Share

Chapter 4 - Perbedaan Menyakitkan

Tidak terasa Aku dan Rafael sudah menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih selama tiga bulan. Menurutku sudah sangat wajar jika aku memberitahu hubungan ini kepada orangtuaku.

Hari ini adalah waktu yang biasanya aku gunakan untuk kembali ke rumah. Ya, hari Sabtu. Aku memang memilih untuk tinggal di apartemen karena jarak rumah yang sangat jauh dari Universitasku.

Saat tiba di rumah, aku pun memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Papa. Aku menghampiri Papa yang tengah duduk di ruang TV yang terlihat tengah asik memainkan ponselnya.

"Laila, Papa gak bisa lihat kamu memiliki hubungan dengan orang yang jelas-jelas berbeda dengan kita." Ucap Papa tegas.

"Tapi, Pa. Laila udah sayang dengan Rafael. Baru Rafael lelaki yang benar-benar memperlakukan Laila seakan cuma Laila wanita yang ada di dunia ini." Aku berkomentar

"Itu cuma sesaat, La. Cowo tuh egois. Papa yakin dia awal-awal aja begitu dengan kamu. Papa gak mau tau, kamu harus mutusin hubungan dengan Rafael. Dan, dalam bulan ini kamu harus putusin dia." Ucap Papa tegas dan langsung bergegas keluar dari rumah.

Mendengar keputusan Papa, aku menangis tersedu dan bertanya-tanya. Mengapa saat ada seseorang yang begitu menyayangiku dengan tulus harus ada penghalang seperti ini. Dan mengapa disaat orang yang datang kepadaku hanya untuk singgah sebentar justru tidak ada penghalang sama sekali.

Mengapa aku dan Rafael harus berbeda? Apa salahnya jika Aku dan Rafael berbeda keyakinan. Justru kami memiliki pemikiran yang sejalan dan saling mengerti satu sama lain. Aku bingung aku harus memutuskan apa untuk saat ini.

Aku bergegas ke kamar dan menelpon Rafael untuk mengatakan keputusan Papa.

"La, aku udah bilang kan. Ini tuh belum waktunya untuk ngomong tentang hubungan kita ke orangtua. Sekarang jadinya malah kaya gini ini kan, La?" -Rafael

"Mau gimana lagi dan mau ngomong kapan lagi, Raf? Aku ngejalani hubungan kita selama tiga bulan ini rasanya gak nyaman kalo terus terusan backstreet. Mau sampe kapan?" -Laila

"Iyaa aku tau. Tapi sekarang nyata nya apa? Papa kamu begini kan ke aku? Malah Papa kamu nyuru kamu buat putusin aku" -Rafael

"Iyaaa bagus, Raf. Setidaknya aku berani buat keputusan untuk ngomong sekarang dan aku tau keputusan papa. A—” -Laila

"Setelah kamu tau keputusan Papa kamu? Kamu bakal apa?" -Rafael

"Ya aku bakal tau kedepannya bakal gimana untuk mempertahankan hubungan kita. Gak kaya kamu yang katanya mau berjuang tapi sampai detik ini kamu gak ngomong ke orangtua kamu, padahal kamu sendiri yang dari awal ngomong kamu bakal perjuangin hubungan kita." -Laila

"La, kamu ngertiin aku dong! Mama aku lagi sakit. Aku gak bisa ngomong tentang hubungan ini sekarang. Kan kamu tau itu, La." -Rafael

***

Malam itu, aku bertengkar hebat dengan Rafael dan aku tidak membalas pesannya selama dua hari sampai Rafael mencari dan menanyakanku kepada teman dan sepupuku.

Mungkin aku memang egois dan terbawa suasana malam itu dan aku pun memutuskan untuk membalas pesan dan menelponnya.

"Raf. Maaf ya aku marah-marah dua hari yang lalu, mungkin aku kebawa suasana dan aku minta maaf juga aku baru ngehubungi kamu soalnya aku butuh waktu" -Laila

"iyaaa. Gapapa, sayanggg, aku tau kok kamu kesel dan marah. Aku juga minta maaf kalo sampai detik ini aku belum melangkah untuk perjuangin hubungan ini." -Rafael

"Udah kamu ga perlu minta maaf, mungkin bener kata kamu. Aku nya aja yang terlalu buru-buru.'' -Laila

Aku dan Rafael pun memutuskan menunggu sekitar beberapa bulan untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orangtua kami.

Karena sudah lama tidak bertemu dan terjadi perdebatan kecil antara kami, Rafael pun seketika mengajakku untuk pergi menemaninya menyelesaikan pekerjaannya di salah satu coffee shop langganan kami berdua. 

(WazzApp Notification - Rafael)

"Aku jemput kamu di kampus ya, La." -Rafael

"Kamu duluan aja. Aku masih kelas dua jam lagi, nih." -Laila

"Gapapa. Ntar kejebak macet juga bakal nyampe telat. Jangan main handphone lagi kamu. See ya" -Rafael

Aku menunggu Rafael di cafeteria kampus selama satu jam. Lalu, aku pun langsung bergegas ke parkiran.

Aku membuka pintu mobil Rafael dan seketika Rafael memberikanku bouquet bunga yang bertuliskan ''Forgive Me, Baby" dan memberikanku sebuah gelang.

Aku membelalakkan mata dengan mulut yang menganga "Raf, apa ini?" Tanyaku

Rafael pun memberikan senyum kepadaku "ini bentuk perminta maafku untuk kamu, La" jawab Rafael sementara aku masih terpaku di pintu mobilnya.

Aku menghela napas mendengar jawaban Rafael "Tapi, Raf. Kamu gak perlu ngelakuin semua ini. Hal ini bukan salah kamu sepenuh nya, Raf.” Ucapku menjelaskan

"Iya, La. Aku cuma mau kamu gak sedih. Aku rasa pemberian aku bisa buat kamu seneng lagi." Ucap Rafael dan langsung meraih tanganku "Mau sampe kapan kamu berdiri di situ?" Tanya Rafael dengan mengangkat alisnya. Aku pun akhirnya masuk ke dalam mobil dan mengambil bouquet bunga itu.

"Ntar habis nemenin aku kerja kita makan yuk?” Ucap Rafael sembari menyetir

“Yuk! Tapi dimana? Ada saran gak?” Tanyaku bingung

“Kamu mau ke restaurant India gak? aku kemarin nyobain makan di restaurant India dan makananya lumayan enak. Kamu kan sering banget tuh pengen cobain makanan khas India.”

"Wah! boleh tuh." Jawabku bersemangat

***

Aku merasa jenuh dengan beberapa tugas yang sudah aku kerjakan untuk laporan ujian nanti. Aku seakan tidak bisa lagi berpikir. Akhirnya, aku mengajak teman-temanku pergi untuk meluapkan penat ke salah satu café untuk menikmati live music bersama.

"Guys. Kalian lihat hp gue gak?" Tanyaku yang tengah bersusah payah mencari ponselku.

"Hp lo ketinggalan di mobil." Jawab April dengan yakin.

Aku pun langsung pergi ke parkiran mobil untuk mengambil ponsel. Seketika, ada seorang lelaki menghampiriku saat aku masih bersusah payah mencari ponselku di dalam mobil "Permisi, Mbak. Aku boleh nanya, nggak?" Tanya lelaki itu dengan ragu

"Iyaaa. Boleh. Mau nanya apa, Mas?" Tanyaku sembari membalikkan tubuhku.

"Kalo mau ke Rooftop ini lewat mana, ya?" Tanya lelaki tersebut sembari menatapku "Laila?" Ucapnya terkejut

"Aqsa!!! Kamu ngapain disini? Ya ampun kita udah lama banget gak nongkrong bareng gak, sih?" Tanyaku terkejut sembari membelalakkan mata kearah Aqsa.

"Ya mau chill aja nih biasa. Iyaa bener banget, semenjak kamu punya pacar, kamu asik sendiri." Sindirnya.

"Haha gak gitu juga yee. Oh iya tadi kamu nanya rooftop buat live music kan? Kamu langsung ke lift dan naik ke lt 12P."

“Yep. Okay, Thank you, La. Aku duluan ya." Jawab Aqsa dan aku pun mengangguk. Aku mengambil ponsel yang tertinggal di dalam mobil dan langsung bergegas kembali ke café. Ketika aku masuk kedalam lift, aku bertemu lagi dengan Aqsa didalam lift itu.

"Hai, kamu mau ke rooftop juga?" Tanya Aqsa memastikan kepadaku

"Iyaaa. Aku sama temen-temenku lagi nongkrong di rooftop itu juga."

"Oh. Join bisa kali?" Pinta Aqsa memohon

"Boleh-boleh. Lagian kamu juga udah kenal kan sama temenku" Jawabku

"Iyaaa. Kenal banget malah, La.” Jawabnya sembari terkekeh

Setelah pertemuan itu, aku berbincang dengan Aqsa selama satu bulan tanpa sepengetahuan Rafael. Terkadang aku hanya ingin menceritakan kegiatanku sehari-hari bersama Aqsa.

Mungkin karena Aqsa berstatus mahasiswa sama sepertiku jadi dia lebih paham tentang masalah perkuliahan dan pastinya masih punya banyak waktu senggang untuk mengobrol. Berbeda dengan Rafael.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status