“Minggir!” Akhirnya aku menyingkirkan tubuhnya dengan kasar hingga hampir membentur dinding lalu aku berlari keluar lounge. Emosi ini perlu dikeluarkan atau akan menjadi racun. Ditambah, aku tidak membawa obat anti depresan. Lengkap lah! Aku menjadikan helm full face-ku sebagai objek pelampiasan. Aku memukulkannya di paving halaman lounge hingga pecah lalu menendangnya sekuat tenaga hingga amarah ini mereda. Dengan nafas terengah-engah, aku mendudukkan diri di dekat motor sambil menunduk. Lega rasanya meluapkan emosi ini tanpa harus menyiakiti Risty. Sebenarnya, berada dalam raga yang seperti ini sungguh melelahkan. Tapi, andai Risty tidak memicunya maka aku tidak akan begini. Risty seperti hal yang menjadi sabab musabab terjadinya sebuah pergolakan. Entah itu dengan Ziany atau kini denganku. “Lebih baik?” Dua buah kaki seksi yang terbungkus skiny jeans warna hitam dengan sepatu hitam bertaburkan Swarovski nampak dihadapanku. Lalu aku mendongak untuk menatap wajahnya. Risty m
“Rado, ini udah jam sembilan malam. Risty dimana? Kok di kamar nggak ada?” Mas Kian bertanya ketika aku mengerjakan tugas kuliah. Aku menghentikan kegiatan lalu mengecek ponsel yang tidak menunjukkan pesan masuk dari Risty. “Apa dia bilang pergi kemana?” “Tadi … dia di kos Kaika, sahabatnya.” “Kalau gitu suruh pulang. Gimana pun Mas nggak enak kalau ada apa-apa sama Risty. Soalnya Alfonso udah nitipin dia di sini.” Aku menghubungi Risty berkali-kali namun tidak ada jawaban. Lalu aku memutuskan untuk menghubungi Kaika. “Kai, suruh Risty pulang.” “Lha? Dia udah cabut dari jam enam tadi, Do.” “Apa?” Aku terkejut dengan pengakuan Kaika. “Emang dia belum sampai rumah lo?” “Belum.” “Astaga, kemana nih anak.” Kelebat Risty ditangkap preman yang disewa Ziany lalu disekap tanpa ampun atau dia bertemu Richard bersama selingkuhannya kemudian terjadi pertengkaran, membuat pikiranku secara otomatis tidak tenang. Aku segera menutup laptop, mengambil hoodie, dan meraih kunci motor sportku
"Risty! Kamu dari mana?" Mbak Sasha langsung menghampiri Risty begitu kakinya menginjak lantai rumahku. "Tadi ... ketiduran di kosnya teman, Mbak," kilahnya. Aku berdiri sambil menatap interaksi keduanya, kemudian Mbak Sasha mengantarnya menuju kamar. Mas Kian meletakkan koran yang ia baca lalu berjalan menghampiriku. "Kalau ada masalah sama Risty, kamu selesaikan secepatnya, Do." Mas Kian menepuk pundakku lalu menuju kamarnya. Ini sudah pukul dua belas malam lebih sepuluh menit. Sedikit lama karena tadi aku harus membujuk Risty agar mau kembali pulang ke rumahku. Meski dengan sedikit paksaan. Bagaimana pun, Kak Alfonso telah menitipkannya padaku, Mas Kian, dan Mbak Sasha. Walau sebenarnya aku melakukan ini karena merasa memiliki tanggung jawab sebagai bodyguardnya. *** Hari ini ada jam kuliah pagi. Sekaligus mengumpulkan tugas yang semalam kukerjakan secepat mungkin setelah mejemput Risty dari apartemennya. "Pagi." Sapaku ketika tiba di dapur. Risty menatapku sejena
Aku berhasil melumpuhkan kedua preman bertubuh tegap itu dengan menggunakan alat pemadam kebakaran yang kuambil dari tempatnya. Setelah itu aku memukuli mereka berdua hingga babak belur dan tersungkur di lantai. Kuletakkan kakiku di atas pipi salah satu preman yang mengerang kesakitan dengan tubuh terlentang. “Siapa yang nyuruh kalian melukai Risty?” Keduanya hanya mengeluh kesakitan lalu aku menekan kakiku dengan keras ke pipinya. “Jawab!” “Kami … cuma disuruh bos.” “Sampah!” Aku menendang keduanya kemudian mengambil kunci mobil SUV dan melemparnya ke segala arah. Biar mereka kelabakan mencarinya. Lalu aku menghampiri Richard yang masih duduk ketakutan di balik setir kemudi. Dia pasti tidak menyangka jika aku bisa melemahkan dua preman sialan itu sekaligus. Tanganku membuka pintu mobil Richard lalu sedikit menundukkan tubuh agar bisa menatap wajahnya dengan sorot tajam yang dimiliki kedua mataku. “Gue udah bilang untuk jauhi Risty, kan?! Jangan dekati dia apapun alasannya. D
"Mas, bener-bener kecewa sama kelakuanmu, Rado! Apa yang kurang Mas berikan selama ini, heh?! Kenyamanan, uang, kasih sayang, perhatian, pendidikan, semuanya udah Mas kasih. Semuanya!" Aku hanya bisa menunduk malu dengan kesedihan yang tak terkira. Rahasia perasaanku pada istri Mas Kian akhirnya terungkap. Dan aku tidak bisa mengelak. Entah bagaimana Mas Kian bisa menemukan flashdisk berisi rekaman CCTV rumah yang menampakkan kelancanganku mencumbu istrinya. "Dan lebih hina saat kamu berani menyentuh, mencium, bahkan melakukan hal yang nggak pantas dilakukan seorang adik pada istri kakaknya! Kamu benar-benar gila, Rado! Kamu sakit jiwa!" Hardik Mas Kian. Tangannya kembali terulur menarik kerah bajuku dan memberi pukulan di wajahku yang sudah terlihat memar. Tanganku mengusap lelehan darah yang kembali mengucur dari sudut bibir. Suasana rumah menjadi begitu mencekam karena pertengkaran kami. Ini kali pertama Mas Kian begitu murka padaku. "Berapa kali kamu nidurin istri Mas?! Jawab
Inilah yang disebut hidup tanpa tujuan. Aku benar-benar memacu motorku tanpa arah dengan hati sesak. Kata-kata yang Mas Kian lontarkan, bahwa aku benar-benar 'sakit jiwa' sungguh sangat melukaiku. Itu kali pertama dia berkata demikian dengan penuh emosi. Dia tidak salah berucap demikian jika itu dipicu karena kesalahan fatalku. Ini juga pertama kalinya, aku keluar dari rumah Mas Kian tanpa pamit dan pergi sejauh ini. Rasanya seperti ada lubang kosong memenuhi dadaku dan terasa sangat sakit. Tanpa Mas Kian lagi yang akan mengkhawatirkan aku. Begitu juga Mbak Sasha, dia pasti sangat kecewa ketika sudah melihat semua perbuatan hinaku padanya melalui rekaman CCTV rumah. Mencumbu dirinya dalam keadaan tidak sadarkan diri. "Gue emang ba***gan sejati," gumamku dengan menatap sunset sambil duduk di ujung tebing pantai. Ya, aku berkendara tanpa arah hingga motorku tiba di pesisir pantai. Jauh dari rumah Mas Kian yang berada di jantung negeri ini. Aku memilih abai dengan puluhan pan
“Kalau mau bunuh diri tuh buruan! Lama amat! Ngabis-ngabisin memori ponsel gue!” Aku langsung menoleh begitu mendengar seseorang bersuara bersamaan dengan riuhnya air pasang menghantam tebing tempatku berdiri. “Risty?!” gumamku lirih. Dia tidak sendiri. Melainkan dengan Kaika yang berdiri di sampingnya ditemani tiga lelaki bertubuh tegap di belakangnya. Risty memberikan ponselnya pada Kaika lalu berjalan ke arahku dengan santainya. Tidak bersikap layaknya pahlawan yang akan mencegah seseorang bunuh diri. Memakai tank top hitam dengan tali begitu tipis yang menyampir di pundak, celana pendek sepaha berwarna pudar, dan rambut tergerai lalu tersapu oleh angin laut, membuat pikiran dan mataku justru tertuju sepenuhnya ke Risty. Memangnya lelaki mana yang tidak fokus melihat perempuan dengan pakaian terbuka seperti ini? Begitu jarak kami sudah dekat, Risty menarik tanganku kasar agar menjauh dari tepi tebing. Tangannya bersedekap, dagu diangkat sombong, dan matanya menatapku rendah.
Karena apartemen Risty hanya memiliki satu kamar tidur, akhirnya aku mengalah dengan tidur di sofa ruang tengah. Tidak mungkin aku membiarkan majikanku tidur di sofa dan aku sebagai bodyguard tidur di kasurnya. "Makasih udah minjemin kasurnya buat gue," ucapku padanya. "Sama-sama. Untung lo nggak bau badan." Risty memang selalu ceplas ceplos ketika berbicara. Kemudian dia mematikan laptop dan menuju kamar. "This is your new life, Rado. Jadi jangan ngulangi kesalahan yang sama untuk ke-du-a kalinya. Paham?" Kepalaku mengangguk. "Masih banyak cewek yang available di luaran sana. Lo nggak usah mikir cuma Mbak Sasha yang bisa ngertiin lo. Karena nggak mungkin Tuhan menciptakan lo hidup sendiri di dunia ini tanpa pasangan. Hanya saja, lo belum ketemu dia. Atau ... lo udah ketemu dia tapi kalian belum nyambung." Aku hanya menghela nafas sambil menunduk. "Take your time, Do." Kemudian, aku duduk di tempat yang biasa Risty duduki. Dia ujung meja kaca sambil menatap pemandangan ma