tinggalkan jejak love dan komentar yuk. makasih susah mengikuti kisah Zein dan Syifa
Bab 6 "Maafkan aku, Syad!" "Nggak papa. Begini saja, kalau bisa membuatmu tenang, tapi jangan lama-lama. Aku bisa khilaf nanti," ucap Irsyad terkekeh. Irsyad selalu menyiapkan bahu setiap Syifa menangis. "Terima kasih. Sudah cukup, Syad. Pergilah dengan Alea. Ia pasti senang diajak jalan-jalan." "Tapi kamu sakit, Fa. Wajahmu pucat. Aku ngga tega ninggalin kamu sendiri," ujar Irsyad dengan wajah khawatir. "Kamu lupa kalau aku dokter? Aku tahu gimana cara mengobati lukaku, Syad." "Hmm, dasar keras kepala." Syifa dan Irsyad tertawa bersama. Mereka melupakan kecanggungan yang sempat tercipta tadi. "Astaghfirullah, hampir saja aku terbawa suasana." Irsyad menepuk-nepuk kepalanya. "Om icad kenapa kepalanya?" celetuk Alea menggemaskan. "Nggak papa, Al. Tadi ketiban apa gitu." Irsyad tersenyum simpul membuat gadis manis itu merangkul dan minta gendong. "Ayo, ikut Om jalan-jalan!" "Ke mana?" "Sama Mama?" "Nggak, Sayang. Mama harus nolong orang sakit. Kita jalan-jalan
Bab 7 "Apa keluhan, hmm, Bu Ema?" Syifa membaca dengan teliti rekam medis yang baru diisi identitas pasien bernama Ema Rahardian. Usianya 5 tahun lebih tua darinya. Artinya mantan suaminya menikah dengan wanita yang lebih tua tiga tahun. Ia heran kenapa istrinya bukan wanita cantik dan seksi yang dikenalkan dahulu saat di restoran. "Ah, mungkin Ze sudah bosan," batinnya. "Panggil saja, Mbak, Dok. Sepertinya saya hanya sedikit lebih tua dari dokter," balas Ema sambil mengulum senyum. Ia mengamati perubahan sikap Syifa yang menurutnya aneh. Entah karena apa Ema hanya membatin. Syifa berusaha menarik sudut bibirnya meski kaku. Ia melirik ke sosok yang berdiri di belakang kursi roda tengah mengamatinya sejak tadi. Seketika Syifa menjadi tidak nyaman. Sebuah kejutan yang terlalu cepat untuknya bertemu sang mantan. Apalagi di kota tempat mereka pertama kali memutuskan untuk menikah. Di bukit bintang, mereka merajut janji membangun bahtera rumah tangga. "Apa yang dikeluhkan, Mbak Ema?"
Bab 8"Apa kabarmu?" Syifa hanya bergeming. Lidahnya kaku untuk digerakkan. Ia mematung di tempat sambil menatap sendu wajah laki-laki yang masih bersemayam di hatinya. Menyejukkan, tetapi sedetik kemudian terasa menyakitkan. Syifa berdehem untuk menetralkan perasaannya. Suaranya mungkin parau jika memaksakan diri menjawab. "Gimana kabar Al, Fa?" "Baik," ucap Syifa terbata. Berusaha membuang pandangan, Syifa mencoba menghindari tatapan tajam Zein. Gegas ia menghirup oksigen sepuasnya supaya sesak di dada berkurang. "Syukurlah kalian berdua baik-baik saja. Bagaimana ceritanya kalian bisa tinggal di Yogya?" "Maaf, Pak Zein. Sepertinya Anda kembali ke sini ada perlu? Jika tidak ada, silakan pulang. Kasian istri Anda sudah lama menunggu." Zein ingin menuntaskan rasa penasarannya. Namun, Syifa sudah merasa tidak nyaman dan berniat mengusirnya dengan cara halus. Ia mendecis kesal karena tujuannya mengobati rasa penasaran gagal. "Apa kalian tinggal berdua di sini? Sejak kapan?" "Sek
Bab 9Sesampainya di rumah, Zein mendorong kursi Ema sampai di depan kamarnya. "Ze, cukup. Aku bisa sendiri." Larangan Ema ternyata hanya dianggap angin lalu. Raga Zein disitu, tetapi pikirannya tertinggal di klinik. "Ze! Kamu kenapa, sih?" "Astaga. Maaf, Ma. Aku .... Aku tidak sengaja masuk." Zein menjambak rambutnya frustasi. Gegas ia meninggalkan Ema yang menatapnya heran. Menikah selama satu tahun tidak mampu membuat Ema jatuh hati pada pria lain selain suaminya. Ia melarang Zein memasuki kamar pribadinya. Pernikahan mereka tidak berjalan sebagaimana mestinya. Namun, Zein tetap bersabar menghadapi Ema. "Maafkan aku, Ze. Perhatianmu padaku tidak mampu mengubah pendirianku. Ema menggerakkan kursi rodanya mendekati ranjang. Ia sudah terbiasa melakukan aktifitas mandiri saat di kamar. Ia bisa berjalan normal tetapi tidak lama. Sebab itu, Zein menyiapkan kursi roda di rumah. "Maafkan aku, Mas! Aku tidak bisa mencintainya. Entah kenapa, meski Ze orang baik. Aku selalu meragu
Bab 10 "Yang penting Bu Ema dan Pak Zein tidak bertengkar. Sekarang mau bibi siapkan makan?" "Saya menunggu Ze saja, Bi." "Hmm, kata Pak Zein. Bu Ema disuruh makan dulu. Nanti malam tinggal nemenin atau mau makan lagi bersama beliau." Ema mengulas senyum lalu mengikuti saran Bi Sumi. Ia ingin mencoba membuka hatinya untuk sang suami. Itupun kalau bisa. Sebab, ia yakin Zein juga masih memendam perasaan pada mantan istrinya. Setiap kali ia bertanya tentang masa lalu, Zein selalu menjawab dengan wajah penuh penyesalan. "Bibi temani, ya!" "Tapi bibi masih kenyang.""Nggak, Bi. Saya tahu Bibi selalu makan menunggu saya. Iya, kan?" Bi Sumi mengulas senyum. Baru beberapa suap, Ema merasakan perutnya penuh. Mual pun menghinggapi. "Bu Ema, kenapa? Perutnya nggak enak?" Makanan yang masuk ke perut pun keluar." "Maaf merepotkan bibi." "Nggak, ini sudah kewajiban bibi." "Tolong bibi panggilkan dokter Syifa saja. Apa obatnya membuat saya alergi?" "Dokter yang baru itu?" "Iya, Bi. Amb
Bab 11A"Fa, aku..." Ucapan Zein mampu menenggelamkan sejenak logika Syifa. Ia hanya berdiri mematung tanpa perlawanan. Aroma parfum Zein masih sama. Menghipnotis otaknya hingga mata ingin memejam, hidung ingin menghirup rakus wanginya. "Ze..." Syifa mengerang frustasi saat sepasang tangan menyentuh bahunya. Beruntung, kesadarannya segera kembali. "Pak Zein, saya harus segera pulang." Tenggorokan Syifa terasa tercekat. Ia mengucapkan kalimat itu dengan susah payah, setelah mengingat Ema istri Zein sedang sakit. "Maaf, Fa. Aku nggak bermaksud...." "Cukup. Sebaiknya Anda mempedulikan kondisi istri. Mbak Ema butuh didampingi. Jangan menjadi suami yang tidak bertanggung jawab dengan mempermainkannya," ucap tegas Syifa. Seketika Zein memasang wajah kaku, disertai senyumnya yang perlahan memudar. Syifa hanya meneguk ludah susah payah. "Saya tahu yang terbaik untuk istri saya. Terima kasih dokter sudah mengobatinya." "Sama-sama, Pak Zein. Saya permisi dulu." "Oya, Dok. Apa laki-laki
Bab 11B"Maafkan aku, Ma. Aku menyesal meninggalkanmu hingga kamu sakit sendirian," kilah Zein. Ia tidak ingin Ema khawatir tentang dirinya yang gusar ketemu mantan dan putrinya. Pun rasa cemburu yang tiba-tiba menghinggapi akibat ucapan putrinya tentang ayah baru. "Aku ke klinik dulu. Biar Bi Sumi menemanimu." Zein memanggil Bi Sumi supaya menemani Ema di kamar. Dengan langkah gontai, Zein menuju klinik mantan istrinya. "Assalamu'alaikum," Zein menyapa perempuan muda yang duduk di meja depan. Sepertinya perawat, pikirnya. Benar saja, ada May yang berjaga setiap malam. Sebab ia sudah kembali bersama Irsyad setelah mengantar Alea jalan-jalan. Setiap malam memang Syifa beristirahat dan bercengkerama dengan putrinya. Kini ada Irsyad dan May yang menggantikan jaga klinik. "Apa keluhan Anda, Pak?" Zein masih terpaku mengingat obrolan terakhirnya dengan Syifa. Jantungnya mulai berdetak tidak normal. Ia memikirkan apa yang terjadi jika sampai bertemu dengan laki-laki muda tadi siang. "
Bab 12Reflek Syifa membulatkan matanya, kedua tangan masih memegang jarum dan benang saat mengobati Zein. Ia hanya mematung di tempat. "Fa, aku masih mencintaimu." Syifa menyudahi acara menjahit luka Zein dengan sedikit menyentak. Alhasil, laki-laki berparas oriental itu memekik. "Ough. Bisa pelan nggak, sih?" "Tidak seharusnya pasien ngelunjak. Diam dan tunggu dokter melayani dengan baik," omel Syifa membuat Zein menarik kedua sudut bibirnya. "Anda sudah punya istri. Jangan gunakan kemampuan berlebih Anda hanya untuk merayu saya," lagi Syifa mengucap dengan sedikit mendengkus. Zein tidak menimpali karena bisa dipastikan adu mulut terjadi di ruang periksa. Ia tidak mau dicap buruk penghuni rumah yang lain terutama putrinya sendiri. "Fa, kapan kamu bisa mempertemukanku dengan Alea?" mohon Zein dengan suara lirih. Syifa tersentak, nuraninya berkata lain. Kalau biasanya ia menilai Zein kejam karena telah meninggalkannya. Saat ini ia melirik sekilas wajah mantan suaminya terlihat s