enjoy reading. maaf baru bisa up segini. lagi family gathering. nantikan next part yak. jangan lupa kasih ulasan dan rate bintang. makasih🥰
"Syad, katakan di mana kantor relawan tempat Syifa bergabung?" tanya Zein sedikit memaksa. "Buat apa? Bukannya Anda tidak peduli pada mantan?" balas Irsyad sinis. "Tolong beritahu saya! Saya bukannya tidak peduli, tapi saya...." Zein menyugar kasar rambutnya. Situasi buruk begini akan susah menjelaskan pada Irsyad. "Saya ingin mencari kabar Syifa. Saya ingin dia selamat." "Buat apa? Supaya bisa Anda sakiti lagi, huh? Saya tidak akan mengatakan infonya. Saya yang akan memastikan Syifa selamat tanpa melibatkan Anda." Irsyad meninggalkan Zein yang duduk termangu di sofa ruang tamu. Bi Sumi menatap sedih majikannya. Ia juga tidak tahu harus berbuat apa. Di saat pikirannya kalut, Zein teringat proposal yang ditunjukkan Bobby. Gegas ia mencari proposal yang disimpannya. Zein membaca informasi tentang kantor relawan yang memberangkatkan Syifa. Tanpa pikir panjang, malam ini juga Zein meluncur ke kantor tersebut. "Hati-hati Pak Zein! Semoga Dokter Syifa baik-baik saja." "Terimakasih, B
Bab 30"Saya tidak menyangka Syifa menangis setiap malam semakin larut. Saya tidak berani bertanya. Hanya saya tunggu sampai ia bercerita. Ternyata ia memikirkan ayahnya Alea. Ia merasa bersalah hingga membuat gadis kecil itu kehilangan kasih sayang ayahnya." Zein menghela napas panjang, disusul matanya berembun. Namun, ia harus menjaga konsentrasi berkendaranya. "Saya tidak tahu alasan apa yang membuat Pak Zein berpisah dengan Syifa dulu. Namun, alasan Pak Zein saat ini menjauhi Syifa, saya tidak bisa menerimanya. Setiap tenaga kesehatan melakukan tugasnya sesuai prosedur. Kenapa Anda menyalahkannya atas kematian Mbak Ema. Saya benar-benar tidak habis pikir. Saya hanya berharap dia mendapatkan kebahagiannya." "Saya berjanji akan membahagiakannya. Saya pikir dengan membencinya, dia tidak akan mendapat kemalangan seperti istri saya yang lain. Saya takut Syifa bernasib sama seperti mereka berdua." "Pak Zein sungguh konyol. Takdir milik Allah, kenapa orang seperti Anda berpikiran semp
Bab 31A"Astaghfirullah. Tubuhnya demam tinggi. Dia sampai mengigau nama laki-laki itu." Helan mencoba membangunkan Syifa, tetapi wanita itu tidak kunjung sadar. Ia menyentuh pergelangan tangan. Seketika Helan dilanda panik. "Ya Tuhan, nadinya melemah. Syifa, bertahanlah. Tolong! Adakah orang di sini?!" Helan berteriak lantang dengan suasana hati yang kalut. Hampir setengah jam, ia tidak berhenti menyadarkan Syifa sambil berteriak minta tolong. Tenggorokannya pun hampir kering. Sebab tidak ada air mineral darurat yang tersisa di kantong mereka. "Ada suara siapa di sana komandan!" teriak seorang petugas berpakaian seragam dengan senjata sigap ditangan kanan. "Hati-hati. Kita selidiki dulu!" titah Laki-laki yang dipanggil komandan. "Tolong! Tolong!" "Sepertinya suaranya dari sana. Ayo ikuti saya!" "Siap!" Beberapa orang bertugas mencari dua relawan medis yang hilang. Mereka mulai memasuki wilayah hutan dengan hati-hati. Wilayah itu mereka tanam ranjau untuk menghalau musuh. Mer
Bab 31B"Ze, ada apa sebenarnya?" tanya Aldo---papa Syifa. "Syifa kemana, Ze? Dia hanya pamit sama kami kalau mau bertugas jadi relawan. Apa benar Syifa yang ada di berita itu?" Zein menunduk, membuat Nadia lemas. "Ma!" "Tante!" Ketiga orang dewasa itu memekik saat mendapati tubuh Nadia oleng. Seketika Nadia---mama Syifa pingsan tak kuasa menahan sesak di dada. Orang tua Syifa sejatinya sudah mengikhlaskan putrinya bekerja atas dasar kemanusiaan. Namun, kepergian Syifa kali ini seolah bukan niat sepenuh hati. Saat itu, Syifa berpamitan pada papa mamanya. "Ma, Pa, Syifa pamit menjadi relawan ya," ucap Syifa dengan wajah sendu. Ada beban ia meninggalkan Alea jauh ke wilayah timur Indonesia. Padahal biasanya Syifa hanya emngikuti kegiatan sosial itu di wilayah Jawa saja. "Kemana tugasmu kali ini, Fa?" "Ke Papua, Ma." "Papua?! Kenapa kali ini jauh, Fa? Alea bagaimana?" lanjut Nadia menginterogasi. "Syifa titip Alea ya, Ma. Alea pasti senang liburan sekolah di sini. Kalau Syifa b
Bab 32APagi ini, Zein hampir frustasi, pun Irsyad yang tidak tenang hanya bisa mondar mandir melihat ke luar ruangan. Sudah lewat sehari, keduanya belum diizinkan menuju lokasi. Sebab hujan masih mengguyur dengan deras. "Maaf, kapan kita bisa berangkat, Pak?" tanya Zein pada salah satu petugas. "Kita tunggu hujan reda, Pak. Karena khawatir terjadi tanah longsor di wilayah jalan perbukitan." "Pak Zein, minumlah dulu! Semoga hujannya segera reda." "Gimana saya bisa tenang, Syad. Kabar tentang Syifa saja belum ada. Kita hanya duduk-duduk manis di sini." Zein berdecak sambil menyugar rambutnya untuk menghilangkan rasa frustasinya. "Semua relawan yang ada di sini juga ingin sampai dengan cepat, Pak. Tapi kalau kita gegabah sedikit saja, bukankah nyawa taruhannya. Bagaimana kita menyelamatkan Syifa kalau nyawa kita saja terancam," terang Irsyad. Zein pun terdiam sambil mencerna ucapan Irsyad yang benar adanya. "Terima kasih." Zein akhirnya menerima secangkir teh hangat yang disodorka
Bab 32BZein merasa sedikit lega. Seperti menanti bom waktu, ia berusaha menikmati detik demi detik menuju pertemuannya dengan Syifa. Perjalanan berakhir di sebuah markas yang ada di wilayah dataran rendah di balik bukit. Tempat itu didirikan beberapa tenda untuk dapur dan ruang kesehatan. Sementara itu, bangunan serupa rumah dipakai untuk istirahat dan menyimpan alat kesehatan juga obat-obatan. "Lapor komandan, kami membawa tim relawan susulan dan juga obat-obatan darurat." "Laporan diterima. Lanjutkan!" "Siap. Lanjutkan. Ini ada kerabat dari Dokter Syifa ingin melihat kondisinya." "Baik, silakan duduk terlebih dulu. Nanti petugas akan mengantar ke ruang rawat Dokter Syifa." Zein meneguk ludahnya begitu nama Syifa disebut. Ia benar-benar tidak sabar ingin melihat kondisinya. Setelah berbincang panjang lebar tentang peraturan di wilayah itu, Zein dan Irsyad diantar petugas menuju ruang Syifa dirawat. "Mari, silakan! Dokter Syifa semalam sudah sempat siuman. Tapi Dokter yang mer
"Pak Zein juga ada di sini. Beliau datang bersamaku," ucap Irsyad sambil menunjuk ke arah Zein yang berdiri terpaku di ambang pintu. Syifa membelalakkan matanya. Reflek jantungnya berdesir disusul mata yang mengembun. "Ze." Lidah Syifa tiba-tiba kelu. Ucapan itu hanya teryahan di tenggorokan. Ia merebahkan badannya sambil membuang pandangan ke arah jendela. Langkah kaki terdengar semakin mendekat seiring jantung Syifa yang semakin bertalu. Rasa panas di dada pun membara. Menyesakkan dada. "Aku keluar dulu, Fa. Kalain berdua butuh bicara baik-baik, demi Alea." Suara Irsyad masih bisa terdengar sampai ke telinga Syifa. Namun, ia enggan menjawab ucapan Irsyad. "Apa kabarmu?" Suara Zein terasa lirih dan hangat. Syifa hanya bergeming dan memilih tetap berada di posisinya. Beberapa menit berlalu, Zein merasa terpukul melihat kondisi lemah Syifa. Wajah yang masih setia berbalut jilbab instan itu masih sedikit pucat. Perasaan bersalah masih mencuat di hatinya. "Apa kamu baik-baik saja se
Bab 34AWaktu berlalu hingga tidak terasa Zein dan Irsyad sudah seminggu di tempat itu. Syifa memutuskan untuk kembali pulang karena ia memang belum mengisi masa bertugasnya di surat pernyataan. Sebagai ketua tim, Helan melepasnya dengan senang hati. Sebab ia memang berniat melindungi Syifa saat memutuskan menjadi ketua tim relawan medis. Ia sendiri masih tetap tinggal untuk beberapa hari ke depan sesuai tugasnya. "Untung kamu punya ide nggak ngisi masa bertugas menjadi relawan, Fa. Gimana kalau kamu isi setahun, kasian Alea." "Nggak lah, Syad. Aku juga nggak tega ninggalin Alea sendiri. Aku hanya butuh healing beberapa bulan mungkin cukup. Tapi ini baru mau genap sebulan nggak jadi malah udah pulang." "Iya juga. Pulangnya minta dijemput lagi, hufh." Irsyad tergelak. Tawa Syifa pun meledak. Zein memilih memejamkan mata sambil menanti pesawat boarding. Ia menyandarkan punggungnya di kursi ruang tunggu bandara. Ia berpura-pura tidur, meski telinganya kian memanas. Sebab, candaan Syi