Kuajak anak anak pulang setelah mereka puas mengintip adik tirinya dari balik jendela kamar perawatan intensif khusus bayi."Ayo anak-anak kita pulang hari sudah sore," ucapku."Tapi Bunda, kita belum lama di sini ....""Kita harus ke rumah nenek sebentar lalu mampir membeli makanan, lagi pula kalian bisa ketemu adik kalian besok lagi. ayo," ajakku."Yah, oke deh," jawab mereka dengan wajah sedikit kecewa.Sebenarnya bukan momen pertemuan dengan baik itu saja yang diharapkan oleh anak-anak. Mereka sudah lama merindukan papanya dan ingin menghabiskan waktu bersama Mas ALvin. Kehamilan Mona benar-benar menyita perhatian dan waktu mantan suamiku itu, sehingga ia jarang sekali bisa menyapa anak anaknya. Saat pertemuan dengan anak-anak, Rina dan gema pun seakan sulit lepas dari ayahnya."Kamu dari mana saja kenapa tidak menyusul kami.Apakah kau berbincang dengan Mona?""Ya, aku berbincang dengannya sebentar, lalu keluar dan duduk di kursi taman," jawabku.Mantan Suamiku itu memperhatika
“Indira, tunggu!” Mas Alvin berusaha menghentikanku yang mengemudikan mobil meninggalkan dirinya dari depan lokasi parkir rumah sakit, dia terlihat masih mengejar dan akhirnya menyerah setelah aku keluar dari gerbang utama lantas meluncur ke jalan raya.“Papa kenapa Bunda?”“Entahlah,” jawabku.“Kenapa dia ngejar?”“Belum puas ngomong kali ya,” jawabku sambil tertawa. “Aku dengar Bunda tengah dekat dengan seseorang, apakah itu benar?” anakku yang sulung menyelidiki dengan wajah penasaran.“Iya, itu cuma teman, nanti juga bunda pertemukan dengan kalian,” jawabku. Kedua wajah bocah itu saling pandang dan kupandangi pantulannya dari kaca.“Tapi kami belum tentu suka,” jawab Rina.“Paling juga jelek, gak lebih baik dari papa…” Gema menggumam dengan wajah cemberut dan dia menyilangkan tangannya ke dada. Aku tergelak melihat sikap anakku “Uhm, dan gimana kalau ternyata orangnya baik banget, lebih baik dari papa?”“Emang ada yang kayak gitu Bund?” kedua bocah itu bertanya dengan wajah
“indira, jadi kau di sini dengan anak anak, tidakkah kau sadar ini sudah malam dan sudah waktunya beristirahat karena besok anak anak harus sekolah!” nampaknya sikap sentimen dan iri suamiku tidak tertahankan, i mean dia mantan suamiku.“Ya,aku di sini, ini masih jam tujuh malam Mas, lagipula anak anak sedang berbahagia menikmati waktu dan hadiah dari Mas eko,” jawbku sambil melirik pria yang ada disampingku itu, Mas ekojuga nampak tersenyum ramah dan mengulurkan tangan pada mantan suamiku untuk menyapanya.“Perkenalkan saya eko, saya teman indira,” ujar Mas Eko dengan ramah.Mas alvin menatap wajah pria itu dengan seksama, menatap uluran tangannya dan mimik wajahku yang mengangkat alis menunggu responnya, apakah dia akan bersikap ramah atau kesal aku tak tahu.“Tidak usah berkenalan atau menjabat tanganku, aku tidak membutuhkannya,” ucap mas alvin.“Oh baiklah, senang berjumpa dengan ayah anak anak manis ini,” ujar Mas eko yang tetap berusaha sabar dan mengendalikan dirinya.“Tapi
Akhirnya, dia yang kutatap dengan mata nanar dan kuberi ucapan paling tegas memilih mengalah dan bersurut menjauh dengan wajah kecewa. Ya, kurasa dia tak punya alasan lagi untuk menahanku dan anak anak. Jarak yang membentang di antara kami sudah demikian jauh, dia suami orang sementara aku hanya janda bekas istrinya, hidup kami sudah tidak terhubung lagi.*"Thank you ya Mas, udah nganterin," ucapku pada Mas Eko, saat kami turun dari mobilnya."Hmm, Indira, sebentar ...." Pria itu turun dari mobilnya dan mendekatiku."Kenapa Mas?" Aku seakan melihat dia ingin mengatakan sesuatu yang penting."Aku merasa tak tenang setelah melihat tempramen mantan suamimu, aku khawatir tentangmu dan anak-anakmu. Aku ingin melindungi kalian," ucapnya."Insya Allah aamin, Mas.""Aku ingin kita langsungkan saja pernikahan."Hahahaha.Aku tergelak, mendekat dan berpacaran saja tidak, bagaimana kami akan menikah dalam waktu dekat. lagi pula aku terkejut dengan obsesinya yang memintaku untuk menikah secar
Bergegas mendengar itu aku segera masuk ke dalam, ibu mertua juga nampak tegang dan segera teralihkan, menyusulku untuk melihat apa yang terjadi.Dari dalam situasi sudah menegangkan, ada Gema yang terlihat takut, Mona yang masih berantakan dengan rambut tergerai nampak berusaha menenangkan tangisan bayinya yang kencang. Bocah kecil itu seakan kehabisan napas oleh menangis."Gema, ada apa?" Tanyaku pada anakku."Bund, aku cuma mau cium adek," jawab Gema dengan mimik cemas."Kamu memukul putraku, buktinya keningnya merah dan dia yang sedang tidur pulas langsung terbangun.""Enggak Tante," sanggah putraku dengan bola mata berkaca kaca."Kamu ya Mbak, kenapa sih kamu gak didik anak kamu dengan baik sehingga tidak membuat kekacauan seperti ini baru saja aku hendak mandi dan mengganti pakaian tiba-tiba dia yang sudah susah payah aku tidurkan langsung menangis lagi," ucap Mona sambil berusaha mengayunkan bayinya di tangan, ia nampak kesal sekali."Gema hanya ingin mencium ....""Anakku sed
Setelah Elina sedikit tenang dan tertidur kuletakkan dia di box bayi yang kebetulan diletakkan di ruang keluarga, mungkin tujuannya agar Mona bisa bersantai sambil nonton TV sekaligus bisa menjaga bayinya. Kulit akar bayi itu laluku selimuti sementara Mona masih di posisinya duduk dengan tatapan kosong dan menangis."Kau sepertinya butuh konseling dan dokter jadi pergilah temui orang yang terkait dan rawat dirimu," ujarku saat hendak pergi."Apa peduliku, heh?" tanyanya menyeringai."Aku peduli tentang anakmu seorang anak akan terancam jika orang-orang yang menjaga mereka tidak dalam kondisi mental yang waras, tekanan pikir dan kelelahanmu membuat kau akan melampiaskannya kepada Elena, tolong pikirkan anakmu. Aku akan pergi dulu.""Alvin pasti sangat mengagumi apa yang kau lakukan hari ini.""Aku tidak pernah punya target agar dikagumi olehnya bahkan aku tidak mau berjumpa dengan Alvin lagi," jawabku."Sebaliknya, Mas Alvin terobsesi untuk selalu memperhatikan keadaanmu dan melihatmu
Niatku tersenyum pria itu hanya bisa menghalalkan sambil menggiringkan kepala dan memijat keningnya. Sepertinya dia malu padaku tapi terlalu sulit untuk mengatakannya. Mungkin juga merasa sangat menyesal dan menyadari betapa bodohnya dia sudah menelantarkan kami."Kenapa kau menjadi seperti itu setelah memintaku untuk menikmati semua penderitaan ini?""Kau ingat aku mendampingimu dan melayanimu sepenuh hati, tapi kau malah memilih wanita itu dibandingkan kenyamanan yang sudah ada di dalam rumah dan keluarga kita. Jadi aku harus bicara apa lagi selain memintamu untuk menikmati pilihanmu sendiri?""Ah, pulanglah, berhati hatilah," jawabnya degan helaan napas putus asa. Sepertinya bicara denganku tidak akan membuat dia mendapatkan titik temu, jadi alih alih melanjutkan pembicaraan ia malah menyuruhku pulang."Baiklah, jaga dirimu, kami pulang dulu.""Sejujurnya aku masih rindu anak anak, tapi ucapanmu membuatku kesal," keluhnya dengan wajah putus asa."Yang kuucapkan kenyataan kan, seh
Keesokan hari setelah kejadian semalam, aku terbangun agak kesiangan karena malam tadi aku nyaris tidak tidur, gelisah memikirkan tentang sikap Mas ALvin yang berlebihan.Kukerjabkan mata sambil melirik waktu yang tertera di ponselku. Rasanya tubuh ini lelah sekali untuk memaksakan diri bangun dan beraktivitas, lebih nyaman berguling di bawah selimut hangat dan dinginnya hawa air conditioner ini."Ah, andai hidup ini tidak perlu perjuangan panjang aku pasti akan jadi orang yang paling bahagia di waktu rebahan," gumamku sambil menghela napas dan mengumpulkan kekuatan untuk beraktivitas.Tring....Kuangkat segera ponselku yang berdering, di sana tertera nama Mas Eko."Halo, Mas?""Bagaimana keadaanmu pagi ini apakah Alvin mengganggumu?""Tidak Mas, Alhamdulillah tidak ada gangguan.""Baiklah aku lega.""Terima kasih atas perhatiannya, Mas.""Jadilah istriku agar aku bisa melindungimu, memberimu kehidupan yang layak dan sebuah keluarga yang bahagia. Aku jujur saja, selalu membayangkan b