jangan lupa tinggalkan jejak like dan komentar ya.🥰
Bab 4 Selama setengah jam Syifa merelakan diri mendengarkan ceramah dari Helan. Tentang egois, harga diri, munafik, sok suci dan masih banyak lagi kata kasar yang dilemparkan padanya. "Kamu bodoh, Syifa. Mementingkan diri sendiri. Bagaimana dengan anakmu yang besar nanti jika tanpa ayah yang mendampingi. Saya sudah merendahkan harga diri untuk melamarmu, tapi apa? Saya sudah membantumu keluar dari masalah yang membelit tapi apa yang kudapat?" Syifa sekuat tenaga menahan diri untuk tidak emosi. Ia ingin mendengar pria di depannya meluapkan emosi. Dengan begitu, Syifa bisa tahu sifat luar dalam Helan tanpa ditutupi. Ya, akhirnya Syifa mantap dengan keputusannya. Dahulu Zein tidak pernah berkata kasar atau bernada tinggi di depannya. Namun, Helan yang baru berniat akan menikahinya saja sudah bersikap demikian. Daripada menyesal kemudian, Syifa tetap kekeuh dengan pendiriannya. Satu nama laki-laki yang masih berdemayam di hatinya hanyalah Zein. Meski rasa sakit hati mendominasi, Zein t
Bab 5 Tiga tahun kemudian....Syifa menjual rumah dan propertinya di Jakarta. Keluarga kecilnya pindah ke Yogyakarta untuk membuka lembaran baru. "Alea, sini Sayang, kejar Om." "Irsyad, tolong ajak jalan-jalan Al, ya! Kamu bisa ajak May sekalian jemput dia selesai shift." "Iya, Dok, Siap." "Panggil nama aja kenapa? Nggak usah pakai embel-embel profesi, Syad." Irsyad hanya menyengir kuda. Ia sangat sayang dengan Syifa dan anaknya. Ia bahkan rela menggantikan posisi sebagai seorang ayah bagi Alea. Namun, Irsyad masih tahu batasan dengan menganggap Syifa sebagai kakaknya. Meski terkadang rasa yang tidak tergambar itu tiba-tiba muncul dan mampu menimbulkan kecanggungan. Syifa selalu bersikap ramah dengan adik asuhnya. Irsyad dan Maysaroh, keduanya anak yatim piatu yang disekolahkan Syifa sejak menginjakkan kaki di kota Yogya. Usianya hanya berjarak lima dan enam tahun dengan Syifa. Tiga tahun sudah Syifa memulai hidup baru di kota pelajar ini. Ia tidak ingin orang tua dan mertuanya b
Bab 6 "Maafkan aku, Syad!" "Nggak papa. Begini saja, kalau bisa membuatmu tenang, tapi jangan lama-lama. Aku bisa khilaf nanti," ucap Irsyad terkekeh. Irsyad selalu menyiapkan bahu setiap Syifa menangis. "Terima kasih. Sudah cukup, Syad. Pergilah dengan Alea. Ia pasti senang diajak jalan-jalan." "Tapi kamu sakit, Fa. Wajahmu pucat. Aku ngga tega ninggalin kamu sendiri," ujar Irsyad dengan wajah khawatir. "Kamu lupa kalau aku dokter? Aku tahu gimana cara mengobati lukaku, Syad." "Hmm, dasar keras kepala." Syifa dan Irsyad tertawa bersama. Mereka melupakan kecanggungan yang sempat tercipta tadi. "Astaghfirullah, hampir saja aku terbawa suasana." Irsyad menepuk-nepuk kepalanya. "Om icad kenapa kepalanya?" celetuk Alea menggemaskan. "Nggak papa, Al. Tadi ketiban apa gitu." Irsyad tersenyum simpul membuat gadis manis itu merangkul dan minta gendong. "Ayo, ikut Om jalan-jalan!" "Ke mana?" "Sama Mama?" "Nggak, Sayang. Mama harus nolong orang sakit. Kita jalan-jalan
Bab 7 "Apa keluhan, hmm, Bu Ema?" Syifa membaca dengan teliti rekam medis yang baru diisi identitas pasien bernama Ema Rahardian. Usianya 5 tahun lebih tua darinya. Artinya mantan suaminya menikah dengan wanita yang lebih tua tiga tahun. Ia heran kenapa istrinya bukan wanita cantik dan seksi yang dikenalkan dahulu saat di restoran. "Ah, mungkin Ze sudah bosan," batinnya. "Panggil saja, Mbak, Dok. Sepertinya saya hanya sedikit lebih tua dari dokter," balas Ema sambil mengulum senyum. Ia mengamati perubahan sikap Syifa yang menurutnya aneh. Entah karena apa Ema hanya membatin. Syifa berusaha menarik sudut bibirnya meski kaku. Ia melirik ke sosok yang berdiri di belakang kursi roda tengah mengamatinya sejak tadi. Seketika Syifa menjadi tidak nyaman. Sebuah kejutan yang terlalu cepat untuknya bertemu sang mantan. Apalagi di kota tempat mereka pertama kali memutuskan untuk menikah. Di bukit bintang, mereka merajut janji membangun bahtera rumah tangga. "Apa yang dikeluhkan, Mbak Ema?"
Bab 8"Apa kabarmu?" Syifa hanya bergeming. Lidahnya kaku untuk digerakkan. Ia mematung di tempat sambil menatap sendu wajah laki-laki yang masih bersemayam di hatinya. Menyejukkan, tetapi sedetik kemudian terasa menyakitkan. Syifa berdehem untuk menetralkan perasaannya. Suaranya mungkin parau jika memaksakan diri menjawab. "Gimana kabar Al, Fa?" "Baik," ucap Syifa terbata. Berusaha membuang pandangan, Syifa mencoba menghindari tatapan tajam Zein. Gegas ia menghirup oksigen sepuasnya supaya sesak di dada berkurang. "Syukurlah kalian berdua baik-baik saja. Bagaimana ceritanya kalian bisa tinggal di Yogya?" "Maaf, Pak Zein. Sepertinya Anda kembali ke sini ada perlu? Jika tidak ada, silakan pulang. Kasian istri Anda sudah lama menunggu." Zein ingin menuntaskan rasa penasarannya. Namun, Syifa sudah merasa tidak nyaman dan berniat mengusirnya dengan cara halus. Ia mendecis kesal karena tujuannya mengobati rasa penasaran gagal. "Apa kalian tinggal berdua di sini? Sejak kapan?" "Sek
Bab 9Sesampainya di rumah, Zein mendorong kursi Ema sampai di depan kamarnya. "Ze, cukup. Aku bisa sendiri." Larangan Ema ternyata hanya dianggap angin lalu. Raga Zein disitu, tetapi pikirannya tertinggal di klinik. "Ze! Kamu kenapa, sih?" "Astaga. Maaf, Ma. Aku .... Aku tidak sengaja masuk." Zein menjambak rambutnya frustasi. Gegas ia meninggalkan Ema yang menatapnya heran. Menikah selama satu tahun tidak mampu membuat Ema jatuh hati pada pria lain selain suaminya. Ia melarang Zein memasuki kamar pribadinya. Pernikahan mereka tidak berjalan sebagaimana mestinya. Namun, Zein tetap bersabar menghadapi Ema. "Maafkan aku, Ze. Perhatianmu padaku tidak mampu mengubah pendirianku. Ema menggerakkan kursi rodanya mendekati ranjang. Ia sudah terbiasa melakukan aktifitas mandiri saat di kamar. Ia bisa berjalan normal tetapi tidak lama. Sebab itu, Zein menyiapkan kursi roda di rumah. "Maafkan aku, Mas! Aku tidak bisa mencintainya. Entah kenapa, meski Ze orang baik. Aku selalu meragu
Bab 10 "Yang penting Bu Ema dan Pak Zein tidak bertengkar. Sekarang mau bibi siapkan makan?" "Saya menunggu Ze saja, Bi." "Hmm, kata Pak Zein. Bu Ema disuruh makan dulu. Nanti malam tinggal nemenin atau mau makan lagi bersama beliau." Ema mengulas senyum lalu mengikuti saran Bi Sumi. Ia ingin mencoba membuka hatinya untuk sang suami. Itupun kalau bisa. Sebab, ia yakin Zein juga masih memendam perasaan pada mantan istrinya. Setiap kali ia bertanya tentang masa lalu, Zein selalu menjawab dengan wajah penuh penyesalan. "Bibi temani, ya!" "Tapi bibi masih kenyang.""Nggak, Bi. Saya tahu Bibi selalu makan menunggu saya. Iya, kan?" Bi Sumi mengulas senyum. Baru beberapa suap, Ema merasakan perutnya penuh. Mual pun menghinggapi. "Bu Ema, kenapa? Perutnya nggak enak?" Makanan yang masuk ke perut pun keluar." "Maaf merepotkan bibi." "Nggak, ini sudah kewajiban bibi." "Tolong bibi panggilkan dokter Syifa saja. Apa obatnya membuat saya alergi?" "Dokter yang baru itu?" "Iya, Bi. Amb
Bab 11A"Fa, aku..." Ucapan Zein mampu menenggelamkan sejenak logika Syifa. Ia hanya berdiri mematung tanpa perlawanan. Aroma parfum Zein masih sama. Menghipnotis otaknya hingga mata ingin memejam, hidung ingin menghirup rakus wanginya. "Ze..." Syifa mengerang frustasi saat sepasang tangan menyentuh bahunya. Beruntung, kesadarannya segera kembali. "Pak Zein, saya harus segera pulang." Tenggorokan Syifa terasa tercekat. Ia mengucapkan kalimat itu dengan susah payah, setelah mengingat Ema istri Zein sedang sakit. "Maaf, Fa. Aku nggak bermaksud...." "Cukup. Sebaiknya Anda mempedulikan kondisi istri. Mbak Ema butuh didampingi. Jangan menjadi suami yang tidak bertanggung jawab dengan mempermainkannya," ucap tegas Syifa. Seketika Zein memasang wajah kaku, disertai senyumnya yang perlahan memudar. Syifa hanya meneguk ludah susah payah. "Saya tahu yang terbaik untuk istri saya. Terima kasih dokter sudah mengobatinya." "Sama-sama, Pak Zein. Saya permisi dulu." "Oya, Dok. Apa laki-laki