Share

Griya Tawang

“Jadi, ini adalah tempatmu?” Alan memarkir mobilnya di basemen sebuah gedung apartemen mewah di pinggir kota yang terkenal dengan griya tawangnya.

“Jangan bicara. Aku benci laki-laki yang banyak bicara seperti wanita!” Freya melangkah meninggalkan lelaki itu dengan wajah sinis. Ia menuju ke lift yang ada di seberang mobil Alan yang terparkir.

Setelah memacu jantung di jalan tol beberapa jam lalu, saat ini perempuan itu merasa kembali tenang karena sudah sampai di tempatnya. Ia juga meminta kepada asisten pribadinya untuk jangan ke unit griya tawangnya dulu. Ia butuh memperjelas keperluan lelaki aneh yang tiba-tiba datang mengaku sebagai orang suruhan ayahnya.

Alan pun mengikuti perempuan itu untuk masuk ke dalam lift. Tidak ada pembicaraan. Keduanya saling menjaga jarak. Tampak di pantulan dinding lift yang terbuat dari cermin, keduanya saling mencuri pandang. Tapi mereka ragu untuk memulai pembicaraan.

Lelaki itu takut mengganggu kenyamanan perempuan di dekatnya. Akhirnya yang ia lakukan hanyalah diam. Tapi tampaknya Freya agak berbeda. Sesekali ia mencuri pandang lewat pantulan cermin. Gagah, perkasa, pria sejati, tampan, dan berotot. Kesan pertama yang dilihat Freya dari lelaki itu sangat menggoda batinnya. Apalagi wajah Alan yang mirip dengan seorang aktor terkenal.

Tapi semua itu hanya berada dipikirannya. Ia enggan membicarakannya.

“Ikuti aku.” Setelah pintu terbuka, Freya memandu lelaki itu untuk menuju ke unit apartemen mewahnya yang ada satu-satunya di lantai paling atas di gedung itu.

Ketika pintu terbuka, Alan terkejut dengan luas dan desain interior dari unit griya tawangnya. Ia tidak mengira bila bisa menginjakkan kakinya di salah satu tipe apartemen yang selalu diimpikan oleh banyak orang.

“Apa yang kau bawa itu?” Freya baru sadar kalau lelaki itu sedari tadi menarik koper hitam besar.

“Oh, ini hanya pakaianku saja,” ungkap Alan.

“Terserah kau saja.” Freya duduk di sofa miliknya.

Ia melihat Alan mengeluarkan selembar kertas dan beberapa foto yang bergambar Alexander Hood. Lelaki itu meletakkan semuanya di meja marmer kecil yang menjadi satu paket dengan interior sofa.

“Ayahmu meninggal karena ulah dari geng yang mengejarmu tadi. Mungkin lebih tepatnya saudara dari geng yang mengejarmu tadi. Tapi mereka hanyalah tikus-tikus kecil saja. Kami baru mendapatkan kabar kalau biang keroknya justru berasal dari kota ini.” Alan menatap perempuan yang masih tampak hati-hati padanya.

Perlahan Freya duduk di seberang Alan sambil melihat secarik kertas dan beberapa foto yang tergeletak di atas meja. Kertas itu ternyata berisi tentang wasiat dari Alexander Hood yang telah dirangkum.

Dokumen aslinya berada di tangan notaris dan di dalam brankas rahasia milik kelompok Falsehood. Tertulis jelas bahwa semua putrinya yang berasal dari enam istrinya akan mendapatkan warisan. Termasuk dengan hak kepemilikan terhadap kelompok Falsehood.

Lalu wanita itu mengambil beberapa foto yang ternyata adalah gambar para putri Hood saat masih kecil. Totalnya ada enam foto. Setiap foto berisi potret Hood bersama istri dan anaknya. Mulai dari istri pertama hingga keenam di foto olehnya sebagai kenang-kenangan yang berharga.

“Apa maksudnya ini? Apa dia memiliki lima istri lagi selain ibuku?” Freya bertanya.

“Bisa dibilang begitu. Dia menikahi enam istrinya hampir bersamaan dalam jangka waktu satu bulan. Jadi, anak-anaknya pun kemungkinan seumuran denganmu semua,” pikir Alan Dominic.

“Ibu tidak pernah cerita padaku. Dia hanya bilang ayah adalah orang bodoh yang selalu menyelesaikan masalahnya dengan pistol. Aku tidak tahu itu adalah pernyataan secara harfiah.” Perempuan itu menyinggung sosok Hood.

“Ya, begitulah dia. Selalu menggunakan cara nyentrik untuk menyelesaikan masalahnya. Dia adalah guru bagiku, dan aku sangat berterima kasih padanya. Aku berutang budi dengan ayahmu,” ungkap Alan.

“Lalu? Apa hubungannya dengan kami?” Freya mengacu kepada putri-putri Hood yang lain.

“Saat ayahmu tiada. Maka gangster lain akan berusaha mengambil alih wilayah kekuasaannya. Saat ini mereka pasti sedang bersiap-siap untuk menyerang Raven City. Target mereka saat ini mungkin adalah pamanmu; Pablo Hood.” Alan memperjelas keadaan mereka sekarang.

“Paman Pablo? Kukira dia sudah mati. Apa dia juga membentuk geng bodoh seperti ayah?” Freya mengingat pria itu. Ia datang saat ulang tahunnya yang ke-2.

“Saat ini dia berada Rhodes City yang berada di barat Raven City. Jangan khawatirkan pamanmu. Dia pasti baik-baik saja .” Alan tersenyum.

“Terserah kau saja. Jujur, aku sudah tidak peduli dengan keluarga besar ayahku. Lalu, apa keperluanmu? Apa kau datang cuma untuk menyelamatkanku tadi? tanya Freya.

“Aku datang untuk menyampaikan berita kematian ayahmu. Bila kau mau, aku bisa mengantarmu untuk ke makamnya. Lebih dari itu, aku diminta untuk mengumpulkan kalian,” ungkap Alan.

“Apa? Kau ingin mengumpulkan seluruh saudari tiriku yang belum pernah aku kenal? Untuk apa?” Mata Freya membulat besar. Ia tidak menyangka rencana orang suruhan ini sangatlah out of the box.

“Itu benar. Mungkin sudah saatnya kalian saling berkenalan?” Alan tampak senang menatap raut wajah perempuan itu.

“Maaf, tapi aku tidak ikut dengan rencana reuni para putri Hood. Aku memiliki segudang jadwal hingga akhir tahun. Jangan coba-coba menuntutku untuk pergi mencari mereka dan meninggalkan kota ini!” Freya mengancam.

“Tenang dulu. Tidak semudah itu menemukan mereka. Untuk sekarang, aku hanya akan berada di sampingmu saja” ungkap Alan.

“Di sampingku? Kau akan tinggal denganku untuk sementara waktu?” Freya penasaran.

“Bisa dibilang begitu. Anggap saja aku orang luar yang menginap beberapa hari bersamamu. Aku bisa tidur di mana saja. Bahkan di lantai,” ungkap lelaki itu dengan santainya.

“Terserah kau saja! Tapi awas kalau kau berani macam-macam! Aku mengizinkanmu karena kau sudah menolongku, bukan karena kau orang suruhan ayah!” Freya menunjuk Alan dengan satu telunjuknya.

Alan Dominic telah dilatih untuk menjadi pembunuh berdarah dingin. Hood mengajarkannya beberapa keterampilan bela diri dari segala jenis bidang ilmu. Ia juga dijuluki si jenius senjata api dan tajam. Ia juga sangat ahli membunuh dalam sunyi seperti seorang Assassin.

Selain itu, Alan juga diajarkan cara menggunakan teknik pengobatan tradisional kuno dan teknik pengendalian energi diri atau bisa disebut sebagai ilmu tenaga dalam.

“Baiklah, sudah diputuskan. Aku akan menginap disini untuk sementara waktu.” Ia sangat senang. Ternyata perempuan di depannya itu begitu baik, meski wajahnya tampak selalu sinis.

Ditengah-tengah obrolan yang kian membuat mereka kikuk, tiba-tiba smartphone milik Freya berdering. Perempuan itu mengangkat panggilan yang ternyata berasal dari asisten pribadinya.

“Halo?”

[Freya Hood?]

Terdengar suara pria yang begitu berat diujung telepon.

“Siapa ini?! Di mana asistenku?!”

[Aku suka wanita yang menyebalkan.]

“Jangan banyak bicara! Cepat katakan di mana dia?!”

[Ha-ha-ha! Dasar tidak sabaran!]

“Kau ingin mati, hah?!”

[Gedung tua di selatan kota Midway City. Jangan bawa polisi atau siapa pun yang kau kenal. Datanglah sendiri. Aku tunggu sebelum matahari terbenam. Bila kau tidak datang, mayatnya akan berada di berita pagi besok.]

Pria asing itu menutup panggilan teleponnya. Freya tampak cemas. Rahangnya mengeras. Ia ingin sekali memaki para manusia bajingan itu.

“Ada apa?” tanya Alan.

“Mereka menangkap asistenku.” Freya akhirnya bicara dengan lelaki itu.

“Di mana? Kapan batas waktunya?” tanya Alan lagi.

“Gedung tua di selatan kota. Aku harus datang sendiri sebelum matahari terbenam,” ungkap perempuan itu.

“Kalau begitu datanglah sendiri. Aku akan memilih jalan lain untuk menyelamatkan asistenmu,” jelas Alan.

“Tu–tunggu dulu! Kukira kau akan membantuku?” Freya agak kesal.

“Aku hanya orang suruhan ayahmu. Tidak ada yang penting dariku. Lagipula, aku tidak mau berurusan dengan mereka lagi,” ucap Alan.

“Tolong! Tolong bantu aku menyelamatkannya! K–Kau bisa memilih salah satu kamar. Kau tidak perlu tidur di sofa malam ini.” Freya memohon sambil memegang salah satu lengan Alan. Wajahnya tampak suram dan ketakutan.

“Hemm… bagaimana, yah? Bila aku membantumu, apa kau mau mengikuti permintaanku?” tanya Alan. Ia membuat perjanjian.

“Terserah kau saja. Aku akan mengikutinya,” jawab Freya cepat.

“Baiklah, kalau begitu ayo kita selamatkan asistenmu.” Alan mengambil koper besar yang ia bawa tadi. Ia membukanya di depan Freya. Tampak beberapa senjata tajam dan api tertata rapi di dalamnya.

“Apa kau ingin membantai satu kota dengan senjata itu?” sindir Freya. Ia terkejut bukan main.

“Aku bisa meladeni seratus orang hingga pagi. Tapi tidak dengan wanita,” ungkap Alan dengan wajah serius. Ia mempersiapkan semua senjata yang harus dibawanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status