Share

Chapter 5 - Pengkhianatan

Setelah aku memberitahu Papa dan mengetahui keputusannya yang tidak menyetujui hubunganku dengan Rafael, rasanya aku kehilangan harap. Namun tetap saja aku tidak boleh untuk menyerah.

Bagaimana pun juga, aku dan Rafael sudah berjanji untuk bersama ke jenjang yang lebih serius. Aku tidak mungkin bisa mengecewakannya yang memang sudah punya harapan itu.

Namun, semenjak aku membuka diri kepada Aqsa, aku salah melangkah dan mengkhianati Rafael. Aku memilih untuk mendekatkan diri lagi dengan Aqsa. Seseorang yang aku kenal sebelum Rafael dan seseorang yang mungkin sering rutin bertanya mengenai kegiatanku sehari-hari. Berbeda dengan Rafael yang memang akhir-akhir ini tak selalu sempat untuk bertanya sesering itu.

Aqsa adalah kakak seniorku, kampusnya berada bersebelahan dengan kampusku. Aku kenal dengannya dikarenakan kegiatan ekstrakurikuler yang seringkali bertanding dengan kampusnya.

Aku tau resiko pekerjaan Rafael sebagai pengacara memang tak mudah untuk mendapatkan banyak waktu. Mengerjakan kasus saja rasanya pikirannya sudah mulai pecah. Aku memahaminya dan tak ingin pula mengganggu waktunya. Salahnya aku, aku malah memanfaatkan itu dan memilih untuk mengkhianatinya dengan Aqsa.

Aku duduk di sebuah taman yang berada di kampusku sembari membaca materi untuk presentasi nanti "Laila, kamu lagi sibuk?" Ucap Aqsa tiba-tiba menghampiri dan mengejutkanku

"Astaga kamu ngagetin aku banget. Nggak sih kenapa?"

"Aku mau ngomong sama kamu." Ucap Aqsa serius

"Ya udah ngomong aja, mau ngomong apa? sepuluh menit lagi aku masuk kelas nih mau presentasi." Jelasku

"Kamu mau gak jadi pacar aku?" Pinta Aqsa terus terang.

"Hahahaha. Kenapa kamu pengen jadi pacar aku?" Tanyaku sembari tertawa terbahak-bahak

"Ya karna selama kita chattingan, aku ngerasa nyaman aja ngobrol sama kamu."

"Tapi kamu tau kan aku udah pacaran sama Rafael." Aku mengingatkannya

"Iya aku tau. Tapi, kamu sama dia gak bakal lama. Bahkan kamu sendiri gak yakin dengan dia, La. Hubungan kalian itu susah untuk di pertahanin. Pertama, kamu dan Rafael beda agama. Kedua, Papa kamu gak setuju. Dan ketiga, dia jarang punya waktu untuk kamu." Jelas Aqsa.

Aku memang sering menceritakan Rafael kepadanya. Dia memang sudah ku jadikan tempat untuk berkeluh kesah. Namun aku masih tidak menyangka saja bahwa sikapku bisa membuatnya nyaman selama ini.

"Iyaaa. Tapi kamu gak tau kan aku sama dia tuh lagi berjuang, aku rasa kalo aku sama dia sama-sama berjuang, gak akan ada yang namanya berpisah. Dan, dia jarang punya waktu untuk aku karna kerjaannya. Kita masih kuliah jadi kita gak tau kan dunia kerja itu gimana." Aku mengomentarinya.

"Iya aku tau. Tapi sesibuk sibuknya orang yang kerja. Dia pasti akan prioritaskan orang yang dia sayang." Jawab Aqsa sembari tertawa sinis.

"Dia prioritas-in aku kok. Awal-awal juga kaya gitu. Tapi sekarang ya dia dapet beberapa klien jadi memang agak sibuk." Aku berusaha membela Rafael.

"Oke-oke. Just put him aside. Sekarang fokus antara aku dan kamu. Gimana? Kamu mau jadi pacar aku? Mungkin aku bisa buat kamu lebih nyaman dari dia. Ya memang aku belum kerja, tapi beberapa bulan lagi kan aku lulus." Ucap Aqsa dengan yakin

"Oke. Aku terima kamu." Jawabku santai

"Serius, La?" Tanya Aqsa tidak yakin

"Iyaaa."

"Finally. Thanks yaaaaa. I love you, La. Aku bakal buktiin ke kamu kalo Rafael bukan yang terbaik."

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Aku tipe orang yang tidak bisa mengatakan ‘I love you’ dengan gampangnya kepada orang yang memang belum kucintai.

Aku melirik arloji di pergelangan tangan kiriku dan sudah menunjukkan tepat pukul dua siang "Oh iya, udah jam dua nih. Aku masuk dulu ya. Kamu gak balik ke kampus kamu?"

"Okee. Good luck presentasinya, La. Ini aku mau balik. See you soon!!"

"Okee. See you. Hati-hati."

"Yailah, kampus cuma di samping doang pake hati-hati." Ucap Aqsa mengolok

"Ya kali aja kan ntar kamu sampe depan tiba-tiba kesandung. Udah ah aku udah telat. Bye."

***

Aku menjalin hubungan bersama Aqsa hanya sampai dua minggu saja. Selama dua minggu itu aku selalu di hantui dengan perasaan bersalah apalagi jika aku bertemu dengan Rafael.

Aku tak sanggup untuk mengkhianatinya sedikit pun. Aku harusnya sudah menerima Rafael apapun itu profesinya yang membuat Rafael tak bisa menghubungiku setiap saat. Harusnya aku menerima itu. Setelah dua minggu itu, aku memutuskan untuk memutuskan hubungan dengan Aqsa

Aku tengah melamun di kelas dan tidak memperhatikan dosen sedikit pun "Woi, ngelamun mulu lo. Lo kenapa sih?" Dina mengejutkanku dari lamunan.

"Ngagetin banget sih, lo." Aku menghela napas "Gue selingkuhin Rafael selama dua minggu ini sama Aqsa. Dan, gue ngerasa bersalah banget sama Rafael. Gue mau mutusin hubungan gue sama Aqsa tapi gue bingung ngomong ke dia gimana. Soalnya dia memang gak ada salah apa-apa sih. Salah banget gue nerima dia." Ucapku frustrasi.

"Oh Aqsa. iya gue tau." Ucap Dina singkat

"Lah lo tau darimana?" Tanyaku membelalakkan mata.

"Ya kita semua udah tau. Aqsa kan ngasi tau ke temen-temennya di kampus kalo dia pacaran sama lo. Sebenarnya tuh dia pengen nunjukin aja ke temen-temennya kalo dia bisa dapetin cewe di kampus kita. You know? Kind of--- taruhan gitu." Ucap Dina tertawa sinis.

"Ya lagian lu jangan polos-polos banget kali, La. Mana ada sih orang mau di jadiin selingkuhan." Sambung Aurora

"Ya ada lah. Kalo gak mah gak ada yang namanya pelakor." Ucap April menyambung

"Ya itu beda kali nyet!" Seru Dina

"Ooh jadi tujuan dia itu. Yaudah gue emang udah bener mutusin dia." Aku memegang kepalaku dan tampak kesal dengan diriku sendiri "Haaa rasanya aku mau nangis udah mengkhianati orang sebaik Rafael." Ucapku kesal.

"Udah gak papa itu mah. Ya biasa itu karna memang kita belum terbiasa pacaran sama orang yang udah kerja. Jadi kadang suka cari pelampiasan." Jawab April.

Setelah perkuliahanku selesai, aku menunggu Aqsa di salah satu coffee shop kampus untuk memutuskan hubungan dengannya.

"Laila, sorry ya lama. Kamu udah lama disini?" Ucap Aqsa panik

"Oh nggak kok santai aja." Jawabku singkat.

"Kamu udah pesen?"

"Udah nih." Aku menunjukkan es kopi susu yang ada di hadapanku

"Toast-nya enak loh disini. Aku pesenin ya."

Aku menggenggam tangan Aqsa untuk menghentikannya menuju ke kasir "Gak usah. Aku udah kenyang banget.”

Aqsa memberikan senyum kepadaku dan dia pun bergegas duduk "Oh iya kamu mau ngomong apa?"

"Aku gak bisa lanjutin hubungan kita." Ucapku dengan singkat, padat, dan jelas

"Lah kenapa? Bukannya kita baik-baik aja?" Aqsa menatapku dengan tatapan serius dan juga terlihat sangat kesal "Oh-- Rafael masih buat kamu nyaman?" Dia tertawa sinis "Ya wajar dong. Kita baru pacaran selama dua minggu, La. Jadi aku butuh waktu. Sementara kamu udah pacaran selama lima bulan kan sama Rafael?"

"Bukan itu masalahnya." Aku menghela napas

"Terus?" Tatap Aqsa sinis

Aku menceritakan rumor tujuan Aqsa untuk memiliki hubungan denganku hanya sebatas ingin berpacaran dengan orang-orang di kampusku saja "Astaga, La. Gak kaya gitu. Oke di awal aku memang punya niat kaya gitu. Tapi sekarang nggak, La. Sama sekali nggak. Justru aku sayang banget sama kamu. Please percaya aku." Ucap Aqsa memohon dengan tatapan nanar

"I can't. Aku gak mau salah ambil keputusan. Aku juga udah salah banget khianatin Rafael.  Aku merasa bersalah banget dengan dia, Aqsa. Aku minta maaf ya aku gak bisa."

Aku pun memegang tangan Aqsa dan menjelaskan kembali perasaanku "Kita masih bisa temenan kaya dulu, Aqsa. Dan kamu harus inget, kita mungkin memang pernah ngerasa untuk pengen pacaran sama anak kampus lain. Tapi, itu hanya sekedar menunjukkan ke orang-orang aja kan? Belum tentu kita memang nyaman ngejalaninya. Jadi jangan kaya gitu lagi ya. Aku rasa kamu lebih paham akan hal itu.” Ucapku sembari memberikan senyum

"Iya aku tau, La. Tapi aku ngomong jujur sama kamu. Awalnya mungkin memang iya. Tapi aku udah nyaman sama kamu dan aku memang bener-bener sayang sama kamu."

"Iya aku tau. Memang niat awal itu bisa merubah semuanya. Kaya dulu aku niat awalnya pacaran sama Rafael cuma karna aku kesepian, tapi sekarang aku udah benar-benar sayang sama dia. Aku tau posisi kamu sekarang gimana." Tidak sadar aku pun meneteskan air mata saat menyebutkan nama Rafael

"Tapi-- aku memang gak bisa ngelanjutin hubungan kita. Aku minta maaf ya, Aqsa."

Aqsa menatapku dengan tatapan kecewa dan bergegas berdiri dari duduknya "It's okay. Aku pergi dulu ya, La. Aku butuh waktu." Jelas Aqsa dan langsung pergi meninggalkanku tanpa memberikanku kesempatan untuk menjawab.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status