Sabtu pagi Devan sibuk mengajak Eleanora keliling pasar. Mereka berencana belanja beberapa macam sayuran daun dan lain-lainnya, dengan niat akan bersama-sama membuat urap sayur dan ayam goreng. Lalu dibagikan ke tetangga sebagai salam perkenalan.
"Ini yakin mau buat sendiri?" Eleanora mengekor di belakang Devan, terlihat sangat tidak semangat. "Capek loh itu, weekend ini mending istirahat, tidur."
Devan menoleh, melihat jarak satu meter di antara mereka membuatnya langsung menarik Eleanora mendekat. Pagi itu pasar cukup ramai, jika dibiarkan bisa-bisa mereka akan semakin berjarak.
"Kamu pengangguran, apanya yang istirahat."
Eleanora melirik, tampak tak setuju. "Kamu kerja, aku juga kerja tahu."
Devan tidak membalas, ia sibuk melihat-lihat sayur-mayur yang ingin dibeli. Sementara tangan kanannya memilah-milah, tangan kirinya tetap menggandeng tangan Eleanor
Hiruk pikuk kota di pagi hari bisa dibilang tidak menyenangkan. Jalanan di pagi hari selalu sibuk dan padat.Dan biasanya Eleanora mengakalinya dengan pergi lebih pagi. Seperti pagi ini, Eleanora keluar rumah tepat pukul lima. Tak peduli dengan hujan kecil yang membuat udara semakin dingin.Eleanora mengeratkan jaketnya, sembari mengambil napas dalam-dalam. Menikmati udara bersih yang masih tersisa. Matanya mengitari sekitar, kakinya berjalan mundur. Masih sepi, dan mungkin selalu sepi di senin pagi.Alun-alun kota menjadi tujuannya sejak beberapa hari lalu untuk mengenal kota kelahiran Devan. Berjarak sekitar dua kilometer dari rumah mereka dan Eleanora tempu dengan berlari.Eleanora menghela napas, tiba-tiba ia teringat akan ucapan Devan semalam. Tentang masa lalu laki-laki itu. Terlihat berat untuk mengingat, tetapi Devan berusaha menceritakannya.Elean
Devan pernah lihat beberapa berita tentang pasangan suami istri baru di internet dengan masalah berbeda-beda. Pembunuhan diantara pasangan suami istri baru lumayan banyak diberitakan. Yang paling ngeri menurut Devan saat ini tentang istri dibunuh di hari pernikahan karena menolak berhubungan badan. Itu berita belasan tahun silam. Devan pernah diceritakan kakaknya. Dan ternyata banyak kasus serupa yang terjadi. Devan takut kalau istrinya tiba-tiba khilaf karena sudah terlalu kesal. Meski di banyak kasus yang terjadi suami-lah yang menjadi pelaku. Devan menggelengkan kepala. Eleanora cinta padanya, jadi tidak mungkin akan setega itu. Devan berusaha keras menghilangkan pikirannya itu. Sekarang masih jam kerja, dan sebagai pegawai baru, harusnya ia fokus dan giat, agar tidak dicap berkinerja buruk sejak awal. Biar bagaimanapun Devan harus profesional, masalah rumah pikirkan di rumah, jangan dibawa ke tempat kerja. “Nggak mau makan siang?” “Oh, ya?” Devan yang masih dalam lamunan terke
Siapa sangka mengiyakan ajakan teman bisa berujung maut? Devan mengedipkan matanya beberapa kali, berusaha memperjelas penglihatan perihal sosok yang ada di depannya, benarkah itu Eleanora atau bukan. Namun begitu menangkap sosok Keenan tak jauh dari Eleanora membuat Devan yakin kalau sosok Eleanora di depannya itu benar adanya. Devan mendengkus. Sosok yang katanya sahabat Eleanora itu sungguh di luar dugaan. Devan baru tahu akan ada orang yang rela-rela menghabiskan uang yang sudah susah payah dikumpulkan lewat warung pecel kecil-kecilan hanya untuk bertemu sahabat. Sungguh penjual pecel yang mencurigakan. Atau mungkin bisa juga Eleanora yang membiayai, mengingat berapa banyak yang Eleanora beri pada Devan. Devan dikejutkan dengan serangan tiba-tiba di pipi kirinya. Lembut, basah dan kenyal, benda yang cukup sering Devan rasakan. Mata Devan bertatapan dengan mata Eleanora yang berwarna coklat bening. Di luar dugaan, tatapan Eleanora yang awal dilihatnya tajam kini tampak berbinar
Eleanora menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Ia duduk dengan kaki dilipat, wajahnya disembunyikan dilututnya. Telinganya yang tajam mendengar deru napas Devan yang memburu. Devan duduk dengan posisi yang sama dengan Eleanora. Napas dan detak jantungnya laju dengan cepat, belum ada tanda-tanda mereda setelah tiga puluh menit berlalu. Rambut dan bajunya basah karena keringat, dan getar di tubuhnya masih terasa.Eleanora menghela napas lagi dan berdiri, ia mengambil bantal dan melemparkannya ke Devan. Ia kesal dengan Devan yang seakan mempermainkan. Ia sudah menahan berbulan-bulan, cukup lama, untuk mencium bibir Devan dengan rakus. Namun beberapa menit lalu Devan menghancurkan pertahanannya. Dan yang lebih mengesalkan Eleanora, Devan yang memulai Devan juga yang menghentikan. Eleanora tidak terima. Ia yang dicium, tapi Devan membuat seakan ia yang memaksa. "Kalo belum bisa tuh jangan dipaksa!" Eleanora berdiri di depan Devan, ia kesal, tapi sebenarnya kasian juga. Eleanora p
"Nih, makan yang banyak." Eleanora meletakkan sayap ayam goreng di meja bersama lauk yang lain. Meja ukuran satu kali setengah meter itu nyari penuh dengan lauk, bahkan Eleanora tidak bisa meletakan piring makannya. "Kenapa banyak sekali?” "Nggak suka?"Devan menghela napas, ia bukannya tidak suka, tapi terlalu banyak. Ia sampai bingung harus makan yang mana lebih dulu. "Kamu turun berat badan karena nikah sama aku kah?""Hah?" Devan menyuap makanan ke mulutnya lebih dulu, setelah ia menelan baru melanjutkan. "Berat badanku turun kan sejak di sini, tiap pindah tempat tinggal, berat badanku sering turun banyak."Eleanora menambah tumisan kacang panjang di piring Devan. Sedang piringnya kosong, masih ia pegang, tidak ikut makan. "Sejak hari pertama nikah juga berat badanmu sudah turun."Devan meringis, tidak menyangka Eleanora sadar. Ia sebenarnya tidak ingin Eleanora sadar, takut gadis itu merasa ia tertekan menikah dengannya. "Yang pasti bukan karena kamu."Eleanora mengangguk, apa
Kata orang sesuatu yang dihadapi bersama itu akan terasa ringan. Dan benar Devan merasakannya. Bersama Eleanora sakit ketika mengingat pelecehan yang ia alami ketika kecil perlahan memudar. Gelombang kepalanya perlahan berubah, tidak lagi mengingat hal itu sebagai benda tajam yang setiap waktu menyakiti. Berkat Eleanora beban di kepalanya terasa ringan. Senyum Eleanora yang riang juga manjanya gadis itu meski kerap kali ia marahi membuat Devan tenang dan ketergantungan. Singkatnya Eleanora adalah obatnyaDevan jatuh cinta pada sosok Eleanora yang selama ini ia lihat. Tanpa sadar hanya memikirkan perasaan sendiri dan melupakan fakta jika mungkin Eleanora juga punya luka, sebab mereka yang terlalu ceria kerap menyimpan luka.Lamunan Devan terganggu ketika ponsel di saku celananya bergetar, sedikit bunyi membuat Devan tahu siapa yang menelepon. Devan mengangkat panggilannya, dari Surga, dengan nada dering: SaNelaer ini surgamu, awas durhaka. Nada dering yang ia buat dengan suara mbak g
"Devan ajak saya tinggal sama kalian."Devan baru kembali ke kamar rawat inap Eleanora setelah menghabiskan nasi bakarnya. Dan ia disambut dengan pertanyaan tak masuk akal itu. Bahkan kalimat yang keluar dari mulutnya tidak pernah sepanjang itu. "Iya? Sudah berteman kalian?" tanya Eleanora semangat. Ia melihat Devan di dekat pintu. "Sayang!" panggilnya. Eleanora melambaikan tangan menyuruh Devan mendekat. Gadis itu tampak berbinar meski wajah dan bibirnya pucat. Devan mendekat, berdiri di samping Keenan. Ia dan Keenan bertatapan, Keenan mengkode dengan matanya menunjukan apa yang dipegang. Devan mendengkus pelan, hatinya panas. Entah Eleanora sudah bangun berapa lama sehingga akhirnya berduaan dengan Keenan. Eleanora terlihat sangat semangat dan senang Keenan akan tinggal bersama mereka. Lalu Eleanora makan disuap oleh Keenan. Sekarang Eleanora memang sedang makan nasi bakar disuap Keenan. Gadis itu makan sambil minum air, katanya biar tidak mual. Aktivitasnya memang dengan Keenan
Kalau orang-orang lihat pasti akan menganggap mereka terlibat kisah cinta segitiga. Dan perempuan yang menjadi rebutan akan disebut tidak peka, egois atau rakus karena tidak mau rugi. Sebab raut wajah Eleanora satu-satunya diantara mereka yang berseri. Eleanora tidak peduli bagaimana ekspresi dan tatapan Devan dan Keenan. Tidak peduli Devan dan Keenan saling menusuk lewat tatapan mereka. Yang penting bagi Eleanora ia bisa duduk bersama dua laki-laki itu. "Makan, lah, jangan romantisan terus," tegur Eleanora karena tampaknya mereka belum mau menyudahi tatap-tatapan itu. Saat ini mereka sedang berada di restoran atas permintaan Eleanora. Niatnya mau makan sama-sama, sesekali di luar, tapi rupanya Devan dan Keenan ingin asik sendiri tanpa mengajak Eleanora terbukti sudah setengah jam berlalu mereka seperti itu. "Buka mulutmu, Sayang." Karena tak juga dihiraukan, Eleanora mengambil inisiatif untuk menyupi. Devan membuka mulutnya meski tak melirik Eleanora sedikitpun. Ia memutuskan ko