Putra segera di larikan ke rumah sakit. Aku ikut menemani Putra. Biar bagaimanapun aku bertanggung jawab atas kesalahan yang Mas Arfan lakukan."Kinan, ini sudah keterlaluan. Bapak akan laporkan masalah ini ke kantor polisi atas tuduhan pencemaran nama baik dan kekerasan," kata Pak Willi."Apa tidak bisa di selesaikan dengan kekeluargaan, Pak?" tanyaku."Aku gak bisa menolerir perbuatan Arfan. Dia sudah menuduh Putra selingkuh denganmu dan melakukan tindakan kekerasan," jawab Pak Willi.Aku tak bisa berbuat apa-apa, mungkin ini lebih baik agar Mas Arfan jera. Tapi kasihan dengan Kiara karena akan menjadi anak narapidana.***Esoknya Mas Arfan dibawa polisi, Ana menangis begitu juga Kiara. Aku sudah berbicara pada Pak Willi agar kasus ini di selesaikan dengan kekeluargaan tapi Pak Willi menolak."Mbak, katanya Mas Putra anak bos kamu. Tolong dong, Mbak negosiasi dengan Bapaknya," kata Ana."Sudah, Na. Tapi Pak Willi gak mau," kataku."Usaha lagi dong, Mbak," ucap Ana."Usaha bagaimana
Dokter tengah memeriksa Ana di dalam kamar di temani dengan Mas Arfan. Aku dan Kiara hanya menunggu di ruang keluarga.Hari ini aku terpaksa izin karena takut terjadi sesuatu terhadap Ana."Mama Ana kenapa, Ma?" tanya Kiara."Mama belum tahu, sayang," jawabku.Mas Arfan ke luar bersama Dokter, dia kelihatan bahagia sekali."Maaf, Dok. Ana sakit apa ya?" tanyaku."Oh Bu Ana tidak sakit, dia tengah hamil," jawab Dokter.Hamil, itu tandanya rencana Ana untuk meninggalkan Mas Arfan akan gagal. Mana mungkin Mas Arfan mau Ana pergi, apa lagi dia tengah mengandung."Pak Arfan, saya pamit ya. Biarkan Bu Ana istirahat, dia perlu banyak istirahat," kata Dokter.Mas Arfan mengantar Dokter ke depan. Aku dan Kiara masuk ke dalam kamar Ana."Ana, kamu hamil," kataku."Iya, Mbak. Maaf ya, Mbak. Aku gak bisa menepati janjiku. Mas Arfan gak akan mau meninggalkan aku kalau aku hamil," kata Ana."Tidak masalah, mungkin memang kita ditakdirkan untuk jadi madu selamanya," ucapku."Kinan, jangan harap aku
Aku tak masalah Mas Arfan meminjam mobilku. Hanya saja kenapa aku mesti pindah demi menjaga perasaan Ana.selama ini aku cemburu aja dia gak peduli.Pulang kerja Mas Arfan menjemputku. Teman-temanku mendadak heran dengan sikap Mas Arfan."Tumben di jemput," bisik Erina."Iya mobilnya di rumah, jadi tadi pagi pakai mobilku," ucapku.Ku lihat Mas Arfan sedang berbicara dengan satpam."Mas, ayo pulang!" ajakku. "Udah selesaikan ngobrolnya?" tanyaku."Oh ya udah selesai," jawab Mas Arfan.Kami lalu pulang, Mas Arfan bersikap biasa saja. Aku melihat Liar sudah mandi sore."Kiara, udah cantik," pujiku."Iya anak papa cantik," Mas Arfan ikut memuju Kiara. Kami saling pandang karena gak biasanya Mas Arfan bersikap begitu.Malam itu aku tak melihat Mas Arfan memperlakukan Ana seperti kemarin. Malah dia membiarkan Ana jalan sendiri ke kamar mandi."Kok Ana gak diantar, Mas," ucapku."Gak usahlah, dia bisa sendiri," kata Mas Arfan. "Oh ya gimana kerjaan lancar?" tanya Mas Arfan.Sejak kapan Mas A
Kami mencari penginapan terdekat. Karena hari sudah sore. Kami tak lupa mencari hotel yang bagus karena tidak setiap hari kami tidur di hotel."Mas, bayar dong," kataku."Kamu aja yang bayar," kata Mas Arfan.Dalam hati aku dongkol tapi mau gimana lagi dari pada berantem lebih baik aku mengalah saja.Sehabis isyak, kami makan direstauran hotel. Mas Arfan memesan banyak makanan untuk kami bertiga."Banyak amat, Mas. Apa akan habis?" tanyaku."Kita makan aja, lagian kapan lagi kita bisa jalan bertiga begini," jawab Mas Arfan.Aku menurut saja karena tak mau ribut di depan Kiara. Selesai makan kami kembali ke kamar dan istirahat. Besok baru kami jalan-jalan.***Kami sampai di tempat kami jalan-jalan, ku lihat Mas Arfan memegangi ponselnya."Mas, ini waktu kita bersama. Aku harap Mas jangan hubungi Ana," kataku."Tapi...ya sudah biar aku matikan saja ponselku," kata Mas Arfan lalu menonaktifkan ponselnya san menyimpannya di tas kecil yang dia bawa.Kami menemani Kiara bermain, setelah it
Sehabis salat isyak aku berhias, aku memoles wajahku dengan bedak dan lipstik. Entah mengapa aku ingin tampil maksimal padahal Pak Willi hanya mengajakku makan malam bersama."Kinan, kamu mau ke mana?" tanya Mas Arfan."Oh itu, Pak Willi mengajakku makan malam di rumah Putra," jawabku."Hanya kamu sendiri yang diundang?" tanya Mas Arfan. Dia terlihat tidak suka dengan adanya makan malam ini."Kalau tidak aku sendiri siapa lagi, Mas. Masa iya ngajak kamu," ucapku."Siapa tahu Kiara juga disuruh ikut," kata Mas Arfan."Tidak, mungkin mau bicara masalah pekerjaan jadi hanya aku yang diundang," kataku.Mas Arfan terdiam, aku pamit padanya. Setelah itu aku pamit pada Kiara.***Sampai di rumah Putra, aku melihat mobil Pak Willi sudah parkir di sana. Aku langsung saja memencet bel. Seorang wanita paruh baya membukakan pintu."Sudah di tunggu tuan, Non," kata wanita itu.Aku di bawa ke ruang keluarga. Di sana ada Pak Willi, Bu Kamila istri Pak Willi dan Putra."Selamat malam," sapaku."Malam
Hari kedua Putra memaksa untuk menjemputku. Aku sudah menolak tapi kata Putra dia tidak menerima menolakan."Bu, ada Pak Putra jemput ibu," kata Bibik saat kami tengah sarapan."Kamu di jemput?" tanya Mas Arfan. "Kenapa Putra harus jemput segala, lalu gimana dengan Kiara?" tanya Mas Arfan."Dia tetap berangkat denganku, sebenarnya aku sudah menolak tapi nyatanya Putra tetap jemput aku," jawabku."Mama, Om Putra ke sini? Asyik bisa bareng Om Putra," sahut Kiara."Kiara jangan dekat sama Putra. Dia itu orang lain," tegur Mas Arfan.Aku dan Kiara berpamitan, Mas Arfan mengantar kami sampai depan."Putra, awas saja kamu macam-macam dengan Kinan," ucap Mas Arfan."Jangan khawatir, Pak Arfan! Saya bukan tipe pebinor," balas Putra.Kami berangkat mengantar Kiara dulu, Kiara terlihat senang bisa bersama Putra. Entah, Putra punya pesona apa sehingga Kiara nempel padanya."Sepertinya kamu sayang dengan anak kecil. Kenapa gak menikah aja?" tanyaku."Belum ada yang cocok, kan gak harus menikah ju
"Eh Kinan, belum tidur ya," kata Mas Arfan mengalihkan pembicaraan."Siapa Mas yang dimanfaatkan?" tanyaku."Oh itu temanku, bisa aja di manfaatnya," jawabnya. "Sudah malam, ayo kita tidur!" ajak Mas Arfan merangkulku.Mas Arfan mendadak aneh dan bersikap sok manis. Apa karena aku sudah meminjami dia uang? Mungkin saja.Kami tidur bersama, Mas Arfan mencoba menggodaku. Tapi aku malah memutuskan untuk tidur terlebih dulu.Esoknya, aku berangkat di jemput Putra. Aku melewati kantor Mas Arfan. Aku ingin coba mendatanginya sebentar."Putra, boleh aku mampir ke tempat kerja Mas Arfan?" tanyaku pada Putra yang tengah menyetir."Boleh, di mana kantornya?" tanya Putra."Itu depan sana," jawabku."Oh dia perusahaan Adijaya?" tanya Putra."Iya, kamu tahu perusahaan itu?" tanyaku."Iya, dia teman baik papa," jawab Putra. "Sudah sampai, silahkan kalau mau ketemu Arfan!" perintah Putra.Aku ke luar dari mobil sementara Putra masih menunggu di parkiran. Aku mencari Mas Arfan, ku lihat dia sedang m
"Kinan...Kinan...," panggil Mas Arfan.Aku berjalan menyeret koperku dan koper Kiara ke luar rumah."Maksud kamu apa? Kamu mau minggat?" tanya Mas Arfan marah."Kenapa tidak? Untuk apa bertahan dengan suami pelit dan tukang poligami? Di tambah lagi tukang nipu istri. Anggap saja uang hasil jual mobil adalah untuk biaya hidup Kiara nanti," ucapku. "Sebenarnya tak cukup sih, tapi dari pada aku dimanfaatkan terus," kataku."Siapa yang memanfaatkan kamu, Kinan?" tanya Mas Arfan mengikuti aku yang sudah ke luar rumah. Ana mengikuti Mas Arfan."Aku dengar sendiri saat kamu berbicara dengan temanmu. Kamu memanfaatkan aku agar bisa mendapatkan uangku. Apalagi kamu tahu aku sudah naik jabatan," jawabku."Kamu salah faham," sanggah Mas Arfan."Mbak Kinan, tolong dibicarakan baik-baik. Jangan ambil keputusan dalam keadaan emosi," kata Ana."Aku tidak emosi, Ana. Tapi aku kesal karena aku ditipu suamiku sendiri. Sekarang aku serahkan Mas Arfan padamu, Ana," ucapku."Sekarang kamu jujur, Mas. Apa