mendengarkan percakapan kami, sesekali dia merengkuh bahuku le