Tujuh purnama berlalu, dua musim berganti setelah terakhir kali kami berjumpa di depan meja hijau. Kini aku sudah makin mandiri, usaha toko berkembang pesat sehingga aku mendapatkan keuntungan dan semakin banyak tabungan.Kuhabiskan waktu luang untuk berolahraga, mengikuti kelas memasak dan kursus kecantikan. Kujalani hari-hariku dengan bahagia tanpa memikirkan lagi orang yang pernah mencampakkan hati ini. Tak lupa juga kuperhatikan tumbuh kembang anak anak serta pendidikan mereka. Fokusku sekarang adalah membahagiakan diri sendiri dan anak anak. Aku sempat terpuruk dalam kesedihan di awal awal perceraian, merasa langkahku timpang dan hari hariku kesepian. Tapi, seiring berjalannya waktu, semua rasa itu menghilang dengan sendirinya. Luka mengering lalu sembuh berikut dengan hari hari penuh mendung yang bergulir digantikan dengan hari yang baru.Kupikir aku mungkin tak mampu berdiri setegak ini, tak mampu melangkah karena masih stuck di masa lalu. Tapi ternyata, menegarkan diri dan be
"Apa maksudmu bilang begitu kenapa kau mengancamku memangnya kutukan apa yang bisa kau turunkan pada diri ini?""Boleh jadi, anak itu akan celaka atau cacat gegara ucapan dan kesombongan ibunya," ucapku kesal.Jujur saja Sebenarnya aku tidak ingin mengucapkan kalimat seperti itu tapi karena mau nama mancing kemarahanku maka aku pun tak sengaja terlontarkan kalimat itu."Sudah, sudah, Indira aku minta maaf ya, atas ucapan Mona. Kamu tahu sendiri kan kalau wanita hamil agak sensitif dan mudah berprasangka buruk jadi kumohon kamu tolong pahamilah itu....""Aku tidak harus memahaminya dari sekarang dari dulu dia memang sudah kurang ajar," jawabku tertawa."Diam ya, jangan membuat perhatian semua orang teralihkan," ucapnya geram, Mona mencengkeram tangannya sendiri dengan kencang dan terlihat kesal sekali.Dia mungkin tidak terima dengan ucapan yang pertama kali kuucapkan, tentang anaknya akan celaka karena perbuatannya sendiri. Wajah wanita itu nampak merah padam dan nafasnya naik turun m
Saat aku hendak melangkah pergi, tak sengaja diri ini berpapasan dengan Mona yang kebetulan baru saja keluar dari ruang USG dan terlihat mencari sang suami."Kau lagi, kalian di sini?" tanyanya dengan napas yang seakan ingin sesak seketika."Ya. Aku akan pergi," ucapku sambil tersenyum miring, mengejek wanita yang terus cemburu denganku itu."Apa yang kalian bicarakan?""Itu, suamimu, mencoba merayuku," jawabku tertawa, sengaja kukatakan itu agar dia semakin panas hati dan geram."A-aku tidak mengatakan itu," ujar Mas Alvin membela diri."Oh ya? tapi istrimu mendengarnya," ujarku tergelak."Apa maksud kalian, kenapa ada pernyataan tidak ada kesempatan kedua.""Ya, karena aku tidak akan memberikan kesempatan kedua padanya sekuat apapun dia memohon untuk mendapatkan kesempatan itu." Aku tertawa sambil menjawab dan langsung melenggang pergi "Betul, Mas, kalau kamu ingin balikan sama dia?""Gak benar," jawab Mas Alvin mengelak."Tapi gak mungkin Indira bohong.""Kamu tahu, dia hanya menc
Dua hari berselang setelah pembicaraan kami di klinik, kudengar kabar bahwa Mona telah melahirkan bayi perempuan. Aku terkejut karena kabar itu datang dengan cepat, juga kaget karena usia pernikahan mereka tujuh bulan. Ah tapi Bukankah dia sudah hamil sebelum menikah, kurasa memang sudah waktunya."Bunda kami punya adik," ucap putraku Gema. Bocah berumur delapan tahun itu tidak paham bahwa itu adik tirinya."Ya, syukurlah nak," jawabku mengangguk.Anak anak memberi tahuku, memberi tahu kalau mereka punya adik baru. Kedua anakku terlihat antusias, tidak paham akan konflik yang tengah terjadi pada orang tua mereka."Kapan kita bis menjenguk mereka?""Uhm, mungkin besok saja, hari ini Bunda sibuk di toko.""Kita mau lihat anak Papa.""Iya tentu saja Nak, kita akan mengunjunginya.""Bunda gak apa apa kan sama Tante Mona, bukannya bunda musuhan?""Kami gak musuhan kok, hanya jarang bicara," jawabku memenangkan anak anak."Kalau Bunda dan Tante Mona berantem, berarti kami gak bisa ketemu ad
Kuajak anak anak pulang setelah mereka puas mengintip adik tirinya dari balik jendela kamar perawatan intensif khusus bayi."Ayo anak-anak kita pulang hari sudah sore," ucapku."Tapi Bunda, kita belum lama di sini ....""Kita harus ke rumah nenek sebentar lalu mampir membeli makanan, lagi pula kalian bisa ketemu adik kalian besok lagi. ayo," ajakku."Yah, oke deh," jawab mereka dengan wajah sedikit kecewa.Sebenarnya bukan momen pertemuan dengan baik itu saja yang diharapkan oleh anak-anak. Mereka sudah lama merindukan papanya dan ingin menghabiskan waktu bersama Mas ALvin. Kehamilan Mona benar-benar menyita perhatian dan waktu mantan suamiku itu, sehingga ia jarang sekali bisa menyapa anak anaknya. Saat pertemuan dengan anak-anak, Rina dan gema pun seakan sulit lepas dari ayahnya."Kamu dari mana saja kenapa tidak menyusul kami.Apakah kau berbincang dengan Mona?""Ya, aku berbincang dengannya sebentar, lalu keluar dan duduk di kursi taman," jawabku.Mantan Suamiku itu memperhatika
“Indira, tunggu!” Mas Alvin berusaha menghentikanku yang mengemudikan mobil meninggalkan dirinya dari depan lokasi parkir rumah sakit, dia terlihat masih mengejar dan akhirnya menyerah setelah aku keluar dari gerbang utama lantas meluncur ke jalan raya.“Papa kenapa Bunda?”“Entahlah,” jawabku.“Kenapa dia ngejar?”“Belum puas ngomong kali ya,” jawabku sambil tertawa. “Aku dengar Bunda tengah dekat dengan seseorang, apakah itu benar?” anakku yang sulung menyelidiki dengan wajah penasaran.“Iya, itu cuma teman, nanti juga bunda pertemukan dengan kalian,” jawabku. Kedua wajah bocah itu saling pandang dan kupandangi pantulannya dari kaca.“Tapi kami belum tentu suka,” jawab Rina.“Paling juga jelek, gak lebih baik dari papa…” Gema menggumam dengan wajah cemberut dan dia menyilangkan tangannya ke dada. Aku tergelak melihat sikap anakku “Uhm, dan gimana kalau ternyata orangnya baik banget, lebih baik dari papa?”“Emang ada yang kayak gitu Bund?” kedua bocah itu bertanya dengan wajah
“indira, jadi kau di sini dengan anak anak, tidakkah kau sadar ini sudah malam dan sudah waktunya beristirahat karena besok anak anak harus sekolah!” nampaknya sikap sentimen dan iri suamiku tidak tertahankan, i mean dia mantan suamiku.“Ya,aku di sini, ini masih jam tujuh malam Mas, lagipula anak anak sedang berbahagia menikmati waktu dan hadiah dari Mas eko,” jawbku sambil melirik pria yang ada disampingku itu, Mas ekojuga nampak tersenyum ramah dan mengulurkan tangan pada mantan suamiku untuk menyapanya.“Perkenalkan saya eko, saya teman indira,” ujar Mas Eko dengan ramah.Mas alvin menatap wajah pria itu dengan seksama, menatap uluran tangannya dan mimik wajahku yang mengangkat alis menunggu responnya, apakah dia akan bersikap ramah atau kesal aku tak tahu.“Tidak usah berkenalan atau menjabat tanganku, aku tidak membutuhkannya,” ucap mas alvin.“Oh baiklah, senang berjumpa dengan ayah anak anak manis ini,” ujar Mas eko yang tetap berusaha sabar dan mengendalikan dirinya.“Tapi
Akhirnya, dia yang kutatap dengan mata nanar dan kuberi ucapan paling tegas memilih mengalah dan bersurut menjauh dengan wajah kecewa. Ya, kurasa dia tak punya alasan lagi untuk menahanku dan anak anak. Jarak yang membentang di antara kami sudah demikian jauh, dia suami orang sementara aku hanya janda bekas istrinya, hidup kami sudah tidak terhubung lagi.*"Thank you ya Mas, udah nganterin," ucapku pada Mas Eko, saat kami turun dari mobilnya."Hmm, Indira, sebentar ...." Pria itu turun dari mobilnya dan mendekatiku."Kenapa Mas?" Aku seakan melihat dia ingin mengatakan sesuatu yang penting."Aku merasa tak tenang setelah melihat tempramen mantan suamimu, aku khawatir tentangmu dan anak-anakmu. Aku ingin melindungi kalian," ucapnya."Insya Allah aamin, Mas.""Aku ingin kita langsungkan saja pernikahan."Hahahaha.Aku tergelak, mendekat dan berpacaran saja tidak, bagaimana kami akan menikah dalam waktu dekat. lagi pula aku terkejut dengan obsesinya yang memintaku untuk menikah secar