Hari-hari Devan benar-benar penuh warna sekarang. Tidak ada lagi alasan untuk tidak bersemangat. Sejak menjadi suami-istri sesungguhnya, Devan tidak pernah kusut wajahnya. Datang ke kantor wajah cerah, pulang kantor ia semangat. Tidak peduli berapa banyak pekerjaan atau masalah di kantor, Devan tetap senang. Namun, entah mengapa akhir-akhir ini Devan sering dimarahi, padahal pekerjaan bagus dan selalu selesai tepat waktu. "Kamu kerja lama-lama nggak becus, ya?” bentak ketua tim, membuat semua orang berbalik. "Maaf, Pak, tapi salah saya di mana ya?” "Kamu nanya? Kamu nanya salahmu di mana?—""Soalnya saya sudah mengikuti yang Bapak minta," serobot Devan, memutuskan omongan ketua tim, membuat laki-laki tua itu makin melotot. "Sudah saya nggak mau tahu, ulangi pekerjaanmu! Bagaimanapun caranya besok pagi harus jadi." Ketua tim melempar dokumen yang Devan kasih tadi lalu kembali duduk, ia fokus dengan kertas-kertasnya lagi. Devan kembali ke mejanya dengan lemas. Ia tidak mengerti d
"Arrrgh!!!" Devan tidak tahu harus teriak di mana, tidak tahu harus melampiaskan emosinya di mana. Akhirnya opsi terdekat yang bisa ia pilih karena hari akan gelap hanyalah tempat karaoke. Sudah setengah jam Devan teriak-teriak, melampiaskan kekesalannya. Ia sampai lelah dan tak punya tenaga lagi. Ia sampai habis air mineral dua botol. Sekarang ia telentang di sofa dengan napas terengah-engah dengan mata tertutup. Tangannya meraih kertas yang ada di meja lalu meremasnya. Goresan tangan di kertas itu masih terngiang-ngiang di kepalanya. Kertas itu berisi permintaan maaf dari ketua timnya yang diselipkan di surat pemberhentian kerja. Ketua timnya minta maaf sebanyak-banyaknya atas perlakuannya seminggu ia. Ketua timnya bilang kalau ia sangat terpaksa melakukan itu atas perintah CEO mereka langsung. Ketua timnya juga tidak tahu mengapa Devan harus dipecat dan dibuat-buat kesalahannya, padahal Devan berpotensi menjadi salah satu pegawai terbaik. Surat itu, meski surat permintaan maaf
"Maaf, posisi tersebut baru saja terisi!"Devan memaksakan senyum, genggaman tangannya mengerat pada map berisi cv dan beberapa dokumen pelengkap untuk melamar pekerjaan. Devan terpaksa pergi dengan kaki diseret, terasa berat. Devan sedikit melirik ke belakang, ke gedung yang baru saja ia masuki. Ia tertawa sinis melihat kertas pengumuman lowongan pekerjaan itu masih menempel manis di pintu kacanya. Devan tidak tahu apa fungsi kertas itu menempel di sana. Devan masih waras untuk berhalusinasi seseorang menempelkan kertas itu di sana. Ia dengan sadar, kertas itu baru tertempel di sana, ia juga sudah bertemu orangnya, tapi lucunya mereka bilang sudah terisi. Padahal waktu kertas itu ditempel tidak lebih dari lima belas menit lalu. Devan berusaha biasa saja, tapi dua minggu alami penolakan tetap buat ia tidak bisa terbiasa. Tidak ada penolakan yang bisa buat orang biasa saja, apalagi itu untuk sesuatu yang teramat diinginkan. Devan tidak mengerti apa yang sedang ia alami, karena bahk
Seolah menyambut hari Devan, matahari pagi bersinar dengan hangat. Ia keluar rumah dengan harapan dan semangat yang membara. Dua hari kemarin sudah ia pupuk dengan bersama Eleanora sepanjang hari. Karena merasa bersalah, Devan mengajak Eleanora liburan selama dua hari. Salah satu hotel dengan pemandangan langsung ke pantai menjadi pilihan. Kamarnya nyaman dengan kolam renang privat. Eleanora beranggapan Devan mengajak bulan madu yang tertunda, yang langsung diiyakan Devan padahal laki-laki itu tidak terpikirkan sama sekali."Kamu kok buat rencana bulan madu nggak bilang-bilang?" tanya Eleanora begitu sampai di kamar hotel, ia langsung menuju balkon. Kepalanya mengangguk melihat pemandangan di depannya. Devan menggaruk kepalanya kikuk. "Surprise? Hadiah?" Devan balik tanya, ia bingung harus bilang apa. Sejujurnya ia hanya ingin mengajak Eleanora liburan setelah beberapa waktu berat yang mereka lewati. Ia hanya ingin menambah daya semangat untuk menjalani hari-hari ke depan yang mun
Sudah satu bulan Devan jadi pengangguran. Ia masih terus berusaha setiap hari. Putus asa masih sering ia rasakan, hanya saja tidak lagi berlarut-larut sampai mempengaruhi suasana hati yang berdampak pada hubungannya dengan sang istri. Devan pernah ikut jadi tukang ojek, seharian full ia kena sial. Ia berada di lingkungan yang salah, yang tidak mau berbagi rezeki dengan orang baru. Ban motornya bocor, remnya rusak, ia sampai hampir kecelakaan saat itu terjadi. Sungguh membuat frustrasi, tapi Devan masih berusaha tersenyum. Sekarang satu-satunya hal yang harus ia lakukan adalah semangat dan berusaha lebih keras lagi. Tidak ada waktu untuk mengeluh, bukan ia tidak mau menghabiskan waktu untuk mengeluh. "Ehem."Devan menoleh, seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya saat ia menunggui motornya di bengkel. Laki-laki itu tersenyum padanya yang mau tidak mau ia balas atas nama keramahan. "Motornya kenapa?" "Ganti ban, bocor."Laki-laki itu mengangguk lalu memperhatikan Devan dari ujung r
Devan mengembuskan napasnya sebelum memasuki minimarket di depannya. Ia masuk dengan senyum lebar, berharap bisa keterima kerja di sana setelah kenyang melihat puluhan lowongan pekerjaan. Beberapa menit lalu ia tak sengaja melihat pengumuman lowongan pekerjaan yang di tempel di tiang samping pintu. Devan masuk disambut ramah oleh kasir yang bertugas. Devan ala-ala hendak membeli roti yang ada di etalase meja kasir. Ia membayar sembari basa-basi, bertanya perihal lowongan pekerjaan yang ditempel di luar. "Oh, iya, Kak. Kebetulan kamu butuh satu orang lagi." "Boleh saya mengajukan diri?" Takut-takut Devan bertanya, ia masih belum terbiasa dengan penolakan. Kasir perempuan itu langsung tersenyum lebar. "Tunggu sebentar ya, Kak. Saya panggilkan Bos saya dulu."Devan mengangguk, pandangannya mengikuti kasir itu pergi. Cukup lama dia menatap pintu yang dilewati kasir itu, ia sampai bosan. Padahal sebenarnya ia baru menunggu sekitar tiga menit, tapi sudah mengeluh lama. Pada dasarnya De
Keenan mendengkus, lalu berdiri. Ia pergi ke sudut, menjauhi Zia. Rumah itu hanya dua lantai, tapi atapnya seperti gedung banyak lantai, sepertinya pemiliknya berniat membangun lebih tinggi. Di sekitar rumah Eleanora dan Devan hanya rumah ini yang paling tinggi, sekitarnya masih satu lantai dan masih tampak seperti bangunan awal, rumah subsidi sederhana.Pertanyaan Keenan sebelumnya bukan sengaja ia ucapkan, hal itu spontan terpikir olehnya agar gadis itu—ah Keenan tidak tahu Zia masih gadis atau tidak, tapi kalau Zia benar pelacur seperti yang diakui, berarti Zia bukan lagi gadis—wanita itu merasa risih dan menjauh darinya. Keenan tidak menyangka Zia akan menjawab enteng dan berakhir menggodanya kembali.Semua kebetulan antara dirinya dan Zia terasa aneh. Kedekatan ini bermula ketika Zia beberapa kali datang ke minimarketnya. Berpakaian minim dan bau alkohol, menggoda Keenan yang menjadi kasir. Bahkan j
"Dia bicara apa itu?" Eleanora memicing menatap layar yang menampakkan Devan tengah melayani seorang pria tua yang sangat Eleanora kenali.“Tidak tahu. Mau tanya Devan?”Eleanora menggeleng. “Tidak bisa, nanti dia makin curiga.” Eleanora membanting tubuhnya ke sandaran kursi. Ia menutup matanya, tampak frustrasi.Bukan maksud ingin menutupinya dari Devan, tapi Eleanora sungguh malu mempunyai ayah seperti itu yang membuat masa lalunya suram, juga ia tidak mau lagi berhubungan dengan orang itu. Hidup di dekat ayahnya tidak akan pernah bisa tenang.“Aku ingin ketemu dia.” Eleanora berdiri, sudah waktunya Devan pulang. “Besok, kamu yang tentukan tempatnya.”Keenan hanya mengangguk, ia mengikuti Eleanora di belakang. Wanita itu mengubah eskpresinya di depan Devan. Berpura-pura terlihat baik-baik saja.***