Karena rindu, menjadi cucunya akan melupakan kebiasaan neneknya berbuat apapun. Tapi, biarkan saja karena mereka terlalu kecil untuk memahami. Kelak, mereka bisa paham setelah menginjak dewasa atau tidak perlu memahami keadaan. Ibu mertuaku segera menyuguh roti yang baru dibeli oleh suamiku kepada Elvina, lalu menjulurkannya kepadanya. “Ini nenek kasih roti buat kamu, Vivin sayang!” Elvina langsung menyambut, namun Fathan menyerobot karena dia tak dapat bagiannya. “Bagi Fathan, Nek!” “Iya, iya, dibagi dua ya.” Nada nenek sudah sangat lelah, beliau segera merobohkan kepalanya ke bantal. “Eh, Fathan, jangan suka berisik ya. Rotinya dibagi sama adik.” “Iya, Fathan berbagi kok. Yuk, Dek kita makan di luar aja.” Ajakan Fathan kepada sang adik yang pada akhirnya, Elvina menjadi penurut hanya karena potongan roti. Kedua saudara kandung itu bergegas keluar dari ruang besuk. Menurutku, mereka bisa mengerti situasi di sini. Sekarang giliranku menuangkan
Kami bertukar sift. Aku yang akan menunggu ibu setelah jam sore menuju awal malam. Hanya aku dan Elvina yang senantiasa setia menunggu ibu mertua sekaligus nenek. Tak banyak yang kami lakukan saat bersabar menanti lewatnya waktu maghrib.Ibu mertuaku yang sudah terlihat lebih bugar dibanding sore tadi. Perasaanku sedikit lega setelah mendengar dan harus berhadapan dengannya bersama masalah berat. Sudah cukup!Dia sudah bisa duduk dengan menegakkan kepalanya tanpa penyanggah kepala. “Nak, pulanglah ini udah lepas maghrib,” ucap ibu mertua yang sudah tak heran lagi nadanya begitu lemah lembut. “Nggak apa-apa, Ma, kami bisa nunggu Rafasya balik ke sini lagi.” &ldqu
Abbas tidak suka, dia terdiam dengan sorotan mata lebih menajam dibanding di rumah. Dia hendak marah dengan suaranya yang nyaring, namun terpaksa dia mendiam diri sambil mengepalkan tangan bulat-bulat.Elvina menyentuh tangannya, kemudian mengendur secara perlahan. “Kalian ini, masalah kecil kenapa harus direpotkan sih?”Ibu mertua berkomentar, masih dengan nadanya yang perlahan mengempis karena napas orang sakit begitu loyo. “Ah, udahlah, Ma.”Abbas meminta semua orang berhenti berucap tentang situasi ini. Elvina langsung mengajak dengan nadanya yang manja. “Papa, yuk kita main ke luar aja.” “Ayo!”Abbas menggendong putri k
Sepertinya setelah aku menyahut si suami meresahkan di halaman rumah sakit cukup tegas. Semua yang aku lontarkan di ujung mulutku benar-benar terluapkan. Tak tahan jika menahan diri untuk selalu mengalah dalam berucap.Ya, itu semua demi mentalku tetap berada dalam posisi aman. Aku dan dua anak menemaniku di rumah setelah perjalanan pulang tadi begitu malam.Anak-anak merebahkan tubuhnya masing-masing ke atas tempat tidur tanpa rengekan. Fathan yang berusaha sebaik mungkin mendiamkan diri sambil memeluk guling kesayangaan. Mereka terjaga di waktu malam. Kemudian, tinggallah diriku yang harus mendengar omelan sang suami ketika pulang nanti. “Wuaaah, aku kok jadi ikut ngantuk.”Tanganku menutup luasnya mulut ternganga lebar. Mataku mulai melirik perlahan ke arah jarum jam dinding yang sudah menunjukkan waktu setengah sepuluh.Masih tidak terlalu malam, tetapi inilah waktu yang pas untuk tidur. “Baiknya tidur aja, daripada besok aku nggak bisa kerja.”
Satu kali terdorong, maka akan sering mendapat dorongan. Dorongan itu bukanlah sebuah dukungan, melainkan menjatuhkan. Harga diriku sebagai seorang guru tersindirkan, hanya karena pangkat yang belum menjamin kehidupan.Apalah daya menjadi seorang guru honorer? Yang harus terus-menerus memikul beban. Tapi, selama hidupku menjadi seorang guru honorer. Alhamdulillah, hidupku tak pernah terlilit hutang atau hidup mewah yang luar biasa.Rasanya, aku bisa merasakan syukur yang lebih. Ini bahkan tak bisa dibayar dengan uang. Kalau dihitung, jasa ditambah dengan status sama dengan kesederhanaan.Jadi, istilah dalam prinsip hidupku adalah sebuah kesederhanaan. Tidak perlu berlebih-lebihkan. Andai diberi lebih, siapa yang akan menolak? Ini hidupku, dan inilah tentangku. Aku tetap berusaha untuk menjadi guru yang terbaik. Siapa tahu kelak aku akan naik pangkat seperti mereka?Aku tak perduli ketika rekan tadi meledekku dengan sindirannya. Lebih kepada dengan memberinya sebuah senyuma
Kunjungan kak Lena ke rumah ibu mertuaku pun baru saja tiba. Aku dan kedua anakku memasuki rumah setelah keadaan di sini sudah lebih sepi. Rafasya kembali untuk bekerja karena tak mungkin dibiarkan ibunya begitu saja.Kak Lena ikut membantu keperluan ibu mertuaku di ruang tengah, mengambil segelas air putih, hingga menemaninya sejenak.Ibu mertuaku yang masih terlihat lemah tak berdaya. Duduk dengan kepala yang tersandar ke bidang sofa berukuran satu orang. Dua tangannya diletakkan di atas lengan sofa. “Bibi udah lebih baik?” Kak Lena pun mulai bertanya. “Fathan, jangan bikin adek nangis.” “Iya, Ma.” Fathan menyahut tanpa adanya kegaduhan.Aku meminta Fathan saat suara Elvina mulai berteriak keras. Seperti biasa, mereka selalu berebutan dalam masalah bermain. Di rumah ibu mertua memiliki beberapa permainan, sengaja beliau menyiapkan mainan untuk mereka menikmati kebersamaanya di sini.Sepeda kecil dalam rumah, mobil-mobilan, hingga alat
Kiranya seperti itulah hubunganku dengan si pengasuh Elvina dalam perjalanan hidupku. Kami adalah tetangga dekat yang tidak pernah berkumpul dalam satu waktu penuh. Jarang sekali bertemu jika bukan hal penting untuk diutarakan.Pertemuan kami sempat menyatu akrab ketika ada situasi mendesak, salah satunya ketika ibu mertuaku sedang jatuh sakit.Kak Lena memang ibu yang bijak tanpa harus menceritakan aib seseorang ke orang lain. Dia juga sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Kedewasaannya mengajarkan satu pelajaran, yakni berpikir sebelum bicara.Sama persis dengannya ketika hendak mengungkap isi pikiran. Dia hanya berkata sepenting yang dia bisa. Lalu diam jika semua sudah tidak berfaedah lagi.Beberapa hari kemudian, ibu mertuaku sudah sembuh total. Aktivitas kami pun kembali seperti sedia kala. Abbas pergi dan pulang dari pasar dengan wajah sangar. Adakalanya wajahnya berseri seperti orang menemukan uang satu miliar. “Kenapa, Bang?”Aku menyambutnya seakan
Sepertinya hubungan baik dalam keluargaku mulai rukun. Namun, tentu saja aku tak boleh memperlihatkan wajah ceriaku yang berlebihan. Takut jika aku melakukan kesalahan. Terutama kepada ibu mertuaku, yang dimana nanti dia tiba-tiba berubah drastis. Marah besar.Dalam keseharian ini, aku berjumpa dengan banyak orang di sekolah, maupun dengan tetangga. Ada waktunya aku menetap pada satu kerukunan antar tetangga. Duduk bersama mereka yang selalu melontar ghibah. “Eh, kalian kenal sama Maina nggak?” Salah satu ibu mulai menggerakkan tangannya. Ya, si pemilik toko depan memulai gosip baru, ketika beberapa ibu-ibu lainnya sedang asyik berbicara ceria.Dalam sesaat suasana wajah mereka hening. Tak hanya mereka, tetapi juga diriku. Menoleh karena begitu penasaran. “Maina, siapa?” Lena—pengasuh Elvina tanggap.Kali ini perkumpulan kami hanya orang-orang pilihan. Ada tiga ibu lainnya yang masih sebaya denganku. “Itu tetangga lama kita, katanya sih