Sebuah pesan masuk dari Pak Yos yang memintanya datang ke ruangan. Kebetulan Arum sedang keliling melihat kondisi kantor. Arum terburu-buru meninggalkan semmua pekerjaannya dan setelah 10 menit berjalan cukup jauh akhirnya tiba juga di depan ruangan sang bos. Dia mengetuk dan masuk ke dalam ruangan Pak Yos. Ya itu memang sudah kebiasaan di HR. Bisa masuk walau sang bos belum mempersilahkan dari dalam.
"Duduk dulu Arum," Pak Yos mempersilahkan.
Arum menurut saja segera duduk di sana. Masih berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan. Pasti ada pekerjaan lainnya yang harus dia kerjakan. Pak Yos masih bicara di telepon entah dengan siapa. Arum meneliti ruangan dominasi warna putih gading ini. Berkas yang selalu berserakan di atas mejanya penuh tumpukan dokumen yang perlu di tanda tangani. Di sudut ruangan berjejer beberapa piala juga plakat tentu beberapa ordner berisi dokumen. Lengkap dengan cahaya matahari yang masuk melalui sela-sela tirai.
"Arum, saya mau bicara penting sama kamu!" kata Pak Yos segera membuat Arum cukup bingung.
"Apa itu pak?" tanya Arum.
Pak Yos nampak berpikir dulu. Mungkin memilih kalimat yang tepat untuk disampaikan ke anak buahnya ini.
"Jadi gini, saya dengar gosip dari karyawan di sini, kalo kamu dekat sama anak CS, namanya Viki. Apa… itu benar?" tanya Pak Yos terlihat berhati-hati.
"Ada apa, Pak? Emang bapak dengar gosip apa antara saya sama Viki?" Arum malah balik tanya.
"Ya… hanya gitu aja sih. Kamu deket sama dia gitu," kata Pak Yos yang seolah menekankan kata ‘dekat’.
"Saya gak tau bapak dengar apa dari mereka ya, Pak! Saya sama Viki ya berteman biasa aja Pak sama aja kaya saya sama Rizki atau Tri," elak Arum segera.
"Ya, saya cuman mengingatkan saja disini. Sebagai atasan kamu, saya cuman bisa bilang kalau HR itu wajah perusahaan. Kalo satu saja dari kita berbuat, satu HR akan kena imbasnya. Apa kamu enggak kasian sama teman-teman kamu? Saya juga bicara sebagai orang tua kamu di sini. Kamu itu punya suami, enggak baik kalo kamu terlalu dekat sama karyawan pria lain. Bisa jadi fitnah ya kaya sekarang ini," Pak Yos coba menjelaskan dengan perlahan.
"Mohon maaf ya, Pak! Kalopun saya memang ada apa-apa sama Viki. Ini kan kehidupan pribadi saya pak. Hubungan saya dan bapak ya hanya hubungan profesional antara bawahan dan atasan. Bapak gak seharusnya ikut campur urusan pribadi saya dong!" Arum mulai emosi.
"Ya saya bicara karena saya dengar keluhan dari karyawan lain Arum! Kalau enggak juga saya enggak akan ikut campur masalah kamu. Ini kan juga demi kebaikan HR. Juga kamu," Pak Yos berpendapat.
"Ini secara gak langsung bapak nuduh saya selingkuh, sedangkan saya memang gak ada apa-apa sama Viki. Lagian ya Pak, kalo ngomongin masalah selingkuh. Di kantor ini juga banyak kok orang-orang yang suka selingkuh, suka main perempuan, kenapa hanya saya yang dipermasalahkan?" tanya Arum mulai kesal dan emosi.
"Ya sudah kalo kabar itu memang salah ya saya minta maaf. Berarti kecurigaan teman-teman itu salah dan saya juga enak ngejawabnya kan. Saya sekali lagi kan juga cuman mengingatkan. Jangan sampe gosip seperti ini makin berkembang, " kata Pak Yos lagi menekankan kepeduliannya.
"Iya sudah pak!" Arum sudah enggan bicara lagi.
Arum memilih pergi meninggalkan ruangan itu. Toh dilihat dari bahasanya, Pak Yos sebenarnya sudah terlanjur percaya dengan gosip itu. Beliau hanya berusaha sebaik mungkin untuk tidak terkesan menuduhnya walau memang itu yang sedang dia lakukan. Arum sudah bekerja lima tahun dengan Pak Yos. Sudah sangat hafal dengan watak beliau yang memang keras sama dengan dirinya. Itu kenapa sering sekali mereka adu mulut masalah pekerjaan walau akhirnya setelah itu keadaan membaik dan kembali seperti semula.
Astaga. Pada kenapa sih tuh orang-orang. Kepo banget sama hidup aku. Bikin kesel aja!
Bingung siapa yang harus dia curhati saat itu, akhirnya dia memilih mengirim pesan pada Viki. Pria yang dinilainya bertanggung jawab dengan adanya insiden ini. Jujur saja, Arum sangat kesal hari ini. Moodnya tentu saja berubah dengan sangat drastic karena pembicaraan yang menurutnya tidak masuk akal dari sang atasan.
Arum mengetik pesan di ponselnya untuk Viki, “Vik, gara2 kamu nih aku dimarahin Pak Yos!”
Karena masih jam kerja, Arum tahu Viki tak akan langsung membalas pesannya. Dia pasti masih sibuk melayani nasabah. Arum meletakkan kembali ponselnya dan menatap layar komputer dengan tatapan nanar. Matanya sesekali beralih pada pesan masuk di aplikasi W******p nya. Ada nama suaminya di sana yang pasti juga masih sibuk bekerja. Mereka tetap berkirim pesan walau rasanya berbeda. Lebih seperti formalitas saja. Menunaikan kewajiban.
Dibacanya lagi pesan mereka pagi ini,
Pras : Hari ini aku ada liputan di luar.
Arum : Owh ya. Dimana?
Pras : Ada objek wisata baru aja sih kaya pantai gitu.
Arum : Owh, ya ati2 aja ya, Mas. Jangan lupa kabar-kabarin.
Pras : Siap!
Ya, begitu saja isi pesan singkat mereka. Benar-benar singkat. Hingga sekarang pun belum ada pesan masuk lagi dari sang suami.
Jam sudah menunjukkan pukul 11.45 siang. Tentu saja setelah kejadian dimarahin Pak Yos sebelumnya dia enggan mengerjakan pekerjaannya dan memilih untuk pergi ke luar ruangan menemui hal apapun yang bisa dijadikan sasaran kemarahannya. Dua orang cleaning service bahkan harus membersihkan toilet kamar mandi dua kali hanya karena Arum merasa pekerjaannya kurang sempurna
"Kenapa sih muka suntuk banget?" Asti yang kebetulan bertemu dengannya di depan klinik bertanya.
"Enggak apa-apa kok. Capek aja habis keliling," alasan Arum.
"Makan dulu aja. udah jam istirahat juga kan habis ini? Kali aja habis itu ilang capeknya," kata Asti lagi.
"Iya gampang," itu saja jawab Arum.
Asti memang bisa dikatakan adalah salah satu sahabat terbaiknya di kantor itu. Sebelum Asti menikah, dia bahkan sering menginap di rumahnya dan di situ dia akan banyak sekali bercerita tentang kisah cinta masing-masing. Asti bahkan tahu bagaimana lika-likunya hubungannya dengan Pras dan sebaliknya. Entah kenapa, untuk masalah ini dia memilih diam. Sedikit banyak dia memang takut untuk menceritakan yang satu ini, entah kenapa.
Arum memilih kembali ke dalam ruangan tepat saat rekannya yang lain memilih turun untuk makan siang di kantin. Selain alasan kenyamanan dan mager, Arum memang makin enggan makan di kantin sejak gosip itu tersebar semakin lebar. Rasanya setiap dia masuk pintu kantin, ada mata-mata yang penuh tanya dan penasaran, ada bibir-bibir yang membicarakannya. Arum jengah dengan semua itu. Dia memilih untuk duduk di bangkunya dan memperhatikan ruangan yang kini sepi. Ada beberapa meja di dalam ruangan itu. Satu meja yang sangat besar untuknya berbagi dengan Asti, Uli, dan Lili. Di ruang lain, ada meja Tri dan Rizki dan ruang Pak Yos yang tentu saja terpisah.
Arum menoleh ke arah ponselnya sebentar. Memilih mengirim pesan pada sang suami. Memberi kabar kalau dirinya sedang beristirahat yang tak lama hanya dibalas ‘OK’. Arum hanya mampu menghela nafas membaca pesan minimalis dari sang suami. Mungkin memang masih sibuk. Diletakkan kembali ponselnya. Tiba-tiba tak lama pesannya berbunyi lagi saat Arum baru saja membuka nasi kotak di hadapannya. Itu Viki membalas pesannya.
Viki : Gara2 aku? Kenapa?
Arum : Pak Yos tahu kalo kita deket. Kayanya ada yang kasih info. Jadi ya gitu deh aku dimarah2in. Diceramahin gak jelas sumpah.
Viki : Waduuuh. Tapi ya udah sih.
Arum : Lah kok cuman gitu?
Viki : Terus mau kamu gimana?Ya aku minta maaf deh kalo gitu.
Arum : Ya gak gimana2 sih kesel aja akunya.
Viki : Ya udah lah cuekin aja. Kita kan emang gak ada apa2. Eh, belum ada ding.
Arum : Kamu nih orang lagi sebel malah dibecandain! Aku lagi serius ini!!!
Viki : Hehehe. Iya iya maaf.
Arum : Kayanya mulai sekarang kita harus jaga jarak deh.
Viki : Apaan sih! Ya terserah kamu aja lah!
Arum : Hehehe. Becanda ding.
Viki : Dasar gak jelas!
Arum : Lah jadi dia yang ngambek?
Viki : Udah lah mending makan aja dulu biar gak stres.
Malam harinya, baru saja tiba di rumah. Meletakkan tas ransel dan membuka kaos kakinya. Ada sebuah notif pesan masuk dari sang suami di ponselnya. Arum segera merebahkan tubuhnya dan membuka isi pesan itu.
Pras : Sudah pulang?
Arum : Sudah, barusan aja.
Arum : Mas sendiri?
Pras : Sudah kok. Tadi bersih-bersih dulu terus edit video bentaran.
Arum : Owh iya syukur kalo gitu. Udah makan?
Pras : Udah dong. Kamu sendiri?
Arum : Udah juga tadi pulang kantor makan bakso dulu sama Tri. Aku telpon ya?
Pras : Ya aku aja deh nanti yang telpon ya. Mau lanjut ngedit bentar.
Arum : Owh gitu. Ya udah kalo gitu. Aku juga mau mandi dulu.
Pada akhirnya, sampai malam, sampai sinetron yang Arum tonton habis, Pras tidak menelponnya. Entah mungkin masih sibuk edit videonya atau justru sudah tidur. Arum merasa, komunikasi mereka akhir-akhir ini semakin buruk. Walaupun memang suaminya bukan tipe pria romantis dari dulu. Gaya komunikasi semacam ini dianggap biasa oleh mereka, tapi makin kesini rasanya komunikasi mereka makin kurang dan terkesan ala kadarnya. Arum tidak terlalu ambil pusing sebenarnya, dia punya banyak sekali teman baik pria atau wanita yang bisa diajaknya bicara, dia juga banyak sekali kegiatan yang bisa dilakukan. Jadi hari-harinya juga tidak terasa terlalu sepi walau hidup berjauhan dengan Pras.
Daripada sang suami, justru Viki yang dari tadi masih aktif mengiriminya pesan. Padahal dia sedang kembali ke rumah orang tuanya di Surabaya.
Arum : Gak ada kegiatan banget kamu dari tadi chat aku terus?
Viki : Ya emang gak ada Arum.
Arum : Cepet cari cewek gih, jadi kita gak digosipin lagi kan.
Viki : Gak mau lah. Aku tunggu jandamu aja.
Arum : Lah gila lu ya! Kok gitu banget sih doamu?
Viki : Ya becanda kali. Lah kamu sendiri, bukannya chat sama suami kamu, malah sama aku. Hayo?
Arum : Lagi sibuk dia.
Viki selalu begitu. Selalu bicara manis dan penuh modus. Siapa coba yang tidak kepikiran kalau terus diberi kata-kata seperti itu.
Beneran deh nih brondong alay maunya apa sih sebenernya? Maju terus pantang mundur! Apa dia beneran suka sama aku? Ah, mau dipikir gimana juga ya masa sih dia suka sama aku? Aku aja yang keGRan deh kayanya. Astaga Arum, tobaat tobaat!
Arum sudah memutuskan, daripada terus kepikiran sama si brondong alay, dia akan pergi ke Blitar akhir minggu nanti. Mas Pras sudah bilang sebelumnya kalau minggu ini tidak bisa ke Malang karena ada acara keluarga pernikahan sepupunya. Arum ingin pergi ke Blitar, hitung-hitung memberi kejutan untuk sang suami. Dia memang tidak memberi kabar mengenai kedatangannya tentu saja.Hari Sabtu itu Arum sampai di terminal Blitar. Sudah memberi kabar pada sang suami yang tiba sebentar lagi. Dia sedang menunggu di pintu keluar sampai vespa biru kesayangan sang suami terlihat di kejauhan. Seperti biasa dengan senyum lebarnya Pras datang. Suaminya ini jujur saja memang biasa-biasa saja secara fisik. Tidak terlalu tampan, tapi tinggi dan juga tegap dengan kulit sawo matang khas pria Indonesia. Mas Pras punya senyum yang teduh. Bahkan tanpa harus mengenalnya, orang akan langsung tahu kalau dia orang yang baik dan sabar. Arum langsung mencium tangannya. Pras memberikannya helm dan
Sesampainya di rumah setelah rentetan acara pernikahan yang padat itu, Arum memilih mandi untuk mengusir gerah. Waktu itu digunakan Pras untuk membuka I*******m milik istrinya. Dia ingat berteman dengan beberapa rekan kerja Arum di kantor walau selama ini pun dia juga sudah melakukannya. Pras menyusun rencana kecil dari sana. Dia ingin mencari beberapa petunjuk dari teman-teman barunya. Melihat daftar teman mereka, lalu mengumpulkan beberapa nama yang terkait dengan Viki, dan mencocokkannya dengan semua daftar teman Arum yang menjadi temannya di I*******m. Enggak mungkin kan aku DM ke salah satu temen Arum? Pasti mereka bakalan bingung kenapa aku enggak langsung aja tanya ke Arum daripada repot-repot DM mereka. Lagipula ya kalau si Viki ini memang teman kerja Arum, kalau bukan gimana? Yang ada malah pada curiga nanti temen-temen Arum sama kita. Tentu saja karena daftarnya cukup banyak dan Arum juga sudah akan selesai mandi, pekerjaan itu tak akan selesai malam ini. Pras bahkan berpik
Sedangkan di Kota Malang, di kantornya siang itu, Arum ikut menangis juga. Beruntung dia masih sempat mengirimkan presentainya pada Pak Yos. Beliau sedang sibuk dengan dunianya sekarang. Dia tidak akan menyadari kalau salah satu anak buahnya sedang menangis sangat keras di salah satu sudut ruangan. Suara tangisan yang sebenarnya sampai juga di telinga Asti dan Lili yang berada di sisi lain ruangan.Arum sama sekali tidak menyangka rumah tangganya akan berakhir seperti ini. Tentu selama ini dia juga merasa pernikahannya tidak baik-baik saja, tapi bukan begini perpisahan yang dia inginkan. Bukan karena ada laki-laki lain seperti yang Mas Pras pikirkan. Bukan karena gosip perselingkuhan yang entah dia dengar dari siapa. Apapun yang dimulai dengan niat baik, Arum ingin mengakhirinya secara baik, begitu juga pernikahan ini.Darimana dia bisa tahu tentang Viki? Apa ada yang cerita sama dia? Siapa yang cerita sama dia?Arum tiba-tiba penasaran. Tentu saja bukan ingin menyalahkannya siapapun
Lalu bagaimana dengan Viki? Semenjak bertengkar hebat dengan Pras kala itu, Arum tidak pernah lagi berkomunikasi dengannya. Viki terus menerus telpon dan mengirim pesan, tapi Arum tidak pernah merespon. Bahkan untuk bertemu di kantor pun mereka hampir tak pernah, karena Arum selalu berhasil menghindar. Tentu saja Viki mendengar kabar bahwa Arum sudah bercerai dari gosip-gosip karyawan lain, tapi dia belum yakin selama Arum belum menceritakan semua padanya. Empat bulan lalu, saat Viki sedang merokok di jam istiharat mereka. "Aku pengen ngomong serius nih sebagai cowok sama cowok!" Agus mendekat pada Viki yang terlihat sedang asyik dengan batang rokoknya. "Apaan sih? Sok serius banget!" kata Viki tanpa tahu apa yang terjadi. "Kamu tahu enggak kalo Arum tuh lagi proses cerai sama suaminya?" Selidik Agus yang merupakan biang gosip paling tenar seantero kantor. "Hah! Serius?" Viki tentu saja terkejut. "Sok kaget segala sih! Kan kamu lagi deket sama Arum belakangan ini. Masa enggak tau
"Guys guys… aku punya berita besar!" Rizki mulai bicara."Apaan sih?" tanya Lili tentu saja segera ingin tahu."Kata Agus, Viki sama Arum kemaren dateng bareng liat anak-anak main bola!" Rizki sedikit berbisik dengan ekspresi wajah yang sangat intens."Eh serius? Astaga!" kata Uli membulatkan mata bahkan berdiri dari kursinya menghampiri Rizki untuk mendengar lebih banyak.“Serius! Banyak kok saksinya,” Rizki masih menggebu."Semakin terbuka aja ya mereka? Enggak habis pikir deh!" kata Lili menyilangkan tangan di depan dadanya."Apaan sih? Ngomongin Arum ya?" Tri tiba-tiba ikut bicara yang hanya diangguki oleh teman-temannya."Beneran kok itu. Aku malah liat sendiri kemaren di lapangan. Cuman Arum emang enggak liat aku. Aku datang cuman kasih konsumsi sama air mineral aja terus pergi lagi," kata Tri santai."Wah, saksi kunci nih!" celetuk Uli."Jadi menurut kalian, mereka emang ada hubungan?" tanya Asti yang akhirnya penasaran juga."Ya kita pikir bareng-bareng aja sih sekarang, kalo
Beberapa hari kemudian, tepatnya di penghujung minggu, Viki menelpon Arum melalui panggilan video dari kamar kosnya,"Akhirnya kredit rumah aku disetujuin loh, Ay. Aku udah mulai nyicil dua bulan lagi," seru Viki malam itu."Iya tah? Syukur kalo gitu! Selamat ya!" Arum ikut senang karena Viki mendengarkan saran darinya."Rumahnya sih udah tiga perempat jadi. Nanti kalo jadi, terus bapak ibu aku dateng, aku mau adain selamatan kecil-kecilan. Ya paling dua bulanan lagi," angan Viki."Hehehe. Iya iya siiip. Bagus itu," Arum merespon singkat saja."Capek banget kayanya kamu ya? Muka kamu kok lemes banget sih?" Viki bertanya."Iya. Aku capek banget. Hari ini banyak banget yang harus dikerjain. Pak Yos juga marah-marah terus seharian. Enggak tau dah kesambet apaan. Emang kayanya enggak bisa kalo enggak marahin anak buahnya sehari aja," Arum bicara."Hehehe. Kamu tuh enggak pernah ada habisnya ya kalo nyeritain Pak Yos," goda Viki."Iya emang iya. Bisa berbusa kayanya deh mulut aku kalo ceri
Sesuai janji sebelumnya, malam ini Arum menyempatkan diri untuk makan malam bersama bapak dan ibu dari Viki. Pak Jono dan Ibu Susi namanya. Mereka pedagang di Surabaya. Mempunyai satu gerai pakaian di sebuah pasar grosir yang cukup besar di sana. Kebetulan hari ini mereka sedang ada urusan di Malang. Bertemu dengan seorang teman lama yang memang berencana memesan seragam dalam jumlah banyak. Jadi disinilah mereka, sebuah restoran dengan menu makanan khas Indonesia yang memang cukup terkenal di Malang. Lokasinya besar dan tidak terlalu ramai membuat restoran itu cocok untuk berbincang-bincang santai. Arum dan Viki tiba tepat setelah adzan maghrib. "Pak, Bu, kenalin ini Arum yang sekarang lagi pacaran sama aku," ucap Viki dengan bangga pada orangtuanya, membuat Arum kikuk juga "Arum, Pak, Bu," Arum mengenalkan diri mencium punggung tangan kedua orang tua itu. "Selamat datang, Nak Arum. Ayo silahkan duduk. Kita makan malam dulu ya. Bapak sudah laper ini," ajak Bu Susi tersenyum dengan
Keesokan harinya, sudah dari pagi Viki pamit pergi ke pantai. Arum membalas pesan Viki seadanya karena dia sendiri ingin mencoba fokus pada pernikahan tetangganya yang memang dia hadiri bersama sang mama, mencoba bersikap senatural mungkin agar Viki tak curiga. Entah apa yang dirinya tunggu. Makin banyak bukti? Atau menunggu Viki akhirnya berhenti dan mengakui? Di dalam gedung resepsi pernikahan, setelah turun menyalami pengantin. Menemani sang ibu mencari makanan dan membawanya ke tempat duduk. Giliran Arum yang berkeliling mencari camilan. Dia bukan tipe perempuan yang banyak makan, tapi entah kenapa badannya tak juga kurus. Dia memilih mengambil seporsi salad buah yang nampak menggoda. Saat matanya menyisir ke penjuru gedung, mendadak ada sosok yang lebih menarik perhatiannya daripada jajaran makanan didepannya. "Lah itu kan Alex? Bukannya dia harusnya pergi ke pantai sama Viki?" Arum coba menghampiri sosok Alex yang nampak sedang makan bersama seorang wanita di sampingnya. Arum