Kata orang sesuatu yang dihadapi bersama itu akan terasa ringan. Dan benar Devan merasakannya. Bersama Eleanora sakit ketika mengingat pelecehan yang ia alami ketika kecil perlahan memudar. Gelombang kepalanya perlahan berubah, tidak lagi mengingat hal itu sebagai benda tajam yang setiap waktu menyakiti. Berkat Eleanora beban di kepalanya terasa ringan. Senyum Eleanora yang riang juga manjanya gadis itu meski kerap kali ia marahi membuat Devan tenang dan ketergantungan. Singkatnya Eleanora adalah obatnyaDevan jatuh cinta pada sosok Eleanora yang selama ini ia lihat. Tanpa sadar hanya memikirkan perasaan sendiri dan melupakan fakta jika mungkin Eleanora juga punya luka, sebab mereka yang terlalu ceria kerap menyimpan luka.Lamunan Devan terganggu ketika ponsel di saku celananya bergetar, sedikit bunyi membuat Devan tahu siapa yang menelepon. Devan mengangkat panggilannya, dari Surga, dengan nada dering: SaNelaer ini surgamu, awas durhaka. Nada dering yang ia buat dengan suara mbak g
"Devan ajak saya tinggal sama kalian."Devan baru kembali ke kamar rawat inap Eleanora setelah menghabiskan nasi bakarnya. Dan ia disambut dengan pertanyaan tak masuk akal itu. Bahkan kalimat yang keluar dari mulutnya tidak pernah sepanjang itu. "Iya? Sudah berteman kalian?" tanya Eleanora semangat. Ia melihat Devan di dekat pintu. "Sayang!" panggilnya. Eleanora melambaikan tangan menyuruh Devan mendekat. Gadis itu tampak berbinar meski wajah dan bibirnya pucat. Devan mendekat, berdiri di samping Keenan. Ia dan Keenan bertatapan, Keenan mengkode dengan matanya menunjukan apa yang dipegang. Devan mendengkus pelan, hatinya panas. Entah Eleanora sudah bangun berapa lama sehingga akhirnya berduaan dengan Keenan. Eleanora terlihat sangat semangat dan senang Keenan akan tinggal bersama mereka. Lalu Eleanora makan disuap oleh Keenan. Sekarang Eleanora memang sedang makan nasi bakar disuap Keenan. Gadis itu makan sambil minum air, katanya biar tidak mual. Aktivitasnya memang dengan Keenan
Kalau orang-orang lihat pasti akan menganggap mereka terlibat kisah cinta segitiga. Dan perempuan yang menjadi rebutan akan disebut tidak peka, egois atau rakus karena tidak mau rugi. Sebab raut wajah Eleanora satu-satunya diantara mereka yang berseri. Eleanora tidak peduli bagaimana ekspresi dan tatapan Devan dan Keenan. Tidak peduli Devan dan Keenan saling menusuk lewat tatapan mereka. Yang penting bagi Eleanora ia bisa duduk bersama dua laki-laki itu. "Makan, lah, jangan romantisan terus," tegur Eleanora karena tampaknya mereka belum mau menyudahi tatap-tatapan itu. Saat ini mereka sedang berada di restoran atas permintaan Eleanora. Niatnya mau makan sama-sama, sesekali di luar, tapi rupanya Devan dan Keenan ingin asik sendiri tanpa mengajak Eleanora terbukti sudah setengah jam berlalu mereka seperti itu. "Buka mulutmu, Sayang." Karena tak juga dihiraukan, Eleanora mengambil inisiatif untuk menyupi. Devan membuka mulutnya meski tak melirik Eleanora sedikitpun. Ia memutuskan ko
"Sayang!" Devan menjawab dengan gumaman. Ia duduk bersandar di kepala ranjang, fokus membaca buku. Sedang Eleanora berbaring di ketiak Devan. "Coba lagi yuk," ajaknya sembari mengelus elus kaki Devan yang berbulu dengan kakinya. Pelan tapi pasti kaki Eleanora sudah menjalar ke paha bagian dalam. Devan menutup bukunya hingga menimbulkan suara yang keras. "Ayo!" Ia meletakkan bukunya di atas nakas. Lalu tanpa aba-aba tangannya menyapa dua sahabat Eleanora. Memencetnya bak squishy. Eleanora terkejut, matanya melebar dan berkedip beberapa kali. Ia memegang kedua sahabatnya. "Jangan urakan, Sayang. Nanti kendor." Tatapan Eleanora berubah lembut, tangannya masuk ke dalam baju Devan dan mengelus dadanya. "Sentuh dengan lembut dan penuh perasaan," lanjut Eleanora sembari jarinya memutari area dalam areola milik Devan, sedikit menyentuh puncaknya. Devan tertawa. "Geli, El.""Kamu nggak penasaran, kah, Sayang?" Devan menyentuh lagi sahabat Eleanora, ia memperlakukan sama seperti yang dico
Hari-hari Devan benar-benar penuh warna sekarang. Tidak ada lagi alasan untuk tidak bersemangat. Sejak menjadi suami-istri sesungguhnya, Devan tidak pernah kusut wajahnya. Datang ke kantor wajah cerah, pulang kantor ia semangat. Tidak peduli berapa banyak pekerjaan atau masalah di kantor, Devan tetap senang. Namun, entah mengapa akhir-akhir ini Devan sering dimarahi, padahal pekerjaan bagus dan selalu selesai tepat waktu. "Kamu kerja lama-lama nggak becus, ya?” bentak ketua tim, membuat semua orang berbalik. "Maaf, Pak, tapi salah saya di mana ya?” "Kamu nanya? Kamu nanya salahmu di mana?—""Soalnya saya sudah mengikuti yang Bapak minta," serobot Devan, memutuskan omongan ketua tim, membuat laki-laki tua itu makin melotot. "Sudah saya nggak mau tahu, ulangi pekerjaanmu! Bagaimanapun caranya besok pagi harus jadi." Ketua tim melempar dokumen yang Devan kasih tadi lalu kembali duduk, ia fokus dengan kertas-kertasnya lagi. Devan kembali ke mejanya dengan lemas. Ia tidak mengerti d
"Arrrgh!!!" Devan tidak tahu harus teriak di mana, tidak tahu harus melampiaskan emosinya di mana. Akhirnya opsi terdekat yang bisa ia pilih karena hari akan gelap hanyalah tempat karaoke. Sudah setengah jam Devan teriak-teriak, melampiaskan kekesalannya. Ia sampai lelah dan tak punya tenaga lagi. Ia sampai habis air mineral dua botol. Sekarang ia telentang di sofa dengan napas terengah-engah dengan mata tertutup. Tangannya meraih kertas yang ada di meja lalu meremasnya. Goresan tangan di kertas itu masih terngiang-ngiang di kepalanya. Kertas itu berisi permintaan maaf dari ketua timnya yang diselipkan di surat pemberhentian kerja. Ketua timnya minta maaf sebanyak-banyaknya atas perlakuannya seminggu ia. Ketua timnya bilang kalau ia sangat terpaksa melakukan itu atas perintah CEO mereka langsung. Ketua timnya juga tidak tahu mengapa Devan harus dipecat dan dibuat-buat kesalahannya, padahal Devan berpotensi menjadi salah satu pegawai terbaik. Surat itu, meski surat permintaan maaf
"Maaf, posisi tersebut baru saja terisi!"Devan memaksakan senyum, genggaman tangannya mengerat pada map berisi cv dan beberapa dokumen pelengkap untuk melamar pekerjaan. Devan terpaksa pergi dengan kaki diseret, terasa berat. Devan sedikit melirik ke belakang, ke gedung yang baru saja ia masuki. Ia tertawa sinis melihat kertas pengumuman lowongan pekerjaan itu masih menempel manis di pintu kacanya. Devan tidak tahu apa fungsi kertas itu menempel di sana. Devan masih waras untuk berhalusinasi seseorang menempelkan kertas itu di sana. Ia dengan sadar, kertas itu baru tertempel di sana, ia juga sudah bertemu orangnya, tapi lucunya mereka bilang sudah terisi. Padahal waktu kertas itu ditempel tidak lebih dari lima belas menit lalu. Devan berusaha biasa saja, tapi dua minggu alami penolakan tetap buat ia tidak bisa terbiasa. Tidak ada penolakan yang bisa buat orang biasa saja, apalagi itu untuk sesuatu yang teramat diinginkan. Devan tidak mengerti apa yang sedang ia alami, karena bahk
Seolah menyambut hari Devan, matahari pagi bersinar dengan hangat. Ia keluar rumah dengan harapan dan semangat yang membara. Dua hari kemarin sudah ia pupuk dengan bersama Eleanora sepanjang hari. Karena merasa bersalah, Devan mengajak Eleanora liburan selama dua hari. Salah satu hotel dengan pemandangan langsung ke pantai menjadi pilihan. Kamarnya nyaman dengan kolam renang privat. Eleanora beranggapan Devan mengajak bulan madu yang tertunda, yang langsung diiyakan Devan padahal laki-laki itu tidak terpikirkan sama sekali."Kamu kok buat rencana bulan madu nggak bilang-bilang?" tanya Eleanora begitu sampai di kamar hotel, ia langsung menuju balkon. Kepalanya mengangguk melihat pemandangan di depannya. Devan menggaruk kepalanya kikuk. "Surprise? Hadiah?" Devan balik tanya, ia bingung harus bilang apa. Sejujurnya ia hanya ingin mengajak Eleanora liburan setelah beberapa waktu berat yang mereka lewati. Ia hanya ingin menambah daya semangat untuk menjalani hari-hari ke depan yang mun