"Maaf, posisi tersebut baru saja terisi!"Devan memaksakan senyum, genggaman tangannya mengerat pada map berisi cv dan beberapa dokumen pelengkap untuk melamar pekerjaan. Devan terpaksa pergi dengan kaki diseret, terasa berat. Devan sedikit melirik ke belakang, ke gedung yang baru saja ia masuki. Ia tertawa sinis melihat kertas pengumuman lowongan pekerjaan itu masih menempel manis di pintu kacanya. Devan tidak tahu apa fungsi kertas itu menempel di sana. Devan masih waras untuk berhalusinasi seseorang menempelkan kertas itu di sana. Ia dengan sadar, kertas itu baru tertempel di sana, ia juga sudah bertemu orangnya, tapi lucunya mereka bilang sudah terisi. Padahal waktu kertas itu ditempel tidak lebih dari lima belas menit lalu. Devan berusaha biasa saja, tapi dua minggu alami penolakan tetap buat ia tidak bisa terbiasa. Tidak ada penolakan yang bisa buat orang biasa saja, apalagi itu untuk sesuatu yang teramat diinginkan. Devan tidak mengerti apa yang sedang ia alami, karena bahk
Seolah menyambut hari Devan, matahari pagi bersinar dengan hangat. Ia keluar rumah dengan harapan dan semangat yang membara. Dua hari kemarin sudah ia pupuk dengan bersama Eleanora sepanjang hari. Karena merasa bersalah, Devan mengajak Eleanora liburan selama dua hari. Salah satu hotel dengan pemandangan langsung ke pantai menjadi pilihan. Kamarnya nyaman dengan kolam renang privat. Eleanora beranggapan Devan mengajak bulan madu yang tertunda, yang langsung diiyakan Devan padahal laki-laki itu tidak terpikirkan sama sekali."Kamu kok buat rencana bulan madu nggak bilang-bilang?" tanya Eleanora begitu sampai di kamar hotel, ia langsung menuju balkon. Kepalanya mengangguk melihat pemandangan di depannya. Devan menggaruk kepalanya kikuk. "Surprise? Hadiah?" Devan balik tanya, ia bingung harus bilang apa. Sejujurnya ia hanya ingin mengajak Eleanora liburan setelah beberapa waktu berat yang mereka lewati. Ia hanya ingin menambah daya semangat untuk menjalani hari-hari ke depan yang mun
Sudah satu bulan Devan jadi pengangguran. Ia masih terus berusaha setiap hari. Putus asa masih sering ia rasakan, hanya saja tidak lagi berlarut-larut sampai mempengaruhi suasana hati yang berdampak pada hubungannya dengan sang istri. Devan pernah ikut jadi tukang ojek, seharian full ia kena sial. Ia berada di lingkungan yang salah, yang tidak mau berbagi rezeki dengan orang baru. Ban motornya bocor, remnya rusak, ia sampai hampir kecelakaan saat itu terjadi. Sungguh membuat frustrasi, tapi Devan masih berusaha tersenyum. Sekarang satu-satunya hal yang harus ia lakukan adalah semangat dan berusaha lebih keras lagi. Tidak ada waktu untuk mengeluh, bukan ia tidak mau menghabiskan waktu untuk mengeluh. "Ehem."Devan menoleh, seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya saat ia menunggui motornya di bengkel. Laki-laki itu tersenyum padanya yang mau tidak mau ia balas atas nama keramahan. "Motornya kenapa?" "Ganti ban, bocor."Laki-laki itu mengangguk lalu memperhatikan Devan dari ujung r
Devan mengembuskan napasnya sebelum memasuki minimarket di depannya. Ia masuk dengan senyum lebar, berharap bisa keterima kerja di sana setelah kenyang melihat puluhan lowongan pekerjaan. Beberapa menit lalu ia tak sengaja melihat pengumuman lowongan pekerjaan yang di tempel di tiang samping pintu. Devan masuk disambut ramah oleh kasir yang bertugas. Devan ala-ala hendak membeli roti yang ada di etalase meja kasir. Ia membayar sembari basa-basi, bertanya perihal lowongan pekerjaan yang ditempel di luar. "Oh, iya, Kak. Kebetulan kamu butuh satu orang lagi." "Boleh saya mengajukan diri?" Takut-takut Devan bertanya, ia masih belum terbiasa dengan penolakan. Kasir perempuan itu langsung tersenyum lebar. "Tunggu sebentar ya, Kak. Saya panggilkan Bos saya dulu."Devan mengangguk, pandangannya mengikuti kasir itu pergi. Cukup lama dia menatap pintu yang dilewati kasir itu, ia sampai bosan. Padahal sebenarnya ia baru menunggu sekitar tiga menit, tapi sudah mengeluh lama. Pada dasarnya De
Keenan mendengkus, lalu berdiri. Ia pergi ke sudut, menjauhi Zia. Rumah itu hanya dua lantai, tapi atapnya seperti gedung banyak lantai, sepertinya pemiliknya berniat membangun lebih tinggi. Di sekitar rumah Eleanora dan Devan hanya rumah ini yang paling tinggi, sekitarnya masih satu lantai dan masih tampak seperti bangunan awal, rumah subsidi sederhana.Pertanyaan Keenan sebelumnya bukan sengaja ia ucapkan, hal itu spontan terpikir olehnya agar gadis itu—ah Keenan tidak tahu Zia masih gadis atau tidak, tapi kalau Zia benar pelacur seperti yang diakui, berarti Zia bukan lagi gadis—wanita itu merasa risih dan menjauh darinya. Keenan tidak menyangka Zia akan menjawab enteng dan berakhir menggodanya kembali.Semua kebetulan antara dirinya dan Zia terasa aneh. Kedekatan ini bermula ketika Zia beberapa kali datang ke minimarketnya. Berpakaian minim dan bau alkohol, menggoda Keenan yang menjadi kasir. Bahkan j
"Dia bicara apa itu?" Eleanora memicing menatap layar yang menampakkan Devan tengah melayani seorang pria tua yang sangat Eleanora kenali.“Tidak tahu. Mau tanya Devan?”Eleanora menggeleng. “Tidak bisa, nanti dia makin curiga.” Eleanora membanting tubuhnya ke sandaran kursi. Ia menutup matanya, tampak frustrasi.Bukan maksud ingin menutupinya dari Devan, tapi Eleanora sungguh malu mempunyai ayah seperti itu yang membuat masa lalunya suram, juga ia tidak mau lagi berhubungan dengan orang itu. Hidup di dekat ayahnya tidak akan pernah bisa tenang.“Aku ingin ketemu dia.” Eleanora berdiri, sudah waktunya Devan pulang. “Besok, kamu yang tentukan tempatnya.”Keenan hanya mengangguk, ia mengikuti Eleanora di belakang. Wanita itu mengubah eskpresinya di depan Devan. Berpura-pura terlihat baik-baik saja.***
Sejak Eleanora mendatangi ayahnya tempo hari, tidak ada lagi terlihat Diego Lim ataupun anak buahnya di sekitar Eleanora.Eleanora berharap ayah kampretnya itu mempertimbangan kemauannya. Sedikit banyak Eleanora berharap ada sedikit rasa sayang Diego Lim untuknya dengan melepaskan Eleanora untuk menjadi orang biasa.Meski merasa benci sampai ingin muntah, tetapi ternyata ada sedikit harapan yang terselip di sudut hatinya. Rasa bencinya teramat besar sampai harapan kecil itu tidak terlihat."Ayo kita bikin usaha saja, Sayang!" ajak Eleanora untuk kesekian kali pada Devan.Sekarang Devan seperti sudah melupakan mimpinya menjadi karyawan kantoran yang pergi rapi pulang juga rapi dengan gaji yang banyak di awal bulan. Laki-laki itu sekarang tampak nyaman menjadi pramuniaga di minimarket Eleanora yang dikelola Keenan.Sampai sekarang pun Devan tidak tahu
Mata Eleanora tidak berhenti melotot melihat belasan video-video pendek yang ada di aplikasi media sosial bernama Igeh. Lama-lama bibirnya mengerucut kesal. Dadanya panas melihat video-video itu.Eleanora melirik Devan yang juga sedang asik dengan ponsel. Ia mendengkus, mengapa Devan tidak pernah bersikap manis atau romantis padanya seperti laki-laki di drama korea atau video-video pendek yang tadi ia lihat.Bahkan saat di atas tempat tidur pun, menurut Eleanora, Devan tidak pernah bersikap manis, tetapi agresif. Eleanora benar-benar membangunkan singa yang sedang tidur.Dalam drama korea yang manis atau video-video pendek itu, para lelakinya pasti berlaku manis dengan memberikan bunga, dikasih hadiah, diajak makan malam romantis, diajak jalan-jalan, dikasih pujian dan lain-lain. Namun Devan tidak seperti itu padanya. Eleanora iri setelah mati pada perempuan-perempuan itu."Sayang!