Bergegas mendengar itu aku segera masuk ke dalam, ibu mertua juga nampak tegang dan segera teralihkan, menyusulku untuk melihat apa yang terjadi.Dari dalam situasi sudah menegangkan, ada Gema yang terlihat takut, Mona yang masih berantakan dengan rambut tergerai nampak berusaha menenangkan tangisan bayinya yang kencang. Bocah kecil itu seakan kehabisan napas oleh menangis."Gema, ada apa?" Tanyaku pada anakku."Bund, aku cuma mau cium adek," jawab Gema dengan mimik cemas."Kamu memukul putraku, buktinya keningnya merah dan dia yang sedang tidur pulas langsung terbangun.""Enggak Tante," sanggah putraku dengan bola mata berkaca kaca."Kamu ya Mbak, kenapa sih kamu gak didik anak kamu dengan baik sehingga tidak membuat kekacauan seperti ini baru saja aku hendak mandi dan mengganti pakaian tiba-tiba dia yang sudah susah payah aku tidurkan langsung menangis lagi," ucap Mona sambil berusaha mengayunkan bayinya di tangan, ia nampak kesal sekali."Gema hanya ingin mencium ....""Anakku sed
Setelah Elina sedikit tenang dan tertidur kuletakkan dia di box bayi yang kebetulan diletakkan di ruang keluarga, mungkin tujuannya agar Mona bisa bersantai sambil nonton TV sekaligus bisa menjaga bayinya. Kulit akar bayi itu laluku selimuti sementara Mona masih di posisinya duduk dengan tatapan kosong dan menangis."Kau sepertinya butuh konseling dan dokter jadi pergilah temui orang yang terkait dan rawat dirimu," ujarku saat hendak pergi."Apa peduliku, heh?" tanyanya menyeringai."Aku peduli tentang anakmu seorang anak akan terancam jika orang-orang yang menjaga mereka tidak dalam kondisi mental yang waras, tekanan pikir dan kelelahanmu membuat kau akan melampiaskannya kepada Elena, tolong pikirkan anakmu. Aku akan pergi dulu.""Alvin pasti sangat mengagumi apa yang kau lakukan hari ini.""Aku tidak pernah punya target agar dikagumi olehnya bahkan aku tidak mau berjumpa dengan Alvin lagi," jawabku."Sebaliknya, Mas Alvin terobsesi untuk selalu memperhatikan keadaanmu dan melihatmu
Niatku tersenyum pria itu hanya bisa menghalalkan sambil menggiringkan kepala dan memijat keningnya. Sepertinya dia malu padaku tapi terlalu sulit untuk mengatakannya. Mungkin juga merasa sangat menyesal dan menyadari betapa bodohnya dia sudah menelantarkan kami."Kenapa kau menjadi seperti itu setelah memintaku untuk menikmati semua penderitaan ini?""Kau ingat aku mendampingimu dan melayanimu sepenuh hati, tapi kau malah memilih wanita itu dibandingkan kenyamanan yang sudah ada di dalam rumah dan keluarga kita. Jadi aku harus bicara apa lagi selain memintamu untuk menikmati pilihanmu sendiri?""Ah, pulanglah, berhati hatilah," jawabnya degan helaan napas putus asa. Sepertinya bicara denganku tidak akan membuat dia mendapatkan titik temu, jadi alih alih melanjutkan pembicaraan ia malah menyuruhku pulang."Baiklah, jaga dirimu, kami pulang dulu.""Sejujurnya aku masih rindu anak anak, tapi ucapanmu membuatku kesal," keluhnya dengan wajah putus asa."Yang kuucapkan kenyataan kan, seh
Keesokan hari setelah kejadian semalam, aku terbangun agak kesiangan karena malam tadi aku nyaris tidak tidur, gelisah memikirkan tentang sikap Mas ALvin yang berlebihan.Kukerjabkan mata sambil melirik waktu yang tertera di ponselku. Rasanya tubuh ini lelah sekali untuk memaksakan diri bangun dan beraktivitas, lebih nyaman berguling di bawah selimut hangat dan dinginnya hawa air conditioner ini."Ah, andai hidup ini tidak perlu perjuangan panjang aku pasti akan jadi orang yang paling bahagia di waktu rebahan," gumamku sambil menghela napas dan mengumpulkan kekuatan untuk beraktivitas.Tring....Kuangkat segera ponselku yang berdering, di sana tertera nama Mas Eko."Halo, Mas?""Bagaimana keadaanmu pagi ini apakah Alvin mengganggumu?""Tidak Mas, Alhamdulillah tidak ada gangguan.""Baiklah aku lega.""Terima kasih atas perhatiannya, Mas.""Jadilah istriku agar aku bisa melindungimu, memberimu kehidupan yang layak dan sebuah keluarga yang bahagia. Aku jujur saja, selalu membayangkan b
Tak bisa kubayangkan betapa tersinggungnya dia mendengar ucapanku. Aku yakin dia menyimpan dendam yang amat sangat dan rasa kecewa yang tidak bisa digambarkan.Apa boleh buat aku harus mengatakan itu agar dia tidak lagi datang dan menggangguku. Kalau pria sudah sakit hati mereka biasanya tak akan sedih lagi menemui orang yang membuat mereka sakit hati. Aku berharap betul bahwa Mas ALvin tidak lagi berusaha menemuiku kecuali berusaha menemui anak-anak.*"Mas bisa kita bicara aku ingin menyampaikan hal penting," kataku kepada Mas Eko ketika aku hubungi dia setengah tiga sore ini."Iya tentu, aku juga menunggu moment kau menghubungiku dan mengajakku untuk bertemu, aku juga rindu denganmu," jawab Pria itu dengan jujur, aku tersentuh mendengar perkataannya dan senyumku mengembang hangat di pipi. Aku merasa mendapatkan sisi optimis setiap kali bicara dengannya."Baiklah, kutunggu kamu di restoran seafood Amora. Kuharap kita bisa berbincang-bincang yang lebih banyak dan menghabiskan waktu b
"Aku tidak merasa mengirimkan undangan untukmu memangnya siapa yang akan mengirimnya, kau pikir kau penting, untuk apa aku mengundang pengacau ke pesta kebahagiaanku?" tanyaku yang emosi sekali melihat kardus barang dirusak olehnya."Kalau bukan kau, siapa lagi selain pria kurang ajar itu kalian berdua sepertinya kompak ingin mengolok-olokku sehingga sampai mengundang ke acara kalian. Kau liat nama yang tertera, itu namaku.""Kenapa kau begitu tersinggung. Mungkin orang punya niat baik dengan itu. Dengan mengajakmu datang ke pesta kami, mungkin Mas Eko berniat berdamai dan ingin melanjutkan hidup dengan baik, kenapa kau selalu berpikiran negatif tentang sikap orang lain?""Bagaimana aku bisa berpikiran positif setelah apa yang dia lakukan padaku tempo hari! aku benar-benar muak padanya," Jawab Mas alvin sambil menggeram, ia menahan napasnya yang memburu oleh emosi yang membuncah."Kau ini penuh dendam ya Mas?" gumamku sambil menggeleng."Bagaimana tidak, ia mencurimu dariku!" Jawabny
Mendengarnya, emosiku membuncah, bukan main sakit hati dan geramnya diri ini mendengar Mona ingin mengambil alih hak anak anak. Masih tidak sampai di akalku bagaimana dengan beraninya dan tanpa rasa sungkan sedikit pun bertanya tentang hal itu.Kupandangi wajahnya, wanita itu tersenyum tipis sambil mengalihkan pandangan pada anaknya, sikapnya yang defensif dan mencoba mencari perlindungan dengan cara memandangi bayi itu, berharap bahwa aku jatuh Iba padanya, hanya berujung kekesalan yang semakin murkanya diri ini."Apa katamu?" Aku mendekat, dia mundur dengan wajah cemas, sementara aku semakin maju untuk memberinya pelajaran.Kuraih bagian leher baju wanita itu, mencengkeram lalu menariknya lebih dekat denganku, dia ketakutan, menahan napas sambil mencoba menyeimbangkan anak yang ada di pelukannya."A-apa yang ingin Mbak lakukan?""Dengar ya, aku tahu seberapa banyaVk gaji mantan suamiku, sejauh apapun dia pergi, tanggung jawabnya tetap melekat pada anak anak kami, beraninya kau, Jala
"Apa?""Iya, Mona meminta untuk mencegah anak anak menerima nafkah pemberian darimu, apakah aku harus diam saja?" Tanyaku sambil mengangkat dagu, pura pura berani padahal takut sekali."Kenapa dia sampai bicara seperti itu?""Karena ingin menguasai semua yang kau miliki untuk dia dan anaknya. Apa kau tidak peka?!""Tapi itu mustahil....""Mustahil apanya, dia memang datang dan mengatakan itu, kalau tidak percaya tanya saja langsung, jangan hanya mendengar satu pihak saja," jawabku sambil memegangi tanganku yang sakit akibat cengkramannya. Kesal sekali rasanya, ketika aku yang tidak menyulut masalah malah dipermasalahkan."Kalau begitu aku akan bicara kepada Mona?""Lalu bagaimana dengan tanggung jawabmu yang sudah mendorong dan menyakitiku aku tersungkur dan barang-barangku terjatuh ke lantai. Apakah kau tidak akan bertanggung jawab dengan itu?!""Maafkan aku," ucapnya lirih. Dia segera berinisiatif untuk membereskan kardus-kardus yang terjatuh lalu merapikannya kemudian mendekat pada